bioteknologi

Volatilitas Pasar Dorong Kolaborasi Startup Biotek dan Raksasa Farmasi

(Business Lounge – Global News) Gejolak pasar yang terus berlangsung telah mendorong startup bioteknologi dan perusahaan farmasi besar untuk membangun kolaborasi yang lebih erat. Dalam lanskap industri kesehatan yang semakin kompetitif dan penuh tekanan, banyak startup biotek kini mengubah strategi mereka: tidak hanya fokus pada riset dan pengembangan awal, tetapi juga mulai mempertimbangkan potensi komersial sejak dini untuk menarik minat investor dan calon mitra akuisisi dari kalangan raksasa farmasi.

Menurut laporan dari The Wall Street Journal, tekanan terhadap valuasi publik dan pasar IPO yang lesu membuat banyak startup biotek berjuang untuk bertahan hidup tanpa dukungan eksternal. Sementara itu, perusahaan farmasi besar yang memiliki kas melimpah mencari inovasi baru untuk mengisi portofolio mereka yang akan segera kehabisan hak paten. Kebutuhan yang saling mengisi ini mendorong sinergi baru antara dua pihak yang dulunya cenderung berjalan terpisah.

Dalam wawancara dengan Bloomberg, para eksekutif dari berbagai firma modal ventura seperti Flagship Pioneering dan Arch Venture Partners menyebut bahwa investasi kini lebih selektif, dengan perhatian besar terhadap kemampuan startup membuktikan potensi pasar dari molekul atau terapi yang mereka kembangkan. Alih-alih hanya mengejar publikasi ilmiah atau bukti konsep di laboratorium, startup didorong untuk memetakan jalur regulasi, strategi harga, dan bahkan model kemitraan sejak fase awal.

Salah satu contoh kemitraan yang mencerminkan tren ini adalah kolaborasi antara startup Relmada Therapeutics dengan raksasa Eli Lilly. Relmada, yang mengembangkan terapi untuk depresi berbasis NMDA, berhasil menarik perhatian Lilly karena pendekatan klinisnya yang presisi dan proyeksi kebutuhan pasar yang signifikan. Kemitraan tersebut memungkinkan Relmada untuk mendapatkan pendanaan tambahan sekaligus akses ke infrastruktur klinis dan komersial global milik Lilly.

Financial Times melaporkan bahwa perusahaan seperti Pfizer dan Johnson & Johnson kini semakin agresif mencari mitra dari kalangan startup, khususnya di bidang onkologi, imunoterapi, dan terapi gen. Mereka tidak hanya melihat startup sebagai target akuisisi, tetapi juga sebagai mitra kolaboratif untuk co-development dan lisensi. Hal ini mencerminkan pergeseran paradigma dari “build or buy” menjadi “build and partner”, di mana risiko dan biaya dibagi, sementara potensi keuntungan dibuka lebih luas.

Para analis menilai bahwa perubahan strategi ini akan berdampak jangka panjang terhadap ekosistem biotek. Menurut laporan dari McKinsey & Company, startup yang berhasil membangun portofolio yang menarik secara komersial sejak tahap awal lebih mungkin bertahan di tengah gejolak pasar. Mereka juga memiliki peluang lebih besar untuk menjalin kesepakatan lisensi atau kolaborasi strategis, yang menjadi sumber pendanaan alternatif di luar jalur IPO.

Namun, dinamika ini juga menghadirkan tantangan baru. Startup dituntut untuk memiliki kapasitas manajerial dan regulatori yang lebih kuat, serta mampu bernegosiasi secara strategis dengan mitra korporat yang jauh lebih besar. Di sisi lain, perusahaan farmasi besar harus beradaptasi dengan budaya inovasi yang lebih cepat dan fleksibel, yang sering kali menjadi karakter khas startup biotek. Perbedaan kecepatan pengambilan keputusan dan toleransi risiko antara dua dunia ini menjadi ujian bagi keberhasilan kolaborasi.

Dalam laporan dari Stat News, disebutkan bahwa banyak perusahaan besar kini membentuk tim khusus untuk menangani kemitraan dengan startup. Tim ini biasanya terdiri dari ahli ilmu hayati, analis keuangan, dan profesional regulasi yang bertugas menilai secara cepat kelayakan klinis dan potensi pasar dari teknologi yang diajukan. Strategi ini bukan hanya untuk mengejar efisiensi, tapi juga untuk mengamankan pipeline produk yang bisa menopang pertumbuhan di tengah ancaman paten kadaluwarsa dan tekanan harga global.

Kondisi pasar yang tidak stabil juga menyebabkan para investor lebih memilih investasi pada startup yang sudah memiliki data klinis tahap menengah (fase II), dibandingkan proyek yang masih dalam tahap riset awal. Hal ini menggeser peta pendanaan ke arah startup yang telah memiliki kejelasan arah dan data awal yang meyakinkan. Sementara itu, perusahaan farmasi memanfaatkan situasi ini untuk melakukan penjajakan dan akuisisi dengan valuasi yang lebih menguntungkan.

Banyak pelaku industri menilai bahwa tren kolaboratif ini akan terus berlanjut, bahkan ketika pasar mulai pulih. Kolaborasi antara startup dan perusahaan besar terbukti mempercepat pengembangan produk dan memperluas akses pasar. Model kemitraan seperti co-development, lisensi eksklusif regional, hingga joint venture menjadi semakin umum. Kombinasi antara inovasi cepat dari startup dan kapabilitas skala besar dari perusahaan farmasi menjadi formula yang menjanjikan untuk mengatasi tantangan kesehatan global yang semakin kompleks.