Kelola CTI Ratio Anda

(Business Lounge – Manage Your Finances) CTI atau Cost to Income secara sederhana adalah rasio perbandingan antara pendapatan yang diperoleh (incoming) dengan biaya yang dikeluarkan  (outgoing).

Perbandingan antara “Cost” (biaya) dan “Income” (pendapatan) ini perlu dikelola supaya menghasilkan persentase yang sekecil mungkin. Semakin kecil angka rasio CTI artinya semakin efisien, jadi bukan semata-mata hanya memperhatikan actual cost-nya saja.

Karena CTI adalah rasio antara biaya dan pendapatan, maka secara prinsip CTI dikelola dengan cara sebagai berikut:

  1. Tingkatkan Pendapatan
  2. TurunkanPengeluaran

 Sekarang kita masuk pada point yang pertama: Tingkatkan Pendapatan.

Meningkatkan pendapatan artinya adalah kita harus meningkatkan produktivitas. Logikanya adalah, loan volume yang besar (tinggi) tentu akan menghasilkan interest income yang besar (tinggi) juga.

 Jadi salah satu faktor kuncinya adalah peningkatan loan volume yang dibarengi dengan  mengelola komposisi produk yang baik akan mampu menghasilkan pendapatan yang lebih besar.

Selain itu masih ada satu hal lagi yang dapat kita lakukan dari sisi lending, yaitu menjaga kualitas kredit dan proses collection agar pinjaman yang telah kita keluarkan atau cairkan dapat berjalan lancar angsurannya dan menghasilkan pendapatan bukan menimbulkan kredit macet.

 Point yang kedua: Turunkan Pengeluaran

Cara kedua untuk mengelola CTI adalah dengan menekan pengeluaran (cost). Untuk point ini  kita harus berhati-hati melakukannya, karena tidak semua cost perlu untuk ditekan. Ada yang disebut “bad cost” (biaya buruk) dan “good cost” (biaya baik).

Bad cost, adalah biaya-biaya yang tidak perlu, yang timbul akibat proses yang kita lakukan kurang efisien. Contohnya, karena proses kerja kita yang kurang efisien, maka terpaksa dilakukan lembur untuk menyelesaikan tugas. Contoh lainnya lagi seperti adanya kesalahan-kesalahan mengolah data sehingga harus mengulang hasil cetakan (print berulang), kertas dan tinta printer terbuang sia-sia. Kasus seperti hal diatas menimbulkan bad cost sehingga harus di tekan atau di pangkas.

Sebaliknya, good cost adalah biaya yang memang benar-benar perlu dikeluarkan untuk menghasilkan pendapatan, yang apabila dipangkas bisa mengundang resiko untuk menurunkan pendapatan. Contohnya, dengan loan volume yang semakin meningkat unit kita membutuhkan lebih banyak personil untuk mengelolanya, maka biaya tenaga kerja yang kita keluarkan termasuk good cost. Bayangkan apabila jumlah nasabah sudah semakin banyak sehingga melampaui kapasitas pelayanan teller yang ada; maka jelas kita harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menambah personil teller. Apabila kita tidak melakukannya, resikonya adalah pemburukan flow rate dan penurunan repayment rate akibat banyak nasabah yang menunggak karena tidak tertangani, sehingga ujung-ujungnya pendapatan kita yang akan terpangkas.

Salah satu patokan untuk menilai apakah cost yang kita keluarkan adalah good cost adalah, apabila setelah cost dikeluarkan, terjadi peningkatan pendapatan. Bisa dalam bentuk bertambahnya interest income actual, atau flow rate yang membaik, atau repayment rate yang meningkat.

Apabila kita hanya memperhatikan actual cost-nya, kadangkala kita menilai bahwa yang pengeluaran banyak adalah yang paling boros sehingga sudah pasti harus dipangkas. Sebetulnya tidak selamanya harus diperlakukan demikian. Kita tidak dapat menentukan efisien atau tidak efisien hanya dari cost-nya saja, kita tetap perlu untuk membandingkan juga dengan income-nya.

Sebab pada waktu kita bandingkan barulah kita bisa lihat ternyata walaupun ada pengeluaran yang terjadi namun ternyata hasilnya atau pendapatannya juga besar sehingga menghasilkan rasio yang efisien.

Untuk mempermudah, berikut ilustrasinya:

Ada 3 orang atlet. Atlet pertama makan 2 piring nasi dan mampu mengangkat beban 20 kg. Atlet yang kedua makan 3 piring nasi dan mampu mengangkat beban 25 kg. Sementara Atlet ketiga, makan 4 piring nasi dan mampu mengangkat beban 60 kg.  Atlet mana yang pengolahan energinya paling efisien?

Bila kita setarakan sepiring nasi dengan beban seberat 10 kg, maka rasio Atlet pertama = 100%; karena nasi yang dimakannya setara dengan beban yang berhasil diangkat. Artinya hasil Atlet pertama ini impas alias hanya kembali modal, tidak meraih keuntungan.

Lalu Atlet yang kedua memiliki rasio 120% – nasi yang dimakan lebih banyak dari beban yang berhasil diangkatnya. Dengan kata lain, Atlet kedua ini mengalami kerugian alias “tekor”: makannya banyak, tenaga kurang. Bagaimana dengan Atlet yang ketiga? Dia memiliki rasio 67% karena beban yang berhasil diangkatnya lebih banyak daripada nasi yang dikonsumsinya. Atlet yang ketiga mengalami ‘keuntungan’, dia mampu mengangkat beban lebih banyak dari nasi yang dimakannya.

Kita lihat, walaupun nasi yang dibutuhkan 4 piring nasi, namun dia dapat mengangkat beban lebih banyak.

Selamat mencoba dan mendapatkan hasil yang terbaik.

Ria Felisha/VMN/BL/Contributor
Editor: Ruth Berliana