Menghidupkan Kembali “Tempat Ketiga”: Strategi CEO Starbucks dengan Sentuhan Retro

(Business Lounge Journal – Global News)

Dalam laporan keuangan terbaru Starbucks, CEO Brian Niccol menyoroti tema “Back to Starbucks,” yaitu upaya untuk mengembalikan Starbucks ke akar bisnisnya.

“Bayangkan kafe yang nyaman dan hangat, dengan lebih banyak tempat duduk, colokan listrik, serta tampilan makanan yang lebih menarik,” kata Niccol. Ia juga menggambarkan desain toko yang lebih baik, pemisahan antara pemesanan online dan pengalaman di dalam kafe, serta bar espresso yang didesain ulang untuk memberikan kesan atraktif.

Apa yang digambarkan Niccol ini mirip dengan suasana kafe saat ia masih kuliah. Mungkin ia ingin mengambil inspirasi dari sana.

Niccol lulus dari Miami University di Oxford, Ohio, pada tahun 1996. Kampusnya, yang memiliki sekitar 20.000 mahasiswa, dikelilingi oleh pepohonan dan bangunan bata merah, dengan empat Starbucks dalam satu mil persegi. Namun, saat Niccol masih kuliah, pilihan tempat ngopi masih terbatas. Salah satu kafe yang paling mencerminkan visi Starbucks yang ia inginkan saat ini adalah Mama Earth.

Bagi banyak pelanggannya pada waktu itu – seperti dipublikasikan media – Mama Earth memiliki atmosfer terbaik walaupun agak sempit, tapi begitulah kafe mahasiswa. Tempatnya benar-benar mencerminkan suasana kafe tahun 90-an. Sayangnya, Mama Earth akhirnya tutup dan digantikan oleh kafe lain dengan vibe yang berbeda. Terkadang ada musik live dari piano di Mama Earth, serta tumpukan board game lama di pojok. Pengunjung akan duduk di meja kecil, mendengarkan musik, mengobrol dengan suara pelan di antara ramainya pelanggan lain, atau hanya menikmati kopi sambil berpikir langkah permainan catur.

Jessica Greene, mantan direktur Oxford Visitors Bureau yang lulus dari Miami University pada tahun 2000, juga mengenang masa-masa di Mama Earth. “Kafe-kafe di Oxford saat itu sudah menjadi ‘tempat ketiga’ sebelum istilah itu populer,” katanya.

Namun, perubahan tampilan yang diinginkan Niccol belum tentu menarik para pecinta kopi sejati. Tantangan yang lebih besar adalah kualitas kopi yang dijual.

Menurut Robert Thurston, profesor sejarah yang telah menulis buku Coffee: From Bean to Barista, Starbucks sulit menyajikan kopi berkualitas tinggi dalam skala besar karena tidak akan menguntungkan. “Jika Anda memesan kopi hitam di Starbucks, mereka tidak mendapatkan banyak keuntungan,” katanya. “Semakin banyak tambahan dalam secangkir kopi Starbucks, semakin besar keuntungan mereka.”

Ia menjelaskan bahwa untuk perusahaan sebesar Starbucks, mendapatkan biji kopi berkualitas tinggi dalam jumlah besar sangat sulit. Akibatnya, Starbucks lebih dikenal sebagai bisnis minuman berbasis susu daripada murni bisnis kopi. Tantangan bagi Starbucks adalah semakin rendah kualitas kopinya, semakin mudah bagi pesaing untuk mengambil pelanggan mereka. Namun, Thurston tetap percaya bahwa Starbucks akan terus menjadi perusahaan besar karena masih dianggap lebih baik dibandingkan kopi instan seperti Folgers atau Maxwell House.

Pada akhirnya, mungkin rasa kopi bukanlah faktor utama. Itulah sebabnya Niccol ingin menjadikan Starbucks sebagai “tempat ketiga” lagi — tempat orang bisa berkumpul dan bersosialisasi. “Di kota ini, orang suka berkumpul,” kata Greene. “Dan tempat berkumpul itu sekarang menjadi sesuatu yang sangat berharga.”