(The Manager’s Lounge – Leadership & Corp. Culture) – Kalau kita pergi ke desa Kokonao Timika, maka kita merasa sangat senang melihat ikan kakap putih – Baramundi yang beratnya 5 sampai 10 kilogram, sebuah ikan yang berukuran besar, didapat oleh suku Kamoro di muara. Suku Kamoro hidup sehari-hari dari menjala ikan ini, mereka bisa mendapat dua sampai tiga ekor sehari.
Kalau dihitung rata-rata maka akan berjumlah sekitar 2 ton seminggu dikumpulkan oleh seorang penadah ikan yang sudah 20 tahun lebih ada disana untuk menerima hasil tangkapan para nelayan.
Kondisi yang memprihatinkan adalah sejak delapan tahun desa itu ada, maka mereka tetap tidak terlalu bertumbuh secara ekonomi , dan tetap menggunakan alat tangkap tradisional untuk menghasilkan ikan.
Perikanan pada ulang tahun ke 62 republik tercinta ini disoroti juga dalam harian bisnis Indonesia bahwa negeri kita menurut catatan Pramoedya Ananta Toer kita telah melupakan laut sejak tahun 1521, tatkala Pati Unus, Raja Demak, gugur dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka. Sejak itu , nusantara mengalami arus balik. Para penguasa di negeri ini menekankan kekuasan di darat.
Padahal, 75% wilayah Indonesia adalah laut, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Potensi itu justru membuat kita malu. Negeri ini memiliki garis pantai 95.181 km2 dan Thailand – yang dijadikan ukuran – panjang garis pantai hanya 2.600 kilometer. Tapi Thailand menghasilkan udang sebanyak 340.000 ton per tahun, sementara Indonesia menghasilkan udang 350.000 ton per tahun. Indonesia seharusnya mampu menghasilkan 10 juta ton udang per tahun.
Catatan ini sangat sesuai dengan fakta yang terjadi di Kokonao, diperlukan empat sampai lima jam perjalanan untuk membawa hasil tangkapan ke kota melalui jalur sungai, dan untuk sekali perjalanan membutuhkan biaya satu juta rupiah untuk bahan bakar, satu juta rupiah untuk awak kapal dan balok es sendiri sekitar 100 balok satu kali tangkapan sehingga total sampai 2 juta rupiah untuk es balok. Sehingga total dibutuhkan empat sampai lima juta rupiah sekali jalan.
Harga ikan menjadi melambung tinggi karena biaya akomodasi yang besar, sementara nelayan sendiri tidak diuntungkan apa-apa.
Dalam program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh Freeport, USAID dan keuskupan Timika maka didapatkan sebuah model yang akan mengembangkan nelayan kepada kehidupan yang maju. Kendala nelayan terberat adalah jika tidak ada pabrik es, tempat pelelangan ikan yang memadai termasuk pelabuhan perikanan, sarana penyediaan bahan bakar minyak (BBM) dan cold storage.
Bersama vibizconsulting dibangun sebuah model CSR yang belum pernah diterapkan sebelumnya. Nelayan akan mampu bersaing karena pengembangan sumberdaya manusia menjadi titik tolak berdirinya masyrakat nelayan yang tangguh.
(Fadjar Ari Dewanto/TML/ST)