(Business Lounge Journal – News and Insight)
Starbucks, ikon kedai kopi global, tengah berupaya untuk merevitalisasi pengalaman pelanggannya dengan mengembalikan konsep “ruang ketiga” yang pernah menjadi ciri khasnya. Namun, kali ini, ada perbedaan signifikan: pengalaman santai dan berlama-lama di kedai kopi hanya diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pembelian. CEO Starbucks, Brian Niccol, dalam rapat pemegang saham tahunan, mengumumkan rencana strategis yang disebut “Back to Starbucks,” sebuah inisiatif yang bertujuan untuk memulihkan kejayaan merek tersebut di tengah penurunan penjualan yang dialami selama empat kuartal berturut-turut.
Inti dari strategi ini adalah menciptakan kembali suasana kedai kopi yang nyaman dan hangat, dengan penambahan fasilitas seperti tempat duduk yang lebih banyak, colokan listrik, dan etalase makanan yang lebih menarik. Desain gerai pun dirombak untuk memisahkan area pemesanan daring dari pengalaman di dalam kafe, serta menampilkan bar espresso yang lebih atraktif, yang diharapkan dapat memberikan “teater kopi” bagi pelanggan. Beberapa gerai di Amerika Serikat telah memulai uji coba desain baru ini, menandai langkah awal dari perubahan besar yang direncanakan.
Namun, upaya Starbucks untuk kembali ke “akar”nya tidak hanya terbatas pada perubahan fisik gerai. Perusahaan juga melakukan serangkaian perubahan operasional dan menu, yang disebut sebagai “Big Fix.” Langkah-langkah ini termasuk mengembalikan condiment bars dan menuliskan nama pelanggan di gelas, meskipun hal ini sempat menimbulkan sedikit kekacauan di beberapa gerai. Starbucks juga berjanji untuk meningkatkan kecepatan layanan, dengan target penyajian kopi dalam waktu kurang dari empat menit, serta menyederhanakan menu hingga 30% dan menghapus biaya tambahan untuk susu nabati.
Meskipun perubahan ini diharapkan dapat menarik kembali pelanggan dan meningkatkan pendapatan, beberapa kebijakan baru Starbucks menuai kontroversi. Keputusan untuk membatasi akses toilet hanya bagi pelanggan yang melakukan pembelian, serta pelatihan staf untuk menanyakan apakah pelanggan berencana untuk makan di tempat atau dibawa pulang, menandai perubahan signifikan dari kebijakan tahun 2018 yang menyatakan Starbucks sebagai ruang terbuka bagi siapa pun. CEO Brian Niccol bahkan menegaskan bahwa perusahaan lebih memilih untuk menutup gerai daripada kembali ke kebijakan lama tersebut.
Di tengah upaya transformasi ini, Starbucks juga memperluas fokusnya ke pasar global, terutama China, yang dianggap memiliki potensi pertumbuhan yang besar. Perusahaan melihat rantai pasok yang kuat di China sebagai model untuk meningkatkan efisiensi operasional di Amerika Utara, dan mengisyaratkan kemungkinan kemitraan strategis untuk mempercepat pertumbuhan di pasar global.
Namun, tantangan internal juga membayangi Starbucks. Pada awal Maret, CEO Brian Niccol memberikan teguran keras kepada karyawan korporat, menuntut kinerja yang lebih tinggi dan tanggung jawab atas kondisi keuangan perusahaan. Pernyataan ini muncul setelah Starbucks melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 1.100 karyawan dalam upaya efisiensi biaya.
Dengan berbagai perubahan besar ini, Starbucks berupaya untuk mempertahankan posisinya sebagai pemimpin industri kopi di tengah persaingan yang semakin ketat. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah strategi ini akan berhasil menarik kembali pelanggan dan membangun loyalitas mereka? Hanya waktu yang akan menjawabnya.