(The Manager’s Lounge – Sales & Marketing) – Ketika Takashi Hibino mengambil alih pucuk kepemimpinan perusahaan broker terbesar kedua di Jepang sekitar setahun yang lalu, dia tahu bahwa ini akan menjadi awal yang berat, dengan sebaran perusahaan di seluruh wilayah Jepang pasca gempa bumi dan tsunami 11 Maret. Perusahaan Daiwa memang melewati masa-masa yang sulit tahun lalu, yang dipicu akibat krisis di zona Uni Eropa, penguatan mata uang Yen dan kekacauan pasar global secara keseluruhan. Dampaknya, perusahaan sekuritas Tokyo telah meningkatkan pengukuran dalam mengukur pemotongan biaya, termasuk di dalamnya PHK karyawan sebanyak 500 orang di Asia dan Eropa.
Walau demikian, Daiwa akan terus melanjutkan fokusnya di Asia terutama terhadap klien korporasi dan investor retail yang berharap untuk dapat bertumbuh dalam kawasan ini, kata Mr. Hibino.
Daiwa, yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan bank nomor tiga terbesar di Jepang, Sumitomo Mitsui Financial Group Inc. selama hampir satu dekade terakhir, merupakan satu dari beberapa perusahaan broker independen di dunia, bersama-sama dengan pesaingnya, Nomura Holdings Inc.
Mr. Hibino, yang telah bekerja di perusahaan broker di Tokyo selama hampir 33 tahun, berdiskusi dengan Atsuko Fukase mengenai rencana bisnis perusahaan ke depan dan bagaimana menghadapai tantangan di tengah kondisi ketidakpastian yang berkelanjutan di pasar keuangan. Wawancara berikut ini telah dilakukan penyuntingan.
WSJ : Apa perspektif Anda mengenai lingkungan bisnis? Bagaimana pengalaman Anda di tahun pertama Anda sebagai chief executive?
Mr. Hibino : Kami menghadapi tahun yang cukup sulit dengan adanya bencana alam, krisis hutang Eropa, dan kemerosotan di pasar saham Tokyo, sungguh bukan tahun yang biasa. Di samping itu, lingkungan bisnis saat ini dengan regulasi yang semakin ketat membuat kondisi menjadi lebih sulit bagi bank investasi untuk mendapatkan keuntungan yang besar, dan kecederungan ini kemungkinan akan terus berlanjut. Pasar di Tokyo telah dipengaruhi oleh krisis di zona Uni Eropa dimana 70% investor utama adalah pemain asing. Jadi saya belajar bahwa kita tidak dapat mengubah regulasi keuangan yang ketat dan struktur pasar kita akan dihantam oleh krisis di negara lain. Jadi apa yang ingin saya lakukan sekarang adalah sebisa mungkin mengurangi biaya, dan mengamankan pendapatan yang lebih stabil melalui penjualan investment trusts. Kami telah berhasil mengurangi biaya 50 milyar yen ($626 juta) sejauh ini dan berencana untuk mengurangi 10 milyar yen lagi melalui beban-beban kami yang berhubungan dengan sistem. Kami telah merumahkan sekitar 500 orang di Asia dan Eropa, jadi saya mempertimbangkan untuk pengurangan karyawan lebih lanjut.
WSJ : Bagaimana pengurangan proses operasi di luar negeri mempengaruhi bisnis perusahaan secara global?
Mr. Hibino : Beberapa orang berpendapat bahwa kami seharusnya menutup operasi kami di luar negeri, tapi yang pasti itu jelas bukan merupakan sebuah opsi. Bahkan sebelum krisis keuangan dan peraturan yang semakin ketat dan juga hambatan dalam permodalan, kami tidak mengharapkan prospek keutungan besar di Eropa ataupun Amerika Serikat, dan bahkan di Asia, kami tidak memiliki pemikiran seperti itu. Kami selalu berurusan dengan bisnis atau jasa yang berhubungan dengan Jepang, bahkan ketika di Asia itu sendiri. Menghadapi populasi yang semakin menurun dan permintaan domestik yang semakin melemah, perusahaan kami kemudian mencari prospek pertumbuhan di Asia. Klien kami – investor retail atau klien korporasi – tahu bahwa kami terhubung dengan jaringan global, sehingga mereka meminta kami dalam penyediaan produk keuangan atau jasa yang sifatnya global.
WSJ : Jenis bisnis apa yang ingin Anda fokuskan ketika melakukan ekspansi ke luar negeri?
