Mempelajari Karya-Karya Seniman Maestro Ternama Lewat Auction Global

(Business Lounge – Art)

Karya-karya maestro Indonesia, terutama dari seniman ternama seperti Affandi, S. Sudjojono, dan Srihadi Sudarsono, seringkali sulit diakses dan diperoleh. Namun, koleksi maestro ini telah lama dimiliki dan “dijaga” oleh para kolektor terdahulu. Saat ini, ada banyak alasan mengapa para kolektor lebih memilih membeli melalui lelang daripada galeri:

  1. Akses Lebih Mudah: Melalui lelang, pengguna dapat dengan mudah mengakses karya-karya yang paling dicari tanpa perlu mengunduh aplikasi tambahan. Proses pembelian juga lebih sederhana.
  2. Transparansi Harga: Aktivitas penawaran dan data pasar sekunder gratis memberikan transparansi mengenai permintaan dan harga. Kolektor dapat memantau nilai karya secara lebih terbuka.
  3. Potensi Karya Berkualitas: Terkadang, lelang memberikan kesempatan untuk mendapatkan karya berkualitas tinggi dengan harga yang relatif terjangkau.

Pada bulan Juni ini, Auction Global menyajikan lebih dari 147 karya seni modern dan kontemporer dari para maestro Asia Tenggara dan seniman ternama. Ini akan menjadi kesempatan bagi para kolektor untuk menemukan sekaligus menelusuri apa dan bagaimana karya-karya ini dianggap penting. Lalu adakah karya-karya luar biasa lainnya yang patut untuk dimiliki. Para kolektot muda pun dapat mengambil kesempatan untuk belajar dari para seniornya. Mungkin saja ini menjadi kesempatan langka untuk mengkoleksi karya-karya masterpiece dari para maestro yang memiliki nilai seni tinggi.

Kesempatan Mempelajari Maestro Indonesia

Affandi, seorang seniman besar di Asia Tenggara. Sudah tidak terhitung banyaknya penghargaan yang ia terima. Berbagai pameran tunggal pun telah digelar di Indonesia serta berkeliling Eropa. Ia telah mewakili Indonesia dalam pameran internasional di Brazil dan Venesia, serta berhasil meraih hadiah pertama di San Paolo. Selain itu, Affandi juga pernah mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Singapura dan dihormati dengan gelar Grand Maestro oleh San Marzano di Florence, Italia, serta menerima berbagai penghargaan bergengsi.

Karya besar peninggalan Affandi:

  • “Three Stray Dogs” – sebuah lukisan yang terinspirasi ketika sopirnya – Pak Jimin memberi makan sekawanan anjing liar di bawah pohon cendana di Bali. Affandi memang sering berkunjung ke Bali untuk mencari inspirasi untuk lukisannya. Ia tersentuh dengan anjing-anjing yang rakus, melahap makanan, dan berkelahi satu sama lain. Fenomena anjing liar ini sering menjadi tema dalam karya-karya Affandi.
  • “Perahu Nelayan” sebagai hasil karya yang dihasilkannya karena ia tumbuh di wilayah pesisir. Affandi memang sangat terkait dengan pesisir dan mata pencaharian para nelayan. Dalam karyanya “Perahu Nelayan”, ia melukiskan keindahan perkampungan nelayan yang ramai.
Affandi, Three Stray Dogs, 1965, 111 x 139cm; oil on canvas

Affandi, Seascape of the Java Sea, 1960, 104 x 124 cm; oil on canvas

S. Sudjojono, seorang pelukis seniot yang dikenal karena kejujuran dan ketulusannya dalam merefleksikan warna, bentuk, dan proporsi sesuai pengamatannya. Mulai dari masa perjuangan, keberaniannya membuat ia dapat dengan lugas menggambarkan situasi aktual Indonesia dengan gaya impresionis yang khas. Sudjojono yang lahir pada tahun 1913 di Kisaran, dianggap sebagai “Bapak Seni Lukis Modern Indonesia”. Prestasi seni Sudjojono sangat beragam sebab ia bukan hanya seorang pelukis berbakat, tetapi juga seorang pematung, ahli keramik, dan pembuat furnitur. Namun, Sudjojono bukan hanya seorang seniman; ia juga seorang pemimpin. Ia turut mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli Menggambar Indonesia), sebuah organisasi penting yang membantu membentuk arah seni rupa modern Indonesia. Dedikasinya dalam membina bakat seni secara luas telah menghantarkannya menjadi mentor di POETERA, Departemen Kebudayaan.

Warisan Sudjojono juga dikenal di luar Indonesia. Karya-karyanya telah dipamerkan secara internasional, termasuk di Rijksmuseum Amsterdam yang bergengsi. Pengakuan dan penghargaan atas karyanya berbicara banyak. Beberapa lukisannya bahkan terjual dengan harga lebih dari satu juta dolar di berbagai lelang, menjadi bukti pengaruh abadi yang dimilikinya terhadap dunia seni.

