(Business Lounge – Technology) Mark Zuckerberg, pendiri sekaligus CEO Meta Platforms, pernah berada di tengah upaya dramatis untuk menyingkirkan ancaman terbesar bagi perusahaannya: gugatan antitrust dari Federal Trade Commission (FTC) yang dapat memaksa perusahaan membubarkan akuisisi besar seperti Instagram dan WhatsApp. Berdasarkan laporan investigatif The Wall Street Journal dan Bloomberg, negosiasi rahasia antara Meta dan FTC berlangsung sengit, dengan titik kritis pada tahun terakhir pemerintahan Trump, namun akhirnya gagal karena jurang perbedaan yang sangat lebar—terutama soal uang dan kepentingan politik.
Menurut berbagai sumber yang mengetahui jalannya pembicaraan, FTC sempat membuka peluang untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan syarat pembayaran kompensasi besar dari Meta sebesar 30 miliar dolar AS. Nilai ini jauh lebih tinggi dari angka yang ditawarkan oleh Zuckerberg, yang menurut laporan internal hanya berkisar di angka “beberapa miliar”. Harapan Zuckerberg kala itu bukan hanya pada angka, tapi juga pada perubahan politik: ia berharap pemerintahan Donald Trump yang dikenal lebih longgar terhadap regulasi teknologi akan memberi tekanan pada FTC agar mundur.
Namun harapan itu tidak terwujud. FTC, yang kala itu dipimpin oleh Ketua Joseph Simons—seorang Republikan yang juga mantan pengacara antitrust—menolak tawaran Meta dan menegaskan bahwa kasus terhadap perusahaan bukan soal uang, melainkan struktur kekuasaan. Simons dan timnya menilai bahwa dominasi Meta dalam media sosial, diperkuat oleh akuisisi besar seperti Instagram (2012) dan WhatsApp (2014), telah menciptakan hambatan bagi inovasi dan kompetisi.
Negosiasi ini mencerminkan strategi Meta yang kala itu berusaha menghindari gugatan struktural dengan membayar denda besar. Menurut laporan The Information, Zuckerberg secara pribadi memimpin upaya ini, bahkan mempertimbangkan kemungkinan kompromi terbatas seperti pembukaan API atau transparansi algoritma sebagai ganti pencabutan tuntutan.
Namun pendekatan ini terbukti tidak cukup. Setelah negosiasi gagal, FTC resmi menggugat Meta pada Desember 2020, menuduh perusahaan menggunakan akuisisi untuk mempertahankan monopoli. Gugatan ini dilanjutkan oleh FTC di bawah kepemimpinan Lina Khan, akademisi antimonopoli yang dikenal progresif dan sering mengkritik dominasi Big Tech. Khan menolak semua kompromi dan mendorong gugatan tersebut sampai ke pengadilan.
Financial Times mencatat bahwa dalam beberapa bulan terakhir, tim hukum Meta semakin agresif dalam menyerang dasar hukum gugatan FTC. Perusahaan berargumen bahwa akuisisi Instagram dan WhatsApp sudah disetujui regulator lebih dari satu dekade lalu, dan bahwa merek-merek tersebut justru tumbuh dan menjadi lebih inovatif di bawah kepemilikan Meta.
Namun posisi FTC justru menguat dengan hadirnya dokumen-dokumen internal Meta yang membuktikan bahwa Zuckerberg telah lama memandang akuisisi sebagai cara untuk “menetralisir” ancaman terhadap bisnis Facebook. Salah satu email Zuckerberg pada 2012, yang dikutip dalam dokumen pengadilan, menyatakan bahwa membeli Instagram adalah cara terbaik untuk menghindari persaingan di masa depan.
Selain itu, gugatan ini terjadi di tengah gelombang lebih luas pengawasan terhadap perusahaan teknologi. Di AS, Eropa, dan Inggris, regulator mulai lebih tegas menantang dominasi raksasa seperti Google, Apple, Amazon, dan Meta. Lina Khan, yang juga arsitek regulasi baru dalam Digital Markets di AS, ingin mengubah preseden hukum antitrust yang selama ini sulit menjerat Big Tech.
Seiring gugatan ini terus bergulir, Meta kini menghadapi potensi konsekuensi besar: pembubaran paksa WhatsApp atau Instagram, pembatasan akuisisi masa depan, serta pengawasan ketat terhadap praktik algoritma dan monetisasi data. Tak hanya itu, reputasi Zuckerberg sebagai pengambil keputusan juga dipertanyakan, terutama karena pendekatan negosiasi yang terkesan terlalu percaya diri dan mengandalkan faktor eksternal seperti dukungan politik.
Meski saham Meta tetap kuat di tengah ledakan AI dan pertumbuhan platform seperti Threads dan Reels, gugatan antitrust ini menjadi bayang-bayang jangka panjang yang sulit diabaikan. Para analis dari Bloomberg Intelligence memperkirakan bahwa proses hukum bisa berlangsung selama bertahun-tahun, namun hasil akhirnya bisa menjadi preseden penting bagi masa depan regulasi teknologi global.
Bagi Zuckerberg, kegagalan menyelesaikan gugatan secara damai kini tercatat sebagai salah satu pertaruhan terbesar dalam kariernya—bukan hanya soal uang, tetapi tentang bentuk masa depan perusahaan yang ia bangun sejak usia 19 tahun.