(Business Lounge – Health) Ray Loewe, seorang pensiunan berusia 83 tahun di Lancaster, Pennsylvania, menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai perencana keuangan, membantu orang lain mempersiapkan masa pensiun mereka dengan bijak. Namun, ironi kehidupan muncul saat ia sendiri menghadapi masa pensiunnya – ia menyadari bahwa ia telah meremehkan biaya kesehatan secara signifikan, terutama ketika beralih ke praktik medis concierge yang mengenakan biaya tahunan untuk layanan yang lebih personal.
Kisah Ray mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak warga lanjut usia di Amerika Serikat. Banyak yang memasuki masa pensiun dengan kesehatan relatif baik dan cukup memahami bahwa mereka harus membayar premi Medicare, asuransi tambahan, dan polis obat resep. Namun, seiring bertambahnya usia, banyak biaya tak terduga mulai bermunculan. Laporan dari Fidelity Investments, misalnya, memperkirakan bahwa pasangan rata-rata di AS memerlukan sekitar $330.000 untuk biaya kesehatan sepanjang masa pensiun mereka, belum termasuk asuransi perawatan jangka panjang. Tetapi estimasi ini sering kali tidak memasukkan sejumlah beban finansial yang muncul secara berulang dan tak terlihat dalam perencanaan awal.
Salah satu biaya yang sering kali diremehkan adalah obat-obatan yang tidak tercakup dalam daftar obat yang disetujui oleh rencana asuransi Medicare. Dalam sistem Medicare Part D, batas tahunan pembayaran pribadi sebesar $2.000 hanya berlaku untuk obat-obatan yang termasuk dalam daftar resmi, atau formulary, yang ditetapkan oleh perusahaan asuransi. Jika seseorang mengonsumsi obat mahal yang tidak ada dalam daftar tersebut, seperti Imbruvica yang digunakan untuk mengobati kanker darah dan bisa mencapai $9.000 per bulan, maka biaya tersebut menjadi tanggungan pribadi, tanpa perlindungan batas tahunan. Hal ini menyebabkan para pensiunan harus jeli memeriksa daftar formulary setiap tahun sebelum memilih rencana asuransi mereka.
Selain itu, lokasi tempat tinggal juga memainkan peran penting. Di wilayah pedesaan atau terpencil, terutama seperti Alaska atau bahkan kawasan luar kota di negara bagian seperti Florida, layanan kesehatan dasar pun dapat berarti perjalanan udara berjam-jam, menginap di hotel, dan biaya tambahan yang signifikan. Carolyn McClanahan, seorang dokter sekaligus perencana keuangan di Jacksonville, Florida, mengingat seorang kliennya yang membangun rumah pensiun impian di daerah terpencil, hanya untuk kemudian harus pindah ke panti jompo karena perawatan di rumah tidak tersedia meskipun memiliki asuransi perawatan jangka panjang. Kondisi geografis bisa memaksa para pensiunan membuat keputusan sulit antara gaya hidup damai dan akses kesehatan yang cepat dan andal.
Fenomena lain yang semakin mencolok di beberapa kota besar di AS seperti New York, Los Angeles, dan wilayah Silicon Valley adalah maraknya praktik medis concierge. Dokter-dokter yang kewalahan dengan sistem asuransi mulai beralih hanya melayani pasien yang membayar retainer tahunan, biasanya sekitar $3.500 hingga $10.000, bahkan bisa mencapai $25.000 di lokasi premium. Artinya, para lansia yang mengandalkan Medicare mungkin akan kesulitan mencari dokter yang menerima mereka. Tom Blue, seorang penasihat praktik concierge di Richmond, Virginia, mencatat bahwa pertumbuhan dokter concierge mencapai 8% per tahun, menciptakan kekhawatiran akan terbatasnya akses medis bagi pensiunan biasa. Bagi Ray Loewe dan istrinya, keputusan untuk beralih ke dokter concierge datang setelah dokter lama mereka mulai kelelahan, kehilangan rekam medis pasien, dan tak lagi mampu memberikan perhatian personal. Kini, mereka membayar $3.200 setahun untuk menjaga akses tersebut.
Apa yang terjadi di Amerika Serikat ini, meskipun terjadi di negara dengan sistem kesehatan maju, memberi pelajaran yang relevan pula bagi masyarakat kota-kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta. Meskipun sistem jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan memberikan perlindungan dasar, banyak warga senior di Jakarta menghadapi tantangan serupa: biaya kesehatan yang melonjak, akses layanan medis yang tidak merata, dan ketergantungan pada keluarga untuk perawatan jangka panjang. Bahkan di tengah kemajuan fasilitas kesehatan di ibu kota, kenyataannya adalah bahwa banyak lansia tetap harus merogoh kocek pribadi untuk obat-obatan