(Business Lounge Journal – News and Insight)
Teknologi robot humanoid semakin berkembang. Namun, masih ada satu pertanyaan mendasar yang belum terjawab.
Dalam sebuah video demonstrasi dari Google DeepMind, lengan robot dengan hati-hati melipat origami, memasukkan camilan ke dalam kantong Ziploc, dan mengatur berbagai benda dengan ketepatan luar biasa. Jika ada barang yang terjatuh, robot ini dengan cepat menyesuaikan diri dan melanjutkan tugasnya. Gerakan ini tidak kaku seperti robot biasa, tetapi lebih luwes dan adaptif—berkat model AI baru bernama Gemini Robotics yang diperkenalkan oleh Google awal bulan ini.
Meskipun demonstrasi ini berfokus pada lengan robot, teknologi yang digunakan juga akan mendukung generasi terbaru dari robot berbentuk manusia. Google menyatakan bahwa model Gemini Robotics dirancang untuk “mudah beradaptasi dengan berbagai jenis robot” dan sudah diuji pada robot humanoid Apollo buatan Apptronik.
Menurut Carolina Parada, pemimpin tim robotika DeepMind, agar AI bisa benar-benar berguna dalam dunia nyata, robot harus memiliki kemampuan “pemahaman yang mendalam” seperti manusia—memahami dan bereaksi terhadap lingkungan di sekitarnya.
Robot Humanoid: Masa Depan atau Tantangan?
Gelombang baru robot humanoid saat ini dikembangkan oleh perusahaan teknologi besar seperti Google dan Meta, serta startup seperti Figure AI dan Agility Robotics. Robot-robot ini diproyeksikan menjadi masa depan logistik dan pekerjaan rumah tangga. Bayangan tentang robot pembantu yang bisa mencuci piring atau mencuci baju telah lama menjadi impian, meskipun juga sering menjadi sumber ketakutan dalam cerita fiksi ilmiah. Kini, dengan dukungan AI canggih, impian ini mulai mendekati kenyataan.
Namun, ada satu pertanyaan penting: Haruskah kita menciptakan robot yang bisa beradaptasi dengan dunia manusia, atau justru mengubah lingkungan agar lebih sesuai dengan robot yang lebih sederhana?
Para pendukung robot humanoid berargumen bahwa dunia sudah didesain untuk manusia, dengan tangga, rak setinggi bahu, dan benda-benda penting yang diletakkan sejajar dengan mata. Oleh karena itu, robot berbentuk manusia dianggap paling masuk akal untuk beradaptasi dengan lingkungan yang sudah ada, seperti dapur rumah kita. Namun, ada tantangan besar. Saat ini, robot yang paling sukses justru bukan humanoid, melainkan robot sederhana yang bekerja di gudang—dengan sistem penyimpanan yang dirancang khusus untuk mereka. Di lingkungan ini, robot tidak perlu berbentuk manusia karena tugasnya lebih spesifik dan terstruktur.
AI: Kunci Kemajuan Robot Humanoid
Perusahaan pengembang robot humanoid kini memiliki senjata baru yang bisa mengubah segalanya: sistem AI seperti Gemini dari Google dan GPT dari OpenAI. Teknologi ini memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dengan robot secara alami, seperti berbicara dengan manusia—tanpa perlu pemrograman khusus.
Lebih menarik lagi, model AI ini memungkinkan robot untuk menghadapi situasi baru yang belum pernah mereka pelajari sebelumnya. Ini bisa menjadi solusi bagi tantangan terbesar dalam dunia robotika.
Namun, realitas saat ini masih jauh dari sempurna. Robot humanoid masih lebih lambat dibanding manusia dan kesulitan menangani benda-benda yang lunak atau mudah berubah bentuk. Selain itu, lingkungan rumah yang dinamis, seperti anak-anak berlari-lari atau benda yang berserakan di lantai, masih menjadi tantangan yang belum terpecahkan.
Tantangan dan Masa Depan
Meskipun ada banyak kendala, perusahaan-perusahaan teknologi tetap optimis. Meta sedang membangun platform untuk robot humanoid yang disebut sebagai “the Android of androids.” Elon Musk juga aktif mempromosikan robot humanoid Tesla, Optimus, dan bahkan mengklaim bahwa salah satu robotnya akan dikirim ke Mars tahun depan.
Namun, ada hambatan besar sebelum robot humanoid bisa digunakan secara luas. Studi tentang interaksi manusia-robot menunjukkan bahwa manusia lebih tidak toleran terhadap kesalahan robot dibanding kesalahan manusia. Jika seorang rekan kerja menjatuhkan barang sesekali, kita mungkin memaafkannya. Tetapi jika robot melakukan kesalahan yang sama, kepercayaan kita bisa langsung hilang.
Masalah ini semakin kompleks dengan adanya model AI berbasis bahasa yang kadang mengalami “halusinasi” atau menghasilkan informasi yang salah. Jika robot salah memahami perintah akibat kesalahan AI, dampaknya bisa berbahaya—tidak hanya sekadar kesalahan dalam percakapan, tetapi juga risiko merusak barang atau mencelakai manusia.
Terlepas dari tantangan tersebut, miliaran dolar terus mengalir ke industri robot humanoid. Para pemimpin teknologi yang tumbuh dengan cerita fiksi ilmiah tidak ingin menyerah pada impian ini. CEO Nvidia, Jensen Huang, bahkan memperkirakan bahwa robot humanoid akan segera menjadi bagian dari kehidupan kita. “Ini bukan masalah lima tahun lagi,” katanya. “Ini hanya beberapa tahun lagi.”