Amerika Serikat dan Ketergantungannya pada Impor Pangan Global

(Business Lounge Journal – Essay on Global)

Amerika Serikat merupakan salah satu negara dengan jumlah impor pangan terbesar di dunia, mencapai lebih dari $100 miliar per tahun. Dari buah-buahan, makanan laut, hingga produk olahan, banyak bahan pangan yang dikonsumsi oleh warga Amerika berasal dari berbagai belahan dunia. Namun, ketergantungan ini menimbulkan tantangan besar, terutama ketika kebijakan perdagangan mengalami perubahan drastis. Ancaman tarif dan ketegangan perdagangan dapat mengubah lanskap impor pangan Amerika Serikat secara signifikan.

Meksiko

Meksiko adalah salah satu mitra dagang terbesar Amerika Serikat dalam sektor pangan, terutama untuk buah-buahan dan sayuran. Lebih dari 90% alpukat yang dikonsumsi di AS berasal dari Meksiko, dengan nilai impor mencapai lebih dari $2 miliar pada tahun 2024. Popularitas alpukat di AS meningkat drastis sejak perjanjian NAFTA mulai berlaku pada 1994, yang menghapus larangan impor alpukat dari Meksiko selama 83 tahun sebelumnya.

Selain alpukat, Meksiko juga memasok lebih dari 80% jeruk nipis yang dikonsumsi di AS. Seiring meningkatnya permintaan untuk jeruk nipis, terutama karena kepopuleran masakan Amerika Latin dan Asia, produksi jeruk nipis Meksiko naik 50% dalam dekade terakhir untuk memenuhi kebutuhan pasar AS. Namun, meningkatnya permintaan juga membawa dampak negatif bagi para petani yang harus berhadapan dengan kekeringan dan tekanan dari kartel kriminal.

Di sektor lain, gula juga menjadi komoditas penting dalam hubungan dagang AS dan Meksiko. Namun, pada tahun 2014, produsen gula AS menuduh Meksiko melakukan praktik dumping, yakni menjual gula dengan harga lebih murah dari biaya produksi, yang akhirnya membuat AS membatasi impor gula Meksiko pada tahun berikutnya. Kebijakan ini melindungi produsen dalam negeri, tetapi juga menyebabkan harga gula naik bagi konsumen Amerika.

Uni Eropa

Uni Eropa merupakan salah satu pemasok utama produk pangan ke AS, dengan nilai ekspor lebih dari $20 miliar per tahun. Produk-produk unggulan dari Eropa yang sangat populer di AS termasuk keju Italia, minyak zaitun Spanyol, dan truffle Italia.

Italia merupakan pemasok keju terbesar untuk AS, terutama keju burrata yang berasal dari wilayah Puglia. AS juga mengimpor hampir seluruh kebutuhan minyak zaitunnya dari luar negeri, dengan sebagian besar berasal dari Spanyol. Industri minyak zaitun Spanyol mengalami kemajuan besar dalam 25 tahun terakhir berkat modernisasi metode produksi, yang menghasilkan minyak berkualitas lebih tinggi dengan harga lebih mahal.

Di sektor lain, AS mendapatkan sekitar 75% impor truffle dari Italia, khususnya dari wilayah Alba di Piedmont yang terkenal dengan truffle putihnya. Namun, ancaman tarif dari pemerintah AS terhadap produk-produk Eropa bisa berdampak pada kenaikan harga bagi konsumen Amerika dan menimbulkan pembalasan dari pihak Uni Eropa.

India

Sekitar 80% makanan laut yang dikonsumsi di AS berasal dari luar negeri, dan India merupakan pemasok utama udang dengan nilai ekspor lebih dari $2 miliar per tahun. Namun, pada Januari 2025, Presiden Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif 100% terhadap India dan sembilan negara lainnya yang dianggap mengancam dominasi dolar AS dalam perdagangan global.

