(Business Lounge Journal – Global News)
KPPU pada hari Rabu, 22 Januari 2025 menjatuhkan denda kepada Google sebesar 202,5 miliar Rupiah atau setara dengan $12,6 juta atas pelanggaran antimonopoli terkait layanan sistem pembayarannya untuk Google Play Store. KPPU memerintahkan raksasa pencarian tersebut untuk menghentikan penggunaan wajib Google Play Billing di Google Play Store. KPPU juga meminta Google untuk mengizinkan semua pengembang berpartisipasi dalam program User Choice Billing (UCB) dan memberi mereka diskon biaya layanan minimal 5% selama setahun setelah keputusan tersebut ditetapkan, menurut pernyataan KPPU. KPPU meluncurkan penyelidikan terhadap Google pada tahun 2022 atas dominasinya di pasar — khususnya, perusahaan tersebut mengharuskan pengembang aplikasi Indonesia untuk menggunakan Google Play Billing (GPB).
KPPU menemukan bahwa sistem Google Play Billing telah mengenakan biaya hingga 30%, lebih tinggi daripada sistem pembayaran lainnya. Google Play Store menangani pembayaran antara pengembang dan pengguna melalui Sistem GPB untuk pembelian dalam aplikasi. Google mengharuskan semua pembelian produk dan layanan digital di Google Play Store melalui sistem Google Play Billing. Pada saat yang sama, Google melarang alternatif pembayaran lain untuk Google Play Billing. Badan tersebut mengatakan bahwa pembatasan opsi pembayaran menyebabkan lebih sedikit pengguna aplikasi, mengurangi transaksi, dan menurunkan pendapatan.
KPPU mencatat bahwa Google Play Store adalah satu-satunya toko aplikasi yang sudah terpasang di semua perangkat Android, dengan pangsa pasar lebih dari 50%. Mengenai pasar mesin pencari, Google menguasai pangsa pasar sebesar 95,16% di pasar pencarian Indonesia, dan mesin pencari lain seperti Bing, Yahoo!, DuckDuckGo, dan Yandex menguasai sisanya per Januari 2024, menurut Statista.
Melanggar di Berbagai Negara
Industri teknologi telah mencermati serangkaian sengketa hukum yang melibatkan Google yang didenda karena melanggar praktik antipersaingan karena penyalahgunaan kekuatan pasar dominan di berbagai negara, termasuk india, India, Korea Selatan, Prancis, UE, dan AS.
Prancis Juli 2021
Prancis telah menjatuhkan denda sebesar setengah miliar euro (sekitar $592 juta) kepada Google karena pelanggaran dalam cara bernegosiasi dengan penerbit berita mengenai imbalan penggunaan ulang konten mereka. Denda ini terkait dengan undang-undang hak cipta digital EU yang memperluas hak bagi penerbit berita.
Denda ini signifikan karena melebihi total lisensi berita sebesar $76 juta yang disepakati oleh Google dengan 121 penerbit Prancis untuk tiga tahun. Otoritas persaingan Prancis mengatakan bahwa Google gagal mematuhi perintah pengadilan untuk bernegosiasi dengan itikad baik dengan penerbit. Sebelumnya, Google mencoba menghindari pembayaran dengan menghentikan penampilan cuplikan konten di Google News, yang dianggap sebagai penyalahgunaan posisi dominan. Pengawas Prancis kemudian memerintahkan Google untuk menghentikan praktik tersebut dan bernegosiasi secara adil dengan penerbit.
Korea Selatan September 2021
KFTC (The Korea Fair Trade Commission) telah menyelidiki Google terkait praktik anti-persaingan sejak Juli 2016, menyoroti perhatian regulator atas dominasi pasar yang mungkin menghambat kompetisi dan inovasi di industri teknologi.
Denda $177 Juta oleh KFTC kepada Google diberikan akibat penyalahgunaan kekuatan pasarnya di pasar sistem operasi Android. Melalui Perjanjian Antifragmentasi (AFA), Google melarang produsen ponsel pintar lokal seperti Samsung dan LG untuk mengembangkan atau mengubah versi Android, yang dikenal sebagai “Android fork”. Ini bisa membatasi pilihan inovasi untuk konsumen. Kebijakan ini akan berlaku tidak hanya untuk ponsel tetapi juga untuk perangkat lain yang menjalankan Android, seperti jam tangan pintar dan TV.
India 2022
Di India pada tahun 2022, Pengawas antimonopoli India telah menjatuhkan denda sebesar $113 juta kepada Google karena menyalahgunakan posisi dominan dari Google Play Store. Denda ini mengharuskan Google untuk mengizinkan pengembang aplikasi menggunakan layanan pemrosesan pembayaran pihak ketiga untuk pembelian dalam aplikasi.
Komisi Persaingan Usaha India menemukan bahwa kewajiban untuk menggunakan sistem penagihan Google sendiri dianggap sebagai “pengenaan kondisi yang tidak adil” dan melanggar ketentuan Pasal 4(2)(a)(i) Undang-Undang. Investigasi juga menyoroti bahwa Google tidak menerapkan sistem penagihannya pada aplikasinya sendiri, seperti YouTube, yang dianggap diskriminatif.
