Bagi generasi 90-an, komik Astérix yang ditulis oleh René Goscinny (1926-1977) dan diilustrasikan oleh Albert Udrezo, pasti tidak asing lagi. Komik penuh humor asal Prancis ini bercerita tentang dua protagonis, Astérix dan Obélix dari desa Galia yang tak pernah kalah melawan pasukan Romawi berkat ramuan ajaib buatan druide Assurancetourix.
Dulu, komik ini selalu jadi rebutan teman-teman SD di perpustakaan sekolah. Akibatnya, lembar-lembarnya jadi kusam, penuh noda makanan, dan membuat kami kena marah ibu penjaga perpustakaan.
Selang lima belas tahun sejak saya pertama kali membaca komik Astérix, ketika kami sekeluarga sedang duduk di bandara Ngurah Rai Bali menunggu pesawat transit ke Labuan Bajo, Ibu saya berkenalan dengan seorang ibu yang hendak pulang ke Jakarta. Kepada saya, Ibu memperkenalkan teman barunya. Saat berjabatan tangan, saya ingat dia menyebut namanya, Rahartati Bambang yang kemudian membuka pembicaraan dengan bertanya, “Pernah baca Astérix?” Saya pun menjawab, “Ya, duluu sekali.” Namun saya terkejut ketika dia melanjutkan, “Saya penerjemahnya.”
Sejenak bayangan masa kecil saya pun melintas dengan cepat. Singkat cerita, setelah kami masih sempat berbicara sejenak, dia pun harus segera naik ke pesawat, setelah sebelumnya memberikan sebuah kartu nama bertuliskan namanya – Antonia Maria Rahartati Bambang Haryo – dan berjanji untuk suatu saat dapat berbincang kembali.
Ternyata, dia benar-benar memenuhi janjinya. Obrolan kami pun berlanjut lewat email hingga kemudian saya membuat janji wawancara tentang pengalamannya sebagai seorang penerjemah komik yang sangat populer lintas generasi.
Ketika akhirnya kami bertemu, beliau datang bersama cucunya, Reinhard yang berusia remaja. “Reinhard ini pelukis,” ungkapnya.
Tidak heran jika darah seni mengalir di keluarga Ibu Tati. Almarhum ayahnya, RC Hardjasoebrata adalah seorang musikolog, pengarang dan penulis lirik tembang dolanan anak, satu di antaranya adalah Gundul Pacul. Sebutan maestro karawitan dilekatkan kepada almarhum, karena telah menciptakan ratusan tembang dalam bahasa Jawa, baik bagi anak-anak, umum, bahkan dikenal sebagai salah satu pionir yang memasukkan gamelan dalam gereja. Almarhum juga menciptakan notasi keseragaman musik Bali, Jawa, Sunda, Thailand, dan India, sebuah konsep yang dianggap futuristis pada masa itu.
Jangan heran jika darah seni mengalir di keluarga Ibu Tati. Almarhum ayahnya, RC Hardjasoebrata adalah seorang musikolog pengarang dan penulis lirik tembang dolanan anak, satu di antaranya adalah Gundul Pacul.
Sembari makan siang, Ibu Tati menceritakan pengalamannya sebagai penerjemah komik Astérix. “Ketika untuk pertama kalinya bertemu Pak Albert Uderzo di kantornya di Paris, Juni 1995, pertanyaannya membuat saya terhenyak. ‘Boleh tahu bagaimana cara Anda menerjemahkan Astérix?’ Alih-alih memberikan jawaban, dengan takut-takut saya balik bertanya, ‘Apakah menurut Anda Astérix bisa diterjemahkan?’ Nyaris terdengar detak jantung saya, saat menunggu reaksinya. Lega rasanya ketika melihat dia tersenyum, lebar, ‘Lalu apa yang Anda lakukan jika bukan menerjemahkan?’ Sambil diam-diam menelan ludah keraguan saya menjawab, ‘Adaptasi. Itu yang saya lakukan, Monsieur.’”
‘Boleh tahu bagaimana cara Anda menerjemahkan Astérix?’ Alih-alih memberikan jawaban, dengan takut-takut saya balik bertanya, ‘Apakah menurut Anda Astérix bisa diterjemahkan?’
Tidak berlebihan jika saya menunggu anggukan kepalanya. Tetapi bukan itu yang terjadi. Pria jangkung kulit putih penulis teks merangkap penggambar komik yang sangat disukai pembaca di Indonesia itu menepuk bahu saya sambil berteriak, ‘Bravo!’, demikian tuturnya.
Menurutnya, profesi penerjemah sebaiknya bukan hanya bermodalkan kemampuan dua bahasa, sumber dan sasaran, akan lebih baik lagi jika dia juga memiliki bekal sebagai penulis, pemikir, pembaca dan pecinta kehidupan. “Berbeda dengan penulis, seorang penerjemah harus mampu mentransfer pikiran dan pesan penulis, bukan hanya sekedar menerjemahkan. Kalau pesannya lucu, terjemahannya juga harus lucu, begitu juga sebaliknya. Jangan sampai yang sedih dibuat lucu, yang lucu dibuat sedih. Ketika menghadapi gambar tentara Romawi sedang mencuci baju, sedangkan bunyi teksnya jika saya terjemahkan secara harafiah tidak menyampaikan pesan sebenarnya dari penulis, saya ingat lagunya Titiek Puspa, Marilah kemari! Biar pas dengan gambarnya, saya ubah liriknya menjadi ‘Marilah mencuci ye, ye, ye! Nyuci sambil nyanyi, ye, ye, ye, ye! Atau ketika Obélix berteriak Farpaitement! – yang seharusnya Parfaitement dan artinya Hebat! Karena Uderzo bermain kata, saya harus mencari ‘terjemahan’ yang tepat untuk permainan katanya itu. Saya lalu menggunakan frasa Tebul-tebul behat … yang ternyata sangat disukai dan diingat pembaca. Olah pikir seperti ini membuat terjemahan komik Astérix digemari”.