Tarif ini bisa berdampak besar pada industri makanan laut di AS, karena harga udang impor akan meningkat drastis. Namun, bagi nelayan AS yang telah lama berjuang menghadapi persaingan harga murah dari luar negeri, kebijakan ini bisa membantu mereka bersaing kembali. Biaya operasi kapal nelayan di AS terus meningkat, dengan harga bahan bakar dan peralatan yang melonjak dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa nelayan, seperti Captain Lonnie Mayu Jr, telah beroperasi selama lebih dari 60 tahun, tetapi semakin kesulitan untuk mendapatkan keuntungan karena harga jual udang yang rendah.

China

China adalah pemasok utama bawang putih untuk AS, dengan sekitar 50% kebutuhan bawang putih Amerika berasal dari negara tersebut. Namun, sejak Perang Dagang AS-China dimulai, AS menerapkan tarif 10% terhadap bawang putih China pada Februari 2025, yang kemudian meningkat menjadi 20% pada Maret. China membalas dengan memberlakukan tarif 10-15% terhadap berbagai produk AS, memperburuk ketegangan dagang antara kedua negara.

Perusahaan bawang putih AS seperti Christopher Ranch telah lama berjuang menghadapi praktik dumping dari China, di mana bawang putih dijual dengan harga lebih murah dari biaya produksinya. Akibatnya, banyak petani bawang putih di AS gulung tikar, dengan jumlah produsen komersial menyusut dari 12 menjadi hanya 3 dalam beberapa dekade terakhir.

Afrika

Amerika Serikat mengimpor sekitar $5 miliar produk kakao per tahun, dengan dua pertiga biji kakaonya berasal dari Afrika, terutama Ghana dan Pantai Gading. Namun, produksi kakao global sedang menghadapi ancaman serius dari virus Swollen Shoot, yang telah membunuh jutaan pohon kakao di Afrika Barat.

Virus ini menyebar melalui serangga kecil yang menghisap getah pohon kakao, menyebabkan daun menguning, batang membengkak, dan buah mengecil sebelum akhirnya pohon mati dalam beberapa tahun. Akibatnya, produksi kakao menurun drastis, menyebabkan harga cokelat melonjak secara global. Para petani di Ghana menghadapi dilema: menebang pohon yang sakit dan kehilangan sumber pendapatan selama bertahun-tahun atau mempertahankannya sambil menunggu produksi yang semakin menurun.

Amerika Selatan

Amerika Selatan menyuplai AS dengan berbagai komoditas senilai $5 miliar per tahun. Salah satu produk utama adalah daging sapi Brasil, yang menjadi semakin penting sejak 2020 setelah kekeringan mengurangi ekspor dari negara lain. Selain itu, quinoa dari Peru dan Bolivia juga menjadi komoditas yang semakin populer di AS.

Popularitas quinoa di AS meningkat pesat sejak 2009, terutama setelah Peru menandatangani berbagai perjanjian perdagangan bebas yang mempermudah ekspor ke AS. Keuntungan quinoa sebagai makanan sehat dan kaya protein membuatnya semakin diminati, terutama di tengah tren diet seperti keto dan vegetarian.

Dampak Tarif terhadap Pasar Pangan AS

Kebijakan tarif bukanlah hal baru dalam sejarah perdagangan AS, tetapi skala tarif yang diterapkan oleh Presiden Trump dalam beberapa tahun terakhir cukup besar dan mencakup banyak mitra dagang utama. Tarif ini memang menghasilkan pendapatan tambahan bagi pemerintah, tetapi pada akhirnya, biaya yang lebih tinggi akan dibebankan kepada konsumen Amerika.

Sejarah menunjukkan bahwa tarif sering kali menyebabkan kenaikan harga dan ketegangan dagang yang dapat merugikan ekonomi secara keseluruhan. Jika tren ini berlanjut, AS mungkin akan mengalami perubahan signifikan dalam pola impornya, dengan harga pangan yang lebih mahal dan ketergantungan yang lebih besar pada produksi dalam negeri.

Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh konsumen tetapi juga oleh petani, nelayan, dan pengusaha kecil yang bergantung pada rantai pasokan global. Dengan ketidakpastian dalam kebijakan perdagangan, masa depan impor pangan Amerika Serikat masih menjadi pertanyaan besar yang akan terus berkembang dalam beberapa tahun ke depan.