(Business Lounge – Global News) Crocs Inc., merek alas kaki ikonik asal Amerika Serikat, menarik kembali panduan keuangannya untuk tahun 2025, menyusul meningkatnya ketidakpastian terkait kebijakan tarif impor Amerika Serikat terhadap produk asal Tiongkok. Langkah ini diumumkan bersamaan dengan laporan keuangan kuartal pertama perusahaan yang menunjukkan kenaikan laba namun penurunan pendapatan dibandingkan tahun lalu.
Keputusan mengejutkan ini muncul di tengah ketegangan dagang yang kembali meningkat antara AS dan Tiongkok, serta spekulasi bahwa pemerintahan berikutnya, siapa pun yang terpilih dalam pemilu presiden November mendatang, dapat menerapkan kebijakan proteksionis yang lebih agresif. Sebagaimana dilaporkan Bloomberg, Crocs mengindikasikan bahwa ketidakpastian mengenai tarif baru membuat perusahaan tidak dapat memberikan panduan finansial yang kredibel dan bertanggung jawab kepada para pemegang saham.
Pada kuartal pertama 2025, Crocs membukukan laba bersih sebesar $152 juta, naik dari $148 juta pada periode yang sama tahun lalu. Namun pendapatannya menurun 3,2% menjadi $877 juta, sedikit di bawah ekspektasi analis yang disurvei oleh Refinitiv. Meskipun permintaan global tetap solid, terutama di Asia dan Amerika Latin, pelemahan di pasar domestik dan tekanan harga mulai terasa signifikan.
CEO Crocs, Andrew Rees, mengatakan dalam konferensi dengan analis bahwa meskipun permintaan terhadap produk ikonik seperti Classic Clogs dan Sandal Echo tetap kuat, ada kekhawatiran besar terkait biaya tambahan yang mungkin harus ditanggung jika tarif baru diberlakukan atas produk yang diimpor dari Tiongkok. “Kami tidak bisa mengasumsikan kebijakan perdagangan akan tetap seperti sekarang. Kami harus menyiapkan skenario untuk semua kemungkinan,” ujarnya.
Sekitar 25% dari total produk Crocs yang dijual di pasar Amerika Serikat masih diproduksi di Tiongkok. Meskipun perusahaan telah mulai merelokasi sebagian produksinya ke Vietnam dan Indonesia, namun kapasitas di luar Tiongkok belum sepenuhnya mencukupi untuk memenuhi permintaan dalam skala besar.
Menurut laporan Reuters, penarikan panduan tahunan oleh Crocs mencerminkan ketidakpastian yang juga dihadapi oleh sejumlah merek konsumen lainnya, terutama di sektor pakaian dan alas kaki, yang sangat bergantung pada manufaktur Asia. Perubahan tarif dapat berdampak langsung pada harga pokok penjualan, sehingga memperkecil margin keuntungan atau memaksa perusahaan menaikkan harga ritel.
Kondisi ini menjadi semakin rumit karena konsumen di AS saat ini menunjukkan perilaku yang lebih hati-hati dalam belanja, terutama untuk barang non-esensial. Tekanan inflasi yang masih terasa dan kenaikan suku bunga selama dua tahun terakhir telah menggerus daya beli, membuat merek seperti Crocs harus lebih selektif dalam mengatur harga dan promosi.
Crocs sebelumnya menetapkan target pertumbuhan pendapatan tahunan antara 3% hingga 5% untuk tahun 2025, dengan margin laba operasi yang diperkirakan berada di kisaran 26% hingga 27%. Namun semua estimasi ini kini ditarik kembali hingga situasi tarif menjadi lebih jelas. Dalam keterangan resminya, perusahaan menyatakan akan terus memantau kebijakan perdagangan AS dan mengambil keputusan strategis yang diperlukan untuk menjaga profitabilitas.
The Wall Street Journal mencatat bahwa keputusan Crocs ini memberi sinyal bahwa perusahaan konsumen besar mulai mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan gelombang proteksionisme baru. Sebelumnya, perusahaan seperti Puma dan Under Armour juga menyatakan kekhawatiran serupa, meskipun belum menarik panduan resmi mereka.