Temuan lain menunjukkan bahwa penerapan wajib Google Play Billing System (GPBS) dapat menghambat inovasi dan mengurangi kemampuan pemroses pembayaran dan pengembang aplikasi, yang melanggar Pasal 4(2)(b)(ii), serta menolak akses pasar bagi agregator pembayaran dan pengembang, melanggar Pasal 4(2)(c). Secara keseluruhan, praktik Google dianggap memanfaatkan dominasi pasarnya untuk melindungi posisi di pasar hilir, yang juga melanggar ketentuan Pasal 4(2)(e).
USA November 2024
Departemen Kehakiman AS (DOJ) mengusulkan bahwa Google harus mendivestasikan peramban Chrome untuk mengatasi monopoli ilegalnya dalam pencarian daring, menurut pengajuan di Pengadilan Distrik AS di Washington. Keputusan akhir mengenai hukuman Google akan ditentukan oleh Hakim Amit Mehta, dan tahap persidangan dijadwalkan dimulai sekitar tahun 2025.
Dari keputusan sebelumnya, Hakim Mehta telah menyatakan bahwa Google merupakan monopoli ilegal karena menyalahgunakan kekuasaannya dalam pencarian dan mempertanyakan kontrolnya atas akses ke internet serta pembayaran kepada pihak ketiga untuk menjaga posisinya sebagai mesin pencari default.
DOJ juga mengusulkan pemisahan sistem operasi Android dan Chrome, dengan ketentuan yang memungkinkan Google tidak merugikan pesaingnya. Selain itu, DOJ menyarankan larangan bagi Google untuk membuat kontrak eksklusif dengan perusahaan lain, dan pentingnya melisensikan data pencarian dan klik iklan kepada pesaing.
Jika pengadilan menerima proposal ini, Google akan menghadapi tantangan serius dalam bersaing di pasar teknologi AI, termasuk dengan pesaing seperti OpenAI dan Microsoft.
Jepang Desember 2024
Komisi Perdagangan Adil Jepang (JFTC) menemukan bahwa Google, yang memiliki pangsa dominan di pasar pencarian daring, telah secara tidak adil menghalangi persaingan. JFTC telah memberi tahu Google tentang kemungkinan tindakan disipliner dan akan memutuskan setelah mendengar tanggapannya.
Berdampak pada BigTech Lain
Google diduga mengharuskan produsen ponsel yang menggunakan sistem operasi Android-nya untuk memasang aplikasi Google terlebih dahulu, termasuk peramban Chrome, sebagai syarat untuk menawarkan akses ke Google Play Store. Selain itu, Google juga dituduh mengharuskan penempatan ikon aplikasi tertentu di perangkat sebagai imbalan atas akses ke toko aplikasinya. Terdapat juga klaim bahwa Google membuat kesepakatan dengan produsen untuk membagi sebagian pendapatan dengan syarat mereka tidak memasang aplikasi pesaing terlebih dahulu.
Raksasa Big Tech, seperti Google dan Meta, memiliki pengaruh global besar yang dapat membentuk opini, pembelian, dan suara masyarakat. Mereka menggunakan algoritme untuk menentukan berita yang muncul di umpan berita pengguna, yang menyebabkan manipulasi pikiran dan opini.
Putusan dan upaya hukum yang sedang berlangsung terhadap Google akan berdampak pada kasus antimonopoli lain terhadap perusahaan-perusahaan Big Tech seperti Apple, Meta, dan Amazon.
Hingga saat ini, hukuman terberat untuk Big Tech adalah denda Meta sebesar $5 miliar oleh FTC pada tahun 2019 karena pelanggaran privasi, namun denda ini dapat meningkat hingga lebih dari $7 triliun jika ditegakkan sepenuhnya. Menariknya, setelah pengumuman denda tersebut, harga saham Meta justru meningkat, menutupi biaya denda tersebut.
Naik Banding
Google berencana untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
Juru bicara Google, Danielle Cohen, dalam pernyataan email mengatakan, “Kami sangat tidak setuju dengan keputusan KPPU dan akan mengajukan banding. Praktik kami saat ini mendorong ekosistem aplikasi Indonesia yang sehat dan kompetitif, menawarkan platform yang aman, jangkauan global, dan pilihan, termasuk penagihan pilihan pengguna — yang memungkinkan alternatif untuk sistem penagihan Google Play. Di luar platform kami, kami secara aktif mendukung pengembang Indonesia melalui serangkaian inisiatif yang komprehensif, termasuk Indie Games Accelerator, Play Academy, dan Play x Unity, yang mencerminkan investasi besar kami dalam keberhasilan mereka. Kami tetap berkomitmen untuk mematuhi hukum Indonesia dan akan terus bekerja sama dengan KPPU dan para pemangku kepentingan selama proses banding,”
Apakah banding tersebut akan berhasil? Kita tunggu kabar selanjutnya.