(Business Lounge – Technology) Google kembali menghadapi tekanan hukum besar dari Eropa, kali ini dari Inggris, di mana perusahaan teknologi raksasa tersebut tengah terancam gugatan antitrust senilai 6,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp106 triliun. Seperti dilaporkan oleh Reuters, Bloomberg, dan The Guardian, gugatan ini diajukan oleh sekelompok perusahaan yang menuduh Google menyalahgunakan dominasinya dalam pasar iklan pencarian daring (search advertising) dan mengenakan biaya berlebih kepada klien bisnis selama bertahun-tahun.
Gugatan diajukan ke Pengadilan Banding Persaingan di London oleh Ad Tech Collective Action LLP, sebuah entitas hukum yang mewakili ribuan pengiklan dari berbagai sektor. Mereka menuduh bahwa Google selama ini menetapkan harga iklan penelusuran dengan cara yang tidak kompetitif dan eksploitatif, sehingga merugikan para pelaku usaha yang bergantung pada platform tersebut untuk menjangkau konsumen secara digital.
Menurut dokumen yang dikutip oleh Bloomberg, para penggugat menyatakan bahwa struktur pasar periklanan digital Google yang tertutup dan sulit ditelusuri memberikan perusahaan kendali hampir absolut terhadap penetapan harga, serta memungkinkan Google untuk “memotong lebih banyak margin” dari anggaran pengiklan dibandingkan sistem terbuka atau kompetitor lainnya.
Google, dalam pernyataannya kepada Reuters, menyatakan akan membela diri dengan keras dan menolak semua tuduhan tersebut. “Layanan kami membantu bisnis Inggris menjangkau pelanggan dan berkembang. Kami akan menunjukkan bahwa klaim ini tidak berdasar dan kami akan menentangnya dengan tegas,” ujar juru bicara Google.
Kasus ini memiliki dampak yang signifikan bukan hanya bagi Google, tapi juga untuk lanskap periklanan digital secara luas. Gugatan ini menggarisbawahi kekhawatiran lama di Eropa bahwa dominasi Google—terutama di bidang pencarian dan periklanan—menghambat kompetisi dan memberi dampak ekonomi negatif pada bisnis skala kecil dan menengah.
Regulator antitrust di Eropa sebelumnya telah menjatuhkan denda miliaran dolar kepada Google dalam beberapa kasus serupa, termasuk denda sebesar 2,7 miliar dolar pada 2017 karena praktik monopoli di layanan belanja daring, serta denda 5 miliar dolar pada 2018 terkait sistem operasi Android. Namun, gugatan yang diajukan di Inggris ini berbeda karena bersifat class action—yakni digerakkan oleh sektor swasta, bukan regulator negara.
Analis dari Financial Times menyebut bahwa nilai gugatan ini, yang mencapai lebih dari enam miliar dolar, menunjukkan bahwa tekanan terhadap raksasa teknologi kini tidak hanya datang dari pemerintah atau Uni Eropa, tetapi juga dari konsumen dan pelaku usaha sendiri. Hal ini mengindikasikan perubahan dalam dinamika pengawasan pasar digital.
Para penggugat mengandalkan hukum persaingan Inggris yang memungkinkan collective proceedings, semacam gugatan kelompok, yang mengalami perluasan sejak Brexit. Inggris, yang sebelumnya tidak seagresif Uni Eropa dalam menindak perusahaan teknologi besar, kini tampaknya mulai membuka ruang hukum yang lebih aktif terhadap raksasa digital.
Kasus ini juga menjadi bagian dari gelombang global yang lebih besar terhadap dominasi platform digital. Di AS, Google tengah menghadapi gugatan antitrust dari Departemen Kehakiman terkait bisnis mesin pencarian dan periklanan daringnya. Sementara itu, Uni Eropa telah mengimplementasikan Digital Markets Act, regulasi baru yang bertujuan menekan dominasi perusahaan “gatekeeper” seperti Google.
Jika gugatan ini berhasil, Google tak hanya menghadapi kewajiban finansial yang signifikan, tetapi juga potensi perubahan dalam struktur bisnisnya di Inggris, termasuk kemungkinan harus mengubah model harga dan cara operasi unit periklanannya. Lebih jauh lagi, gugatan ini bisa membuka pintu bagi gugatan serupa di negara-negara lain dengan sistem hukum yang mengizinkan class action.
Bagi Google, ancaman ini datang di tengah tantangan besar lain: tekanan dari regulasi AI, kekhawatiran atas privasi data pengguna, dan persaingan yang semakin intens dari pemain seperti Amazon dan TikTok dalam pasar periklanan daring.
Namun sejauh ini, pasar belum memberikan reaksi negatif besar terhadap kabar ini. Saham Alphabet, induk Google, tetap stabil di bursa Nasdaq. Analis Goldman Sachs menyatakan bahwa meski nilai gugatan signifikan, peluang keberhasilannya belum dapat dipastikan karena proses hukum antitrust di Inggris bisa berlangsung sangat panjang dan kompleks.
Apa pun hasil akhirnya, kasus ini menandai bahwa pertarungan hukum terhadap dominasi digital kini bukan lagi sebatas agenda pemerintah, tetapi juga perjuangan sektor bisnis yang merasa dirugikan. Google mungkin telah membangun sistem periklanan paling efektif di dunia, tetapi dengan efektivitas tersebut datang pengawasan yang semakin tajam dan tekanan untuk lebih transparan serta adil.