S. Sudjojono, Abang Rahino, 1969, 95 x 60 cm; oil on canvas

Srihadi Soedarsono, yang telah berpengalaman lebih dari lima dekade pada bidang seni rupa menghantarkannya menjadi salah satu pelukis terbesar Indonesia. Ia dilahirkan di Solo pada 4 Desember 1931. Kecintaannya pada seni mendorongnya untuk melanjutkan studi di Institut Teknologi Bandung pada tahun 1958. Setelah itu ia pun mengambil studi lanjutan seni rupa di Ohio State University, Amerika Serikat, dari tahun 1960 hingga 1962. Karyanya telah dipamerkan di Indonesia, Amerika Serikat, Australia, bahkan Brasil. Pengakuan internasional atas karyanya semakin diperkuat dengan penghargaan budaya yang diterimanya. Pada tahun 1971, Srihadi dianugerahi penghargaan budaya dari Indonesia, diikuti oleh penghargaan serupa dari Australia pada tahun 1973.

Pada tahun 1978 dan 1987, Srihadi meraih penghargaan tertinggi dalam Pameran Dua Tahunan di Jakarta, yang mengukuhkan reputasinya sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam seni rupa Indonesia. Dia juga aktif dalam mendidik dan membagikan pengetahuannya sebagai dosen senior di bidang seni lukis dan menggambar di Institut Kesenian Jakarta dan Institut Teknologi Bandung.

Salah satu karya berharga Srihadi Soedarsono berjudul “Bedoyo Ketawang – Energi Kecantikan Batin” menggambarkan keindahan tari unik dari Keraton Surakarta yang hanya dipertunjukkan dalam acara khusus di lingkungan keraton. Tiga penari ini berdandan dengan detail mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, mirip dengan pengantin putri dari istana. Mereka mengenakan sanggul emas yang dihiasi dengan bunga melati putih yang menjuntai hingga pinggang, serta kalung indah berwarna tembaga.

Srihadi Soedarsono, Bedoyo Ketawang-Energy of Inner Beauty; 2010, 95 x 60 cm; oil on canvas

Lee Man Fong, berhasil menggabungkan gaya seni Tiongkok dan Barat dalam karyanya. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di Indonesia, di mana ia mengembangkan gaya artistik yang memadukan berbagai pengaruh dengan harmonis. Ia mendapat beasiswa Malino yang didukung oleh Raja Muda Belanda Hubertus van Mook, sementara reputasi seninya terus meningkat. Lee Man Fong sering menggunakan teknik sapuan kuas ala Tiongkok dengan konvensi visual Barat dalam komposisinya. Selain sebagai pelukis terkemuka, ia juga seorang kurator yang inovatif, memperkenalkan gaya Nanyang ke Indonesia pada abad ke-20. Karya-karyanya mencerminkan koneksi mendalamnya dengan alam, sering merayakan satwa liar dan pedesaan di Asia Tenggara.

Sebagai seniman yang diakui secara luas, karyanya terus dipamerkan di kota-kota terkenal seperti Paris, Amsterdam, dan Den Haag. Reputasi dan keterampilannya membawanya ke posisi terhormat sebagai seniman istana untuk Presiden Sukarno. Selama lima tahun, ia menciptakan karya seni yang menghiasi ruang-ruang istana presiden, memperkuat posisinya sebagai tokoh utama dalam seni rupa Indonesia. Karya-karyanya saat ini disimpan dalam koleksi publik utama, termasuk Museum Oei Hong Djien (OHD) di Indonesia dan Galeri Nasional Singapura, yang menunjukkan pengakuan dan apresiasi terhadap kontribusinya dalam dunia seni.

Lee Man Fong, Horses, 95 x 60 cm; oil on board

Dalam lukisan ini, Lee Man Fong menggambarkan dua ekor kuda dengan warna coklat yang berbeda. Kuda yang berada di depan sedang makan rumput, sementara yang berada di belakang berdiri dengan anggun. Di sebelah kanan lukisan, terdapat pohon dengan batang yang melengkung. Kuda-kuda ini dihargai karena kekuatan, keindahan, dan keanggunannya.

I Gusti Ayu Kadek Murniasih, lebih dikenal dengan nama I GAK Murniarsih, merupakan pelukis Bali pertama yang karyanya dikoleksi oleh Tate Modern Gallery, London, Galeri Nasional Singapura, Australia, Museum Nasional Kebudayaan Dunia, Leiden, Belanda, dan berbagai institusi lainnya. Lahir di Tabanan, Bali pada tahun 1966, Murni mengembangkan bakatnya secara otodidak, mengeksplorasi tema-tema dalam karya dua dan tiga dimensinya. Selama proses belajarnya, Murni juga belajar dari pelukis tradisional Dewa Putu Mokoh, yang membantu mengasah keterampilannya di atas kanvas.

Sejak tahun 2019, karya seninya telah dipamerkan dalam berbagai pameran seni di Indonesia, Singapura, Jepang, Filipina, dan Hong Kong, termasuk dalam acara-acara bergengsi seperti Art Basel Hong Kong dan Basel. Pada tanggal 11-15 Oktober 2023, karya Murni dipamerkan di Frieze Masters, dan ia berpartisipasi dalam Biennale of Sydney pada tahun 2024. Partisipasi dalam pameran-pameran ini telah meningkatkan pengakuan Murni secara signifikan di kalangan penggemar seni di Hong Kong, Jepang, dan Filipina.

Ahmad Sadali, dikenal sebagai pionir seni abstrak di Indonesia, menciptakan lukisan-lukisan yang lebih dari sekadar karya seni biasa, melainkan hasil dari perjalanan hidup yang mendalam. Meskipun tidak semua orang dapat memahami setiap pesan yang terkandung dalam lukisan abstraknya, karya-karya Sadali tidak dimaksudkan untuk diinterpretasikan secara universal. Sebaliknya, mereka dirancang untuk dinikmati dengan beragam penafsiran yang berbeda oleh para penggemar seni.

Sadali juga dikenal sebagai bapak seni abstrak Indonesia. Ia lulus dari Jurusan Seni Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1953, dan kemudian menjadi guru besar di jurusan yang sama pada tahun 1972. Sadali mendapatkan hibah dari Rockefeller Foundation untuk belajar di Iowa State University dan New York Art Students League di Amerika Serikat antara tahun 1956 dan 1957. Selain itu, ia melanjutkan studi di Belanda dan Australia pada tahun 1977, serta di Pakistan pada tahun 1980.

Karya-karya Sadali telah dipamerkan dalam berbagai pameran tunggal di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta, serta ikut serta dalam pameran kelompok di banyak negara seperti Indonesia, Tiongkok, Jepang, Thailand, Filipina, Singapura, India, Vietnam, Amerika Serikat, Swiss, Inggris, Prancis, Brasil, dan Arab Saudi. Penghargaan yang pernah diraihnya termasuk Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia pada tahun 1972, serta penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dalam Biennale Seni Lukis Indonesia pada tahun 1974 dan 1978.

Ahmad Sadali, Gold Bar on Black Field, 1972, 40 x 45 cm; Mixed Media on Canvas

Ahmad Sadali, Gold Bar on Black Field, 1972, 40 x 45 cm; Mixed Media on Canvas

Heri Dono dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Juni 1960, dan memulai perjalanan kreatifnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Bagi Heri Dono, hidup adalah sebuah eksperimen yang tak henti-hentinya untuk mengekspresikan ide-ide yang ada dalam pikirannya dengan cara paling efektif. Ia dikenal sebagai seorang pelukis yang sangat kritis, senang mengamati sekitarnya, dan memberikan kritik yang mendalam dari sudut pandangnya yang unik. Salah satu ciri khas karya Heri Dono adalah instalasi modernnya yang mengambil inspirasi besar dari seni wayang, bentuk seni tradisional Indonesia. Dalam karya-karyanya, ia mencoba menyatukan pertunjukan wayang dengan elemen-elemen kompleks seperti visual, mantra, unsur pendengaran, narasi, komentar sosial, humor, dan cerita mitologis yang menyampaikan wawasan filosofis mendalam tentang kehidupan.

Pada awal tahun 1990-an, Heri Dono menjadi seniman Indonesia pertama yang mencatat prestasi di panggung seni rupa global. Pengakuan terhadap prestasinya datang dari Artlink, majalah seni ternama Australia, yang menyoroti bahwa ia merupakan seniman yang paling sering diundang secara internasional antara tahun 1993 hingga 2006. Diakui sebagai salah satu dari 100 seniman Avant-Garde terkemuka di dunia, Heri Dono menonjol sebagai satu-satunya seniman kontemporer Indonesia yang diundang untuk berpartisipasi dalam pameran bergengsi seperti Venice Biennale yang dikuratori pada tahun 2003.

Selama karirnya, Heri Dono telah meraih beberapa penghargaan bergengsi, antara lain Dutch Prince Claus Award for Culture and Development (1998), UNESCO Prize (2000), dan Anugerah Adhikarya Rupa dari pemerintah Indonesia pada tahun 2014. Ia aktif berpartisipasi dalam lebih dari 300 pameran dan 41 biennale internasional, termasuk Asia Pacific Triennial (1993 & 2000), Gwangju Biennale (1995 & 2006), Sydney Biennale (1996), Shanghai Biennale (2000), serta berbagai edisi Venice Biennale (2003 & 2015). Selain itu, karyanya juga pernah dipamerkan di Sharjah Biennial (2005 & 2023), Guangzhou Triennale (2011), Kochi-Muziris Biennale (2018), Bangkok Art Biennale (2018), dan Gangwon Kids Triennale (2020) di Korea Selatan.