(Business Lounge – Manage Your Business) – KITA MENGENAL KAIZEN sebagai filosofi bisnis yang dianut produsen otomotif terkemuka asal Jepang, Toyota. Kaizen artinya perbaikan sedikit demi sedikit, tetapi dilakukan secara terus menerus (continous improvement). Dengan filosofi tersebut, Toyota Motor Corporation mampu menyalib Volkswagen AG asal Jerman dan General Motors (GM) dari Amerika Serikat.
Menurut laporan New York Times, sepanjang tahun 2014, Toyota mampu menjual 10,23 juta unit mobil. Sementara dua pesaing utamanya berada sedikit di bawahnya. Volkswagen mampu menjual 10,14 juta unit, dan GM hanya sebanyak 9,92 juta.
Dominasi Jepang di industri otomotif membuat para penantangnya gerah. Di antaranya, kalangan industri otomotif asal Korea Selatan, seperti Hyundai atau KIA.
Tapi, kalau Korea Selayan ingin mengalahkan Jepang, mereka tentu tak bisa kalau hanya melakukan cara-cara yang sama. Kata ahli fisika Albert Einstein, Anda bisa gila kalau menginginkan hasil yang berbeda, tapi terus menerus melakukan hal yang sama.
Maka, Korea Selatan mengusung konsep yang berbeda, yakni lompatan kuantum (quantum leap). Ide quantum leap ini sebetulnya sederhana, tetapi sangat ambisius. Mereka mematok target di depan, lalu berhitung mundur dengan menetapkan tahap-tahap apa saja yang harus dilakukan untuk membuatnya tercapai. Kunci keberhasilan strategi quantum leap adalah memaksa diri, sinergi dan konsisten.
Memaksa diri artinya begini. Dalam keadaan normal Anda mungkin ragu atau tak mampu melompati sungai selebar 2,5 meter. Tapi, bagaimana kalau terpaksa? Misalnya, di belakang Anda ada seekor anjing galak. Dalam kondisi semacam itu Anda tentu bisa melompat sejauh 2,5 meter.
Para produsen manufaktur di Korea Selatan menerapkan prinsip ini dalam proses produksinya. Kalau suatu proses pada setiap tahap biasa dilakukan dalam waktu seminggu, entah bagaimana caranya waktu tersebut mesti dipangkas menjadi tinggal tiga hari. Paksa diri, cari dan temukan caranya. Pasti ada.
Namun, upaya memangkas waktu tersebut tak bisa dilakukan sendirian. Harus ada sinergi. Setiap bagian harus memberikan kontribusinya. Bukan sebaliknya di mana masing-masing pihak justru saling jegal lewat manuver-manuver office politic dan berbagai intrik lainnya.
Syarat ketiga adalah harus ada pihak yang perannya mengingatkan secara terus menerus. “Kita harus menjadi nomor satu… Kita harus menjadi nomor satu!” Begitu terus menerus, berulang-ulang, persis seperti radio rusak.
Konsistensi seperti itu, meski menjemukan, harus dilakukan. Pada banyak perusahaan di Korea Selatan, tidak tanggung-tanggung, peran seperti ini dilakukan langsung oleh para pucuk pimpinannya. Bukan didelegasikan ke para pimpinan level di bawahnya. Ini mereka lakukan untuk menegaskan bahwa para pimpinan bertanggung jawab secara langsung terhadap pencapaian target.
Kini kita menyaksikan hasil lompatan kuantum Korea Selatan. Beberapa produk elektronik buatan Korea Selatan mulai mengejar dan meninggalkan produk-produk elektronik buatan Jepang.
Pada industri-industri berat, seperti industri galangan kapal, Korea Selatan bahkan kini lebih unggul. Untuk menggali minyak di laut dalam, raksasa minyak Brasil, Petrobras, banyak memesan kapal dari galangan kapal Korea Selatan.
Hanya untuk industri otomotif, Korea Selatan masih harus bekerja keras. Memang tidak mudah meruntuhkan dominasi Jepang yang akarnya sudah tertanam begitu dalam.
Kini negara kita sudah mulai tertinggal dibanding negara-negara tetangga, seperti Malaysia. Petronas dulu belajar dari Pertamina. Kini, sebagai murid, Petronas sudah jauh meninggalkan gurunya. Dalam daftar Fortune Global tahun 2014, Petronas menempati peringkat ke-69 dengan pendapatan US$100,74 miliar dan profit US$17,2 miliar. Sementara Pertamina di peringkat ke-123 dengan pendapatan US$71,1 miliar dan profit US$3,06 miliar.
Kita membangun jalan tol sejak 1973, sementara Malaysia baru memulai pada 1984. Namun, hingga hari ini kita baru mengoperasikan jalan tol kurang dari 800 kilometer. Anda tahu berapa panjang jalan tol Malaysia? Lebih dari 3.000 kilometer!
Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, kita harus berani melakukan lompatan kuantum.
JB Soesetiyo/VMN/BL/Podomoro University
Editor: Fanya Jodie