Gen Z

Berhenti Mengeluh tentang Pekerja Gen Z

(Business Lounge – Lead and Follow) Di banyak kantor, topik tentang Generasi Z—orang-orang yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—menjadi pembicaraan utama para manajer dan pemimpin tim. Mereka disebut terlalu rapuh, tidak tahan tekanan, menghindari konflik, bahkan terlalu bergantung pada umpan balik dan pengakuan. Kritik itu datang dari berbagai penjuru—baik secara informal dalam obrolan kantor maupun secara resmi dalam survei sumber daya manusia.

Namun, seperti yang ditulis oleh Wall Street Journal dalam artikelnya berjudul Why Young Workers Are the Most Anxious Generation (Mei 2023), banyak dari stereotipe tersebut berakar dari ketidaktahuan tentang pengalaman Gen Z yang unik. Mereka memasuki usia produktif justru saat dunia lumpuh akibat pandemi COVID-19. Pendidikan mereka berlangsung secara daring, interaksi sosial mereka tergantikan oleh layar, dan kesempatan belajar langsung dari senior di tempat kerja hilang begitu saja.

Menurut laporan Harvard Business Review bertajuk How the Pandemic Changed Young People’s Workplace Expectations (April 2023), lebih dari 60 persen profesional muda mengatakan mereka tidak pernah menerima bimbingan langsung dalam lingkungan kerja fisik. Tanpa interaksi informal, tanpa dinamika kantor, dan tanpa pengalaman menyerap budaya kerja dari pengamatan sehari-hari, mereka masuk ke dunia profesional dalam keadaan “kosong secara kontekstual”.

Dalam lingkungan kerja sebelum pandemi, seorang karyawan baru bisa belajar dengan hanya duduk di dekat tim senior, mengamati pola komunikasi, dan melihat bagaimana kolega menyelesaikan konflik atau bernegosiasi. Tetapi dalam dunia kerja hibrida atau remote yang kini jamak, pengalaman semacam itu tidak lagi otomatis terjadi. Maka ketika Gen Z dinilai “tidak tahu etika kantor”, sangat mungkin itu karena mereka memang tidak pernah diberi kesempatan belajar secara langsung.

Sayangnya, banyak atasan justru menanggapi ini dengan sikap menyalahkan. Mereka melihat Gen Z sebagai beban, bukan sebagai generasi yang membutuhkan dukungan. Seperti diungkap oleh Forbes dalam artikel Why Gen Z Is Not The Problem At Work (Juni 2023), akar masalahnya bukan pada perilaku Gen Z, tetapi pada ketidakmampuan organisasi untuk menyesuaikan pendekatan manajemen mereka. Banyak manajer mempertahankan gaya kepemimpinan lama, yang berbasis hierarki kaku dan ekspektasi keseragaman, tanpa menyadari bahwa konteks sosial dan psikologis telah berubah.

Sebagian besar organisasi belum merancang ulang jalur belajar profesional secara eksplisit untuk Gen Z. Padahal, seperti disarankan Harvard Business Review, perusahaan seharusnya membangun kembali sistem mentorship, menciptakan sesi reflektif antar generasi, dan menyediakan pelatihan tentang etika kerja yang selama ini dianggap “otomatis dipahami”. Pelajaran seperti menulis email profesional, membaca suasana rapat, atau memahami implikasi dari diam dalam diskusi adalah hal-hal yang dulu bisa diserap melalui osmosis budaya kantor—sesuatu yang tidak terjadi jika Anda bekerja dari rumah.

Salah satu studi yang dikutip oleh Wall Street Journal menemukan bahwa lebih dari 45 persen karyawan Gen Z merasa tidak percaya diri ketika harus berbicara langsung dengan rekan kerja senior karena selama ini komunikasi mereka selalu dilakukan lewat chat atau email. Ini berkontribusi pada kesan bahwa mereka “tidak proaktif”, padahal akar permasalahannya lebih dalam, mereka belum belajar bagaimana menyampaikan ide dengan percaya diri secara langsung.

Penting juga untuk memahami bahwa nilai-nilai yang dipegang Gen Z tidak identik dengan kemalasan. Dalam artikel Gen Z Wants Meaning, Not Just a Paycheck yang diterbitkan Forbes (Februari 2024), disebutkan bahwa 74 persen responden Gen Z lebih memilih bekerja di tempat yang menawarkan dampak sosial positif, meskipun dengan gaji yang sedikit lebih rendah. Mereka menginginkan makna dan kontribusi, bukan sekadar pekerjaan bergaji tinggi yang membuat mereka lelah dan hampa.

Di sisi lain, data dari Gallup menunjukkan bahwa Gen Z memiliki harapan tinggi terhadap keseimbangan hidup dan kesehatan mental. Ini sering disalahartikan sebagai sikap “manja” atau “kurang dedikasi”, padahal merupakan respons terhadap dunia yang penuh ketidakpastian. Mereka tumbuh besar di tengah krisis iklim, ketidakstabilan ekonomi global, dan sistem sosial yang sering mengecewakan. Mereka tahu bahwa loyalitas terhadap perusahaan tidak menjamin keamanan kerja, dan karier tradisional 30 tahun di satu tempat nyaris menjadi mitos.

Alih-alih mengeluh, para pemimpin organisasi perlu mengembangkan pendekatan baru. Salah satu contohnya adalah Salesforce, yang dikutip dalam Harvard Business Review, telah mengembangkan program reverse mentoring yang melibatkan karyawan Gen Z untuk melatih manajer senior dalam bidang teknologi dan tren sosial. Ini bukan hanya membangun rasa saling percaya, tetapi juga menunjukkan bahwa kontribusi Gen Z dihargai secara nyata.

Di Microsoft, seperti dilaporkan WSJ, pendekatan onboarding untuk karyawan muda kini jauh lebih menyeluruh. Mereka tidak hanya diperkenalkan pada sistem perusahaan, tetapi juga diberikan pelatihan soft skills, diskusi budaya kerja, dan dialog terbuka antar generasi. Hasilnya, tingkat retensi karyawan muda meningkat 17 persen dalam dua tahun terakhir.

Kita juga perlu mengingat bahwa tidak semua kritik terhadap Gen Z salah. Dalam banyak kasus, mereka memang perlu membangun resiliensi, kemampuan menghadapi kritik, dan kesabaran terhadap proses. Namun tugas membimbing mereka tidak bisa hanya dilakukan dengan ekspektasi pasif. Seperti yang ditulis oleh McKinsey & Company dalam artikel Help Young Talent Grow, Don’t Just Manage Them (November 2023), perusahaan perlu menciptakan sistem pembelajaran jangka panjang, di mana umpan balik diberikan secara real-time dan berbasis pengembangan, bukan hanya evaluasi.

Dalam jangka panjang, membantu Gen Z bukan hanya tentang kebaikan hati atau kesabaran ekstra. Ini adalah strategi keberlanjutan organisasi. Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, Gen Z akan mengisi posisi manajerial dan strategis. Jika kita gagal membekali mereka sekarang, maka organisasi akan kekurangan pemimpin berkualitas di masa depan. Sebaliknya, jika kita melatih mereka dengan benar, mereka akan membawa pendekatan segar, keberanian untuk berinovasi, dan nilai-nilai sosial yang sangat relevan dengan pasar masa depan.

Hal paling penting adalah perubahan pola pikir. Para manajer dan pemimpin senior harus menggeser narasi dari “mengapa mereka tidak seperti kita” menjadi “bagaimana kita bisa membantu mereka berkembang”. Ini berarti bersedia menginvestasikan waktu untuk coaching, menyediakan ruang diskusi tanpa takut dihakimi, dan membuka dialog dua arah. Gen Z bukanlah “masalah HR”, melainkan cerminan dari dunia yang telah berubah dan masih terus berubah.

Semua generasi pasti memiliki tantangan dan karakteristik masing-masing. Tetapi Gen Z menghadapi hal yang belum pernah dialami generasi sebelumnya mereka memasuki dunia kerja di tengah krisis global, tanpa peta yang jelas. Mereka bukan lemah, mereka hanya kurang bimbingan. Maka daripada terus mengeluh, lebih bijak jika kita bertanya: apa yang telah kita lakukan untuk membantu mereka berhasil?