(Business Lounge – Ideas) MACET menjadi santapan sehari-hari warga di kota-kota besar di Indonesia. Terlebih di Jakarta, penumpukan kendaraan di jalan tol maupun non tol menjadi pemandangan sehari-hari. Banyak cara yang telah dilakukan baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurai kemacetan. Selain menerapkan sistem 3 in 1, memperbanyak transportasi publik hingga usulan pemakaian kendaraan berbasis plat nomor ganjil genap. Namun beragam pola atau sistem untuk mengurangi kemacetan belum maksimal hasilnya. Inovasi lainnya yang dikembangkan untuk mengurai kemacetan dengan pemodelan floating car data. Adalah Dr. Eng Fergyanto E Gunawan, dosen Magister untuk Sistem Informasi Universitas Bina Nusantara Jakarta bersama timnya mengembangkan teknik floating car data.
Dijelaskan Fergyanto, dalam sistem transportasi terdapat dua hal yakni supply dan demand. Supply adalah kendaraan, sedangkan demand adalah penumpang. Kedua hal itu bisa harmonis apabila kedua sisi bisa bertemu. Caranya adalah memantau kendaraaan dengan penumpang.
Riset yang dilakukan Fergyanto ini selain untuk kendaraan pribadi juga transportasi publik yakni bus Trans Jakarta. Dijelaskan Fergyanto, seringkali sebuah ruas jalan raya mendadak macet sekali walaupun tidak ada penyebab kemacetan. Sementara di ruas jalan lainnya sangat lancar. Demikian juga pada Trans Jakarta, terjadi penumpukan penumpang di koridor-koridor, namun jumlah bus yang datang untuk menjemput para penumpang tidak kunjung datang. “Untuk mencegahnya bisa dilakukan dengan monitoring
jumlah kendaraan dan penumpang. Caranya dengan sebuah sistem informasi yang bisa dibagikan ke publik melalui aplikasi pada telepon seluler,” kata Fergyanto. Informasi tersebut memuat status lalu lintas yang dilintasi para pemakai kendaraan.
Riset yang dimulai 2012 dengan dana dari Dirjen Dikti Kemendikbud, mengupas bagaimana solusi memecah kemacetan, dengan sistem aplikasi informasi status jalan melalui ponsel. Ia pun melibatkan dua mahasiswanya yang saat ini sedang menyelesaikan studi S2 dan S1. “Ide awalnya saya bersama tim merancang bagaimana caranya memonitor kondisi jalan, kecepatan kendaraan, jumlah kendaraan yang melintas, dan sebagainya. Selama ini informasi kemacetan belum maksimal diketahui banyak pihak,” ujarnya. Laporan kemacetan yang disiarkan lewat radio maupun di situs-situs internet pun belum sepenuhnya mencakup seluruh wilayah. “Selama ini laporan kemacetan yang masuk hanya sebatas dimana pelapor itu berada. Berapa kecepatannya, tingkat kerapatan kendaraan tidak dijelaskan.” Tidak semua orang bisa mengikuti perkembangan kemacetan di sebuah wilayah, dikarenakan informasinya terbatas. Sedangkan di Jakarta, alat pendeteksi kemacetan yang kemudian diinformasikan melalui sejumlah informasi yang dikeluarkan Polda Metro Jaya ataupun PT Jasa Marga dengan menggunakan loop detector. Alat tersebut dipasang di bawah aspal jalan, namun dengan jangkauan terbatas. Untuk pemasangan satu titik loop detector cukup mahal. Loop detector ini akan memberikan informasi kepadatan jalan di ruas-ruas tertentu. Pada umumnya para pengendara yang melintas di ruas jalan tol akan mendapatkan informasi ruas jalan tol tertentu lancar atau padat dengan menyebutkan kecepataan kendaraan.
Fergyanto bersama timnya pun akhirnya mencoba memberikan solusi dengan memberikan informasi kemacetan yang bisa diketahui secara global, cepat, dan akurat. Caranya dengan menggunakan aplikasi teknologi informasi. “Saat ini banyak pengguna ponsel berbasis internet nirkabel dengan beragam aplikasi dan dilengkapi GPS. Jumlah pemakai ponsel pintar ini cukup banyak. Maka kami akan menggunakan apa yang sudah dipunyai masyarakat tersebut, untuk menginformasikan kemacetan di ruas jalan
Jakarta. Termasuk pula kondisi di halte-halte bus Trans Jakarta ,” terangnya.
Riset yang dimulai 2012 itu hanya menggunakan peranti berupa web server, kendaraan mata-mata, dan sebuah aplikasi yang bisa diunduh di setiap ponsel yang menggunakan sistem operasional Android. Cara kerjanya aplikasi yang dibuat tersebut berisi tentang peta lokasi jalan dan kecepatan kendaraan yang melintas di jalan tersebut. Setiap orang bisa mengunduh aplikasi tersebut, kemudian mulai menjalankan aplikasi. Untuk bisa memancing masyarakat bereaksi dalam aplikasi tersebut dibutuhkan kendaraan
mata-mata. Kendaraan yang dilengkapi GPS ini akan melintasi di jalan-jalan yang berpotensi macet. Uji coba yang dilakukan tim Fergyanto ini di tol dalam kota Jakarta. Satu mobil dilengkapi 10 mobile sensor melintas sebanyak lima sampai enam kali selama dua sampai tiga jam di ruas tol dalam kota. Kendaraan yang melintas di tol akan memberikan informasi dengan mengisi aplikasi tentang ruas jalan yang dilalui dan kecepatan kendaraan. Kemudian saat informasi itu dikirim, maka di dalam web server langsung mengolahnya dan diunduh ke aplikasi.