Di pasar saham, reaksi investor terhadap laporan Crocs cenderung netral. Saham perusahaan sempat turun 2% dalam perdagangan pra-pasar setelah laporan dirilis, namun kemudian stabil seiring dengan penilaian bahwa penarikan panduan lebih mencerminkan kehati-hatian strategis ketimbang pelemahan mendasar dalam bisnis.
Crocs sendiri dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami transformasi signifikan dari merek yang dulu sering dipandang sebelah mata menjadi kekuatan besar dalam industri alas kaki kasual. Kolaborasi dengan selebritas dan label mode ternama seperti Balenciaga dan Post Malone telah mendongkrak daya tarik merek ini di kalangan muda dan komunitas fashion.
Namun keberhasilan membangun popularitas harus dibarengi dengan ketahanan operasional, dan di sinilah isu tarif menjadi sangat krusial. Jika tarif baru diberlakukan atas alas kaki asal Tiongkok, Crocs akan menghadapi dilema antara menyerap biaya tambahan atau meneruskannya ke konsumen dalam bentuk kenaikan harga.
Menurut analis dari Morgan Stanley, setiap kenaikan tarif sebesar 10% bisa berdampak pada penurunan margin kotor sebesar 1,5 poin persentase jika tidak diimbangi dengan efisiensi lain. Dalam situasi konsumen yang sensitif terhadap harga, ini bisa mengurangi volume penjualan dan memperbesar tekanan pada bottom line.
Crocs menyatakan akan mempercepat strategi diversifikasi sumber produksi, termasuk investasi di fasilitas manufaktur di India dan Meksiko, namun pengalihan semacam itu membutuhkan waktu dan modal besar. Hingga saat ini, sekitar 80% dari produk Crocs secara global masih diproduksi di Asia.
Seiring dengan ketidakpastian ini, Crocs juga berfokus pada penguatan kanal distribusi langsung ke konsumen. Penjualan melalui e-commerce dan toko milik sendiri kini menyumbang lebih dari 40% dari total pendapatan, naik signifikan dari 25% tiga tahun lalu. Kanal ini memberikan margin lebih tinggi dan kontrol harga yang lebih kuat, sehingga menjadi pilar penting dalam strategi mitigasi risiko.
Kinerja positif di pasar Asia juga menjadi penopang penting. Di kawasan ini, pendapatan Crocs naik dua digit, berkat pertumbuhan di Korea Selatan, Jepang, dan India. Pasar Asia kini menyumbang sekitar 20% dari total pendapatan perusahaan, dan diproyeksikan akan menjadi motor pertumbuhan baru di tengah ketidakpastian di Amerika.
Namun tetap saja, dominasi pasar AS—yang menyumbang lebih dari 50% penjualan—membuat ketergantungan terhadap kebijakan domestik Amerika sangat besar. Dalam analisisnya, Bloomberg Intelligence menyebut bahwa keputusan Crocs menarik panduan tahunannya merupakan sinyal bahwa perusahaan-perusahaan ritel kini mengambil pendekatan lebih konservatif dalam pengelolaan ekspektasi.
Meski tidak memberikan angka baru untuk panduan tahun penuh, Crocs menyatakan akan memberikan pembaruan jika situasi perdagangan menjadi lebih jelas, kemungkinan dalam laporan kuartal kedua yang akan dirilis pada Agustus mendatang.
Dalam jangka pendek, perusahaan menyatakan akan lebih fokus pada pengendalian biaya dan penguatan merek, termasuk dengan peluncuran produk-produk musiman dan kolaborasi baru yang sudah direncanakan sejak tahun lalu. “Kami tetap berkomitmen pada strategi jangka panjang kami, tetapi harus realistis dalam menavigasi risiko jangka pendek,” kata Rees menutup konferensi dengan analis.
Langkah Crocs mencerminkan realitas baru yang kini dihadapi perusahaan global: ketegangan geopolitik dan kebijakan perdagangan yang tidak dapat diprediksi menjadi bagian dari lanskap bisnis yang harus dikelola secara aktif. Bagi Crocs, fleksibilitas, efisiensi, dan kehati-hatian kini menjadi kata kunci untuk bertahan dan berkembang dalam ketidakpastian yang tak kunjung reda.