Mr. Hibino : Kami harus benar-benar berkonsentrasi pada lini-lini bisnis yang terpilih. M&A Advisory adalah salah satu area tersebut. Tawaran-tawaran bisnis lintas negara sepertinya akan terus meningkat. Kami memiliki sekitar 400 bankir M&A di seluruh dunia, dari basis kami di London DC Advisory Partners, basis kami di New York, Sagent Advisors, dan tim kami sendiri di Tokyo dan Hong Kong. Pada lini bisnis bagian retail, kami juga ingin menangkap potensi pasar dalam bentuk aset rumah tangga yang begitu besar mencapai hampir 1,400 triliun yen. Karena pasar saham yang semakin melemah, kami masih belum melihat adanya pergeseran perilaku individu dari savings menuju investments. Jadi, bisnis manajemen aset juga akan menjadi prioritas utama kami.
WSJ : Moody’s Investors Service pada bulan November menurunkan rating Daiwa’s unsecured debt menjadi Baa3 dari sebelumnya Baa2, satu tingkat diatas tingkatan “junk” atau sampah. Bagaimana hal ini berdampak pada bisnis Anda? Apakah anda cukup mencermati penurunan rating ini?
Mr. Hibino : Kemungkinan untuk penurunan rating lebih jauh sangat kecil kemungkinannya, saya pikir. Kami telah berusaha untuk memotong biaya pada tahun ini dengan berbagai cara, sama halnya seperti pasar saham, kelihatannya akan semakin meningkat. Moody mence4rmati hal tersebut, selain juga adanya tantangan untuk perbaikan laba, kami selalu menjaga tingkat modal dasar selalu kuat dan lebih cair. Saya mengerti penurunan rating ini menjadikan kami lebih sulit untuk membentuk kontrak baru atau terpaksa harus memberikan jaminan yang lebih besar pada produk derivatif, namun produk tersebut sudah kami kurangi sejauh ini, sehingga saya pikir hal ini tidak akan berdampak besar.
WSJ : Apa keuntungannya menjadi sebuah perusahaan broker yang independen? Adakah kemungkinan untuk membentuk aliansi?
Mr. Hibino : Kami tidak sedang mempertimbangkan penggabungan modal seperti yang kami lakukan dengan Sumitomo Mitsui Financial Group. Mungkin benar kalau kami akan mendapatkan beberapa keuntungan dari adanya partnership. Namun sekarang kami tidak peduli apakah klien bisnis kami memiliki hubungan dengan konglomerat bisnis seperti Sumitomo, Mitsui, atau Mitsubishi. Kami baru saja memulai sebuah struktur bisnis baru dengan menggabungkan unit retail dengan unit wholesale kami bulan lalu, sehingga akan menjadi kurang tepat untuk fokus pada hal lain. Kami sangat terbuka untuk berpikir ke arah membentuk partnership secara global atau domestik sejauh hal itu menuju pada solusi yang saling menguntungkan.
WSJ : Apakah ada pengalaman-pengalaman tertentu pada karir Anda yang memengaruhi manajerial Anda?
Mr. Hibino : Saya memulai bisnis sebagai bond dealer pada tahun 1979 dan tiga tahun kemudian, saya dipindahkan ke London ketika saya berumur 25 tahun. Bekerja selama 5 tahun di kota London berarti banyak bagi saya. Melihat banyak turning point seperti Plaza Accord, The Big Bang, dari pusat pasar keuangan adalah sesuatu yang sangat berarti. Jepang juga menjadi pusat perhatian pada saar krisis keuangan global, dan juga dipandang sebagai “matahari terbit” di akhir tahun 1980-an. Saya melewati masa-masa yang sulit juga. Pada tahun 1997, saya harus menghadapi krisis di perusahaan ketika perusahaan rating kredit asala Amerika Serikat menurunkan rating Daiwa hampir pada tingkat “non investment grade”. Kami benar-benar bekerja dengan keras dalam menghadapi itu. Karena pengalaman itu, saya rasa kami dapat melewati segala halangan.
Editor’s Notes:
Salah satu hal yang cukup menarik dalam kepemimpinan Takashi Hibino dalam perusahaan Daiwa ketika menghadapai krisis adalah melakukan cost cutting. Efisiensi operasional perusahaan menurutnya adalah salah satu strategi perusahaan agar mampu bertahan di tengah gempuran krisis, selain juga usahanya dalam meningkatkan pendapatan.
(Darwin Huang/AA/TML)