(Business Lounge Journal – Travel) Kampung Bajo Laut Lukko Siangpiong di Kabupaten Konawe Utara, selalu menyimpan sejuta cerita yang selalu ingin diketahui namun tak juga dapat dimengerti. Sebuah kampung yang berisi rumah-rumah panggung sederhana di atas laut namun tidak berpenghuni. Sedangkan terumbu-terumbu karang muda yang mulai dikerumuni ikan-ikan mungil yang berwarna warni hanya menjadi saksi bisu keberadaan para penghuni rumah-rumah ini.
Kampung yang berada di sekitar Pulau Labengke tepatnya di perbatasan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah ini ditinggalkan para penghuninya yang dikenal dengan suku bajo laut. Mereka hidup di laut lepas tanpa ada yang tahu keberadaannya dan ke mana mereka pergi. Namun pada satu waktu mereka akan kembali ke rumah-rumah panggung tersebut.
Rumah-rumah panggung sederhana tanpa listrik yang beratap nipa selalu menanti kedatangan Soppe sang penghuni, sebuah perahu yang memiliki atap yang selalu digunakan Bajo Laut. Sebab jika Soppe datang berati sang penghuni akan segera menjejakkan kakinya kembali di rumah-rumahpanggungitu.
Suku bajo laut telah dikenal sebagai suku yang hidup di laut selama berabad abad. Mereka menganggap semua orang sederajat dan tidak mengenal strata sosial dalam kehidupan sehari-harinya. Hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa kewarganegaraan. Hidup dilaut lepas di perairan pulau-pulau secara bersama dalam kelompok kecil. Mereka membangun pemukiman, rumah panggung sederhana di atas laut di cekungan pulau dekat tempat mereka mencari makanan.
Ketika waktunya tiba, mereka akan meninggalkan pulau tersebut untuk melanjutkan pengembaraan di lautan lepas sesuai cuaca, angin, dan arus laut serta bintang yang menjadi petunjuknya.
Bajo Laut menaruh hidupnya di laut, bersebelahan dengan ombak, berirama dengan karang.
Orang Bajo, si “Gipsi Laut”
Selama puluhan tahun, para ilmuwan bertanya-tanya asal usul Orang Bajo yang juga disebut Gipsi Laut, demikian seperti dituliskan pada National Geographic. Mereka pelaut tertangguh di Nusantara yang tersebar di wilayah Segitiga Terumbu Karang di Asia Tenggara. Tidak hanya di Sulawesi Tenggara, tetapi juga di timur Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Filipina bagian selatan. Bahkan beberapa seminar diselenggarakan untuk mengurai asal-usul mereka.
Phillippe Grange, ahli linguistik dari Universite La Rochelle, Prancis mengatakan bahwa ada yang berpendapat Orang Bajo berasal dari Johor (Malaysia), namun hingga kini tidak terbukti. Namun teori lain juga ada yang menerangkan bahwa mereka sebelumnya adalah orang-orang yang hidup di muara Sungai Barito sebab ada 12 kata yang mirip. Namun berbagai teori pun bermunculan termasuk teori yang menyatakan bahwa mereka telah mendukung perdagangan laut pada masa Sriwijaya. Namun asal usul mereka tetap belum terpecahkan.
Lembaga Eijkman pun pada bulan Maret lalu mengambil sampel DNA Orang Bajo yang tinggal di Kalimantan bersamaan dengan pengambilan sampel DNA orang Dayak Maanyan. Grange mengungkapkan, pengungkapan asal-usul Orang Bajo penting untuk memberi gambaran tentang migrasi Austronesia serta ketangguhan manusianya, termasuk orang Indonesia, dalam melaut.
citra/VMN/BL/Journalist
Editor: Ruth Berliana
Image : Antara