“Berbeda dengan penulis, seorang penerjemah harus mampu mentransfer pikiran dan pesan penulis, bukan hanya sekedar menerjemahkan. Kalau pesannya lucu, terjemahannya juga harus lucu, begitu juga sebaliknya”
Sebelum menggarap 19 komik Astérix untuk penerbit Sinar Harapan, Ibu Tati sudah menyelesaikan beberapa belas buku Lima Sekawan, Sapta Siaga, dan dongeng anak-anak dari bahasa Prancis untuk penerbit Gramedia. Ditambah terjemahan untuk penerbit Kanisius, Forum Jakarta-Paris, Mizan, Public Affairs Office, Embassy of the United States of America, Jakarta/Serambi, dan penerbit Obor – di antaranya The God’s of Small Things karangan Arundhati Roy yang diluncurkan tepat pada hari ulang tahun jurnalis ternama Mochtar Lubis yang ke-80 – jumlah seluruhnya 98 buku.
Ketika saya bertanya tentang perbedaan antara pembaca sebelum millennium dan sekarang, jawabannya tidak terlalu mengejutkan. “Maksud Michael baca buku? Jujur saja, saya agak pesimistis. Dalam usia 10 tahun, kami – teman sepermainan dan saya – sudah tamat membaca Tom Sawyer, Huck Finn dan beberapa jilid Winnetou. Seingat saya, membaca telah menjadi sebuah kebutuhan yang mengakar, dan harus dipenuhi. Barangkali, karena kebetulan Bapak dan Ibu saya berprofesi sebagai guru – keduanya kepala sekolah – membaca bukan lagi sebuah kegiatan luar biasa. Begitu juga di rumah teman-teman lainnya. Saya memang beruntung tinggal di sebuah lingkungan dengan latar belakang keluarga yang nyaris sama. Bukan itu saja, karena hiburan saat itu hanyalah radio, maka buku dapat menjadi hiburan pengganti.
Ketika saya bertanya tentang perbedaan antara pembaca sebelum millennium dan sekarang, jawabannya tidak terlalu mengejutkan. “Maksud Michael baca buku? Jujur saja, saya agak pesimistis.
Sebelum Indonesia mengenal televisi antara tahun 50 hingga 60 awal, minat baca di lingkungannya sangat tinggi. Bersama teman-teman sebayanya, dia membuat ‘perpustakaan keliling’. “Sepulang dari sekolah, kami nekad mendatangi asrama-asrama pelajar/mahasiswa untuk menawarkan buku-buku kami. Selalu habis. Tapi jika mereka tidak membayar pada waktunya, tanpa malu-malu kami juga nekad menagih. Sangat menggelikan, sekadar mengingatnya.”
Menurutnya, anak-anak zaman sekarang sebenarnya tidak perlu harus membeli buku, karena semua bisa diakses di internet. Meski demikian, kondisi saat ini jauh berbeda dengan masa lalu. “Sangat disayangkan jika minat baca tetap rendah jika ada internet di rumah,“ lanjutnya, “Siapa saja, tua muda, dapat menambah pengetahuan tentang apa saja hanya dengan membuka internet.”
Sebelum berpisah, saya sempatkan untuk bertanya, syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi penerjemah. “Harus mau belajar, rajin menambah pengetahuan, rajin membuka kamus dan rendah hati. Maksud saya, karena bahasa sumber yang harus diterjemahkan bukan bahasa ibu sang penerjemah, tak ada cara lain kecuali rajin membuka kamus, dan bertanya kepada yang lebih memahami bahasa tersebut, atau penutur asli. Kamus seorang penerjemah karena terlalu sering dibuka, biasanya sampulnya sudah hilang, halaman-halamannya terlepas. Jika Michael mau pinjam kamus di rumah saya, tak ada satu pun yang utuh … Brodol … Sekarang saya dimudahkan berkat internet. Cari sinonim bahasa Inggris? Tinggal tekan shift dan F7. Bingung mencari rima? Ada rhyme dictionary …
Nasehat almarhum ayah tidak akan pernah saya lupakan. ‘Perhatikan jumlah kata bahkan suku kata dari kalimat yang ingin kau tulis. Ibaratnya, usahakan agar tidak berhenti mendadak. Kasihan pembacanya. Kalimat harus lembut, smooth, mengalir …’”
Sumber gambar :
Michael Judah Sumbayak adalah pengajar di Vibiz LearningCenter (VbLC) untuk entrepreneurship dan branding. Seorang penggemar jas dan kopi hitam. Follow instagram nya di @michaeljudahsumbek