Brand Strategy Uniqlo

Brand Strategy Uniqlo – Ayo Pelajari Keberhasilannya

(Business Lounge Journal – General Management)

Sekarang tentang Brand Strategy Uniqlo. Kita sudah membahas bagaimana Uniqlo berani untuk mengubah business modelnya yang semula menjual setelan jas pria menjadi penyedia pakaian kasual bahkan Uniqlo memasang target untuk menjadi pengecer pakaian massal terbesar di dunia. (Baca: UNIQLO: Sejarah Berdirinya Hingga Berani Mengubah Business Model). Langkah berani ini diambil oleh Tadashi Yanai setelah memiliki visi yang jelas – Uniqlo is a modern Japanese company that inspires the world to dress casual. Maka berdasarkan visi inilah, disusun brand strategy Uniqlo.

Untuk menjadi pengecer pakaian massal terbesar di dunia, maka ada beberapa strategi yang bisa diterapkan Uniqlo sebenarnya. Misalnya, lebih mengutamakan mengikuti tren mode seperti yang dilakukan beberapa brand pesaingnya, atau memilih mengutamakan kebutuhan berbagai kalangan. Pada prakteknya, Uniqlo memilih untuk tidak mengejar tren mode, melainkan memposisikan brand-nya untuk dapat mengakomodir keinginan segala usia, jenis kelamin, etnis, bahkan berbagai kalangan. Mungkin terdengar kontradiksi dengan nama “Uniqlo”, tetapi brand ini lebih mengusung pakaian yang sederhana, esensial namun universal, sehingga memungkinkan para pemakainya untuk memadupadankannya dengan masing-masing style mereka.

Baca juga: Sejarah Berdirinya Uniqlo Hingga Berani Mengubah Business Model

Sekarang mari kita pelajari beberapa brand strategy Uniqlo:

Delivery system supporting a clear brand promise. Dua tantangan terbesar bagi segala brand adalah bagaimana mendefinisikan apa yang dijanjikan oleh brand tersebut secara jelas dan bagaimana dapat memenuji janji tersebut secara konsisten. Pertama, Uniqlo berhasil mendefinisikan secara jelas apa yang menjadi janji brand-nya, yaitu menyediakan pakaian kasual dasar yang berkualitas tinggi secara universal, dengan harga yang terjangkau. Kemudian untuk memenuhi janjinya, maka Uniqlo menciptakan struktur organisasi dan operasional yang mendukung. Mulai dari perencanaan produk, desain, manufaktur, dan distribusi produk, semuanya dilakukan untuk memenuhi janji brand-nya. Sehingga bagaimana Uniqlo menyediakan stok, menyediakan kain, ataupun jumlah pakaian yang ada, semuanya diperhitungkan untuk memberikan harga yang terjangkau.

Product development approach and efficient supply chain. Tadashi Yanai sering sekali mengatakan bahwa “Uniqlo bukanlah perusahaan fashion, ini adalah perusahaan teknologi.” Sehingga hal ini benar-benar diterapkan sebagai pendekatan merek, bagaimana dalam produksi pakaian jadi maka pendekatan yang dipakai lebih kepada pendekatan yang diterapkan oleh industri teknologi daripada mengikuti ritme siklus industri ritel fashion yang lebih didorong oleh tren. Ini jelas berbeda dengan strategi pesaing yang sama-sama berambisi untuk membangun bisnis pakaian jadi terbesar di dunia namun dengan mengutamakan kecepatan mengikuti tren mode yang berubah dengan cepat dan yang terinspirasi oleh runway global.

Karena itu Uniqlo mengambil pendekatan bagaimana perusahaan merencanakan produksinya hingga satu tahun ke depan. Uniqlo lebih berfokus untuk memproduksi beberapa basic style fashion untuk masyarakat perkotaan. Perusahaan juga memberlakukan rantai pasokan yang sangat kuat melalui pengembangan strategi pemasaran secara terperinci oleh departemen pemasaran untuk setiap musim. Semuanya dilakukan selaras dengan permintaan mulai jauh-jauh hari sebelumnya. Jadi, konsep dari tim pembuat produk disiapkan sejak satu tahun sebelum produk diluncurkan. Setelah garmen diproduksi, maka sekitar 400 orang tim terampil akan mengunjungi pusat produksi untuk memastikan kualitas dan menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan.