Dalam aplikasi akan memunculkan informasi kecepatan kendaraan di ruas tol dalam kota pada tanggal dan jam tertentu. Informasi ini akan cepat masuk ke dalam aplikasi di setiap ponsel yang dimiliki masyarakat. Para pengendara mobil yang akan masuk ke tol dalam kota akan mempertimbangkan apakah ingin terjebak kemacetan atau sebaliknya. Kemudian dalam tampilan peta GPS, akan muncul warna-warna khusus di ruas tol yang dilewati kendaraan mata-mata ini. Apabila warna hijau muncul di jalur tol itu maka kondisi jalanan lengang. Sebaliknya warna merah menunjukkan kemacetan sangat parah.
Aplikasi ini lebih sederhana daripada membeli beragam perangkat dan harus membangun tempat monitoring kemacetan. “Aplikasi itu berlaku di setiap ruas jalan, asalkan ada mobil mata-mata tersebut.” Uji coba yang paling valid lagi, lanjut Fergyanto dengan menggunakan taksi. Sebab taksi merupakan satu-satunya kendaraan roda empat dalam jumlah banyak. “Kami sedang menjajaki kerja sama dengan dua perusahaan taksi di Jakarta yang memiliki armada terbanyak. Nantinya akan diujicobakan sejumlah taksi untuk melintas di banyak ruas jalan, dan melaporkan informasi itu ke web server. Jadi taksi-taksi itu akan menjadi kendaraan mata-mata. Sebetulnya dalam sistem operasional taksi sudah berjalan informasi semacam itu. Tapi informasi traffic hanya disebarkan di kalangan sopir taksi.”
Ditambah lagi kedua perusahaan taksi yang akan dijajagi telah menggunakan sistem GPS sehingga memudahkan memonitor kondisi jalan. Aplikasi tersebut juga untuk memantau jumlah kendaraan yang melintas. Dijelaskan Fergyanto, di pintu pembayaran tol sebetulnya bisa menghitung jumlah kendaraan yang melintas. Dia mencontohkan di Jepang, seluruh kendaraan yang masuk ke jalan tol membayar dengan sistem e-toll. Sedangkan sistem pembayaran tol di ruas jalan tol di Indonesia sebagian besar masih tunai. “Kalau menggunakan e-toll lebih cepat dan data kendaraan yang melintas langsung masuk ke dalam server,” terangnya. Aplikasi ini juga digunakan untuk memantau kondisi shelter Trans Jakarta.
Cara kerja aplikasinya sama. Fergyanto menyebutkan pengelola bus Trans Jakarta telah membeli alat monitoring armada berupa dua sistem karena dari dua vendor berbeda. Untuk satu sistem hanya bisa memonitor dua koridor, yang mencakup jumlah tempat duduk dan manajemen bus agar tidak terlambat masuk ke halte. Total yang sudah terpantau ada dua koridor dari 12 koridor yang ada.” Sementara aplikasi yang dirancang tim dari Universitas Bina Nusantara ini bisa mencakup 12 koridor Trans Jakarta. Termasuk menghitung jumlah penumpang di ruangan shelter yang lalu lalang. “Selama ini penghitungan jumlah penumpang hanya berdasarkan penghitungan tiket masuk. Sedangkan orang yang lalu lalang di halte atau shelter untuk ganti bus koridor lain tidak dihitung. Maka seringkali kita amati terjadi penumpukan penumpang di halte-halte tertentu. Ada juga bus yang kosong dan yang terisi penuh. “Manajemen armada dengan floating car data ini justru bisa memaksimalkan jumlah penumpang Trans Jakarta. Selama ini rata-rata penumpang Trans Jakarta hanya 370 ribu orang per hari. Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan jumlah penduduk Jakarta yang membutuhkan transportasi publik.
Dia mencontohkan di Bogota, Kolombia, pengguna bus-bus trans mampu membawa penumpang 1,6 juta orang per hari. Sedangkan subway di Tokyo, transportasi massal cepat mampu menngangkut 40 juta penumpang setiap harinya. Manajemen transportasinya sangat didukung aplikasi teknologi informasi, sehingga memudahkan penumpang mendapatkan informasi cepat dan akurat . “Riset ini terus dikembangkan dan terus disempurnakan. Dan bisa menjadi sumbangan bagaimana memecahkan masalah kemacetan yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia,” harapnya.
Inovator: Dr. Eng. Fergyanto E Gunawan dkk, Universitas Bina Nusantara
Sumber: Sumber Inspirasi Indonesia – 19 Karya Unggulan Teknologi Anak Bangsa