(Business Lounge – Global News) Raksasa barang mewah asal Prancis, LVMH Moët Hennessy Louis Vuitton, mengumumkan bahwa kecerdasan buatan (AI) akan menjadi pusat strategi pertumbuhannya ke depan. Di tengah melambatnya permintaan global terhadap produk mewah, perusahaan yang memiliki merek-merek ikonik seperti Louis Vuitton, Dior, Tiffany & Co., dan Celine ini melihat AI sebagai kunci untuk meningkatkan efisiensi operasional dan memperdalam hubungan dengan pelanggan.
Dalam pernyataan yang dikutip oleh Bloomberg, LVMH menyatakan bahwa teknologi AI tidak hanya akan diterapkan dalam proses manufaktur dan logistik, tetapi juga dalam pengalaman pelanggan, termasuk rekomendasi produk berbasis personalisasi, prediksi tren, dan layanan konsumen berbasis bahasa alami. “AI bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian dari mesin pertumbuhan masa depan kami,” ujar Toni Belloni, Managing Director LVMH.
Langkah ini datang di saat sektor barang mewah global mengalami tekanan akibat perlambatan ekonomi di China, penguatan dolar AS yang menekan turis pembelanja, dan penurunan belanja discretionary di pasar-pasar utama seperti Amerika Serikat dan Eropa. Dalam laporan Financial Times, analis memperkirakan bahwa industri mewah global hanya akan tumbuh sekitar 3–5% tahun ini, turun tajam dari pertumbuhan dua digit selama pandemi.
LVMH, yang selama ini dikenal dengan pendekatannya yang konservatif terhadap digitalisasi, kini bergerak cepat. Pada konferensi teknologi VivaTech di Paris, perusahaan mengumumkan serangkaian kemitraan strategis dengan perusahaan AI seperti Google Cloud, Salesforce, dan startup Prancis Mistral AI. Teknologi ini akan diintegrasikan ke dalam sistem supply chain, prediksi inventaris, serta pengalaman pelanggan di toko fisik dan e-commerce.
Menurut Reuters, LVMH juga mengembangkan asisten virtual internal berbasis AI generatif yang mampu membantu tenaga penjualan di butik untuk memberikan rekomendasi produk secara instan, berdasarkan preferensi pelanggan, riwayat pembelian, dan bahkan analisis ekspresi wajah. AI juga dipakai untuk mengoptimalkan kampanye pemasaran digital di berbagai pasar lokal, termasuk China dan Timur Tengah.
Di sisi operasional, AI diproyeksikan akan memangkas biaya logistik dan mempercepat pengiriman dengan analisis permintaan secara real time. LVMH juga menerapkan machine learning untuk memperkirakan tren mode di bulan-bulan mendatang berdasarkan data media sosial, aktivitas konsumen, dan pencarian daring, sebagaimana dilaporkan oleh The Wall Street Journal.
Keputusan LVMH untuk mempercepat transformasi digitalnya tidak lepas dari meningkatnya persaingan di sektor mewah yang kini tak hanya didominasi oleh rumah mode Eropa, tetapi juga perusahaan-perusahaan teknologi dan kreator independen yang menjual langsung ke konsumen melalui platform seperti TikTok dan Instagram. AI menjadi pembeda dalam menciptakan keunikan layanan dan eksklusivitas pengalaman.
Bernard Arnault, Chairman dan CEO LVMH, dalam wawancara dengan Le Monde menyebut AI sebagai “pendamping penting dalam menjaga standar eksklusivitas sambil membuka efisiensi skala global.” Ia menambahkan bahwa kemampuan AI untuk mengolah data dalam jumlah besar memungkinkan LVMH menyeimbangkan kebutuhan untuk menjaga citra elit dengan dinamika konsumsi modern yang mengandalkan personalisasi.
Meski demikian, langkah LVMH ini tidak sepenuhnya tanpa risiko. Para pengamat memperingatkan potensi bias algoritma, pelanggaran privasi data, dan tantangan dalam mempertahankan “sentuhan manusia” yang menjadi inti dari pengalaman belanja mewah. Sebuah laporan dari The Business of Fashion mencatat bahwa terlalu mengandalkan automasi dapat melemahkan ikatan emosional antara pelanggan dan merek—sesuatu yang menjadi kekuatan utama LVMH selama puluhan tahun.
Namun, bagi investor, sinyal bahwa LVMH berinvestasi besar dalam AI di tengah perlambatan pasar justru menunjukkan keberanian korporat. Saham LVMH naik 1,8% dalam perdagangan pasca-pengumuman, dengan analis di UBS menyebut langkah ini “proaktif dan jangka panjang.” Beberapa analis memperkirakan bahwa efisiensi berbasis AI dapat meningkatkan margin operasional LVMH hingga 150 basis poin dalam dua tahun ke depan.
LVMH bukan satu-satunya perusahaan barang mewah yang mulai mengadopsi AI. Rivalnya seperti Kering (pemilik Gucci) dan Richemont (pemilik Cartier) juga meluncurkan inisiatif serupa, meskipun dalam skala yang lebih terbatas. Namun, dengan sumber daya finansial dan jaringan merek terbesar di dunia, LVMH memiliki kapasitas untuk memimpin transformasi ini secara menyeluruh.
Transformasi ini juga selaras dengan arah LVMH yang makin aktif mendekati komunitas teknologi. Perusahaan ini telah berinvestasi di startup teknologi, membentuk LVMH Innovation Award, dan memperluas tim data science internalnya. Dalam jangka panjang, AI bukan hanya akan menjadi alat untuk mempertahankan dominasi, tapi juga menciptakan model bisnis mewah yang lebih adaptif terhadap generasi pembeli baru—Gen Z dan milenial—yang lebih menuntut pengalaman yang cepat, cerdas, dan terpersonalisasi.
Di tengah dunia yang berubah cepat, LVMH tampaknya telah menetapkan posisinya: mewah tak lagi hanya soal bahan terbaik dan desain tak lekang waktu, tetapi juga tentang bagaimana teknologi canggih bisa memperkaya pengalaman itu tanpa menghilangkan aura eksklusivitas. Dan dalam pertaruhan ini, AI adalah mata uang baru dalam dunia mode mewah.