Di sisi lain, masalah feedback ataupun keluhan pelanggan ditanggapi dengan baik oleh kolaborasi antara tim pemasaran dan tim dari departemen produksi sehingga dapat selaras dengan apa yang diharapkan konsumen pada akhirnya.

Company culture and visionary leadership. Pada tahun 2019, Tadashi Yanai menduduki peringkat no. 54 dalam daftar CEO berkinerja terbaik di dunia menurut versi Harvard Business Review. Yanai dinilai berhasil dalam pertumbuhan Uniqlo dalam 36 tahun terakhir oleh karena budaya perusahaan yang diciptakannya sangat kuat dan berfokus pada teamwork dan customer experience.

Fokus Uniqlo pada teamwork ditunjukkan melalui struktur organisasinya yang flat dengan karyawan yang sangat didorong untuk memberikan saran. Nilai dan tujuan perusahaan diterjemahkan langsung ke dalam proses dan ukuran yang ditunjukkan dengan kuat oleh karyawan di seluruh dunia. Keuangan perusahaan benar-benar transparan bagi karyawan sedangkan penjualan serta semua perencanaan diposting setiap hari. Selain itu, Uniqlo bertumpu pada pengalaman toko ritelnya dan menentukan dengan detil setiap touch point dari pelanggan.

Karena itu, setiap staf wajib mengikuti pelatihan selama 3 bulan. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh karyawannya dicatat dan dianalisis – mulai dari teknik melipat pakaian, hingga cara staf ritel mengembalikan kartu kredit kepada pelanggan dengan kedua tangan disertai kontak mata penuh. Karyawan juga diajari untuk berinteraksi dengan pembeli menggunakan enam frasa standar termasuk “Apakah Anda menemukan semua yang Anda cari?” juga semua pelanggan wajib disambut dengan ucapan “Welcome to Uniqlo!”.

Pada tahun 2000, perusahaan membangun Universitas Uniqlo di Tokyo sebagai tempat pelatihan bagi 1.500 manajer toko setiap tahunnya.

Salah satu contoh lainnya bagaimana Uniqlo fokus pada customer experience adalah keputusan Tadashi Yanai untuk melakukan semua operasional dalam bahasa Inggris pada tahun 2012 – ini adalah keputusan yang dianggap langka di Jepang. Hal ini pun memberikan kontribusi pada kesuksesan secara global.

Pada tahun 2004, Uniqlo membuka toko besar pertamanya (berukuran lebih dari 2.000 meter persegi) di Osaka setelah mengamati pesaingnya Zara dan H&M melakukan hal yang sama. Hal ini dianggap dapat memberikan peningkatan pada kepuasan dan profitabilitas pelanggan.

High dedication to innovation. Inovasi dan pemasaran adalah dua fungsi dari organisasi mana pun (Peter Drucker). Uniqlo sangat memahami hal ini, tercermin pada inovasi kainnya dengan mempekerjakan ahli tekstil Jepang yang disebut “Takumi”. Salah satu inovasi khas Uniqlo adalah HeatTech, kain yang dikembangkan bersama dengan Toray Industries (perusahaan kimia Jepang) yang mengubah kelembapan menjadi panas dan memiliki kantong udara di kain untuk menahan panas itu. Kain HeatTech tipis, nyaman yang memungkinkan Uniqlo menciptakan desain bergaya yang sangat berbeda dari segmen pakaian hangat tradisional standar. Inovasi HeatTech terus meningkat dari waktu ke waktu dengan teknologi serat baru, memungkinkan merek tersebut untuk menghasilkan koleksi pakaian termal yang berbeda. Pada tahun 2003, 1,5 juta produk HeatTech terjual sementara pada tahun 2012 lebih dari 130 juta unit terjual di 250 item.

Selain HeatTech, Uniqlo juga telah menciptakan teknologi AIRism (kain lembut dengan bagian dalam yang cepat kering), LifeWear (perpaduan antara pakaian kasual dan olahraga), dan UV Cut (bahan yang dirancang untuk mencegah 90% sinar ultraviolet mencapai pemakainya). Kain baru ini semuanya bermerek dan memiliki hak cipta, yang menimbulkan perjuangan bagi pesaing yang ingin mencoba dan mencoba untuk mencocokkan titik diferensiasi ini. Tadashi Yanai pernah mengemukakan bahwa Apple adalah pesaing terbesarnya karena keinginannya untuk menjadi perusahaan paling inovatif di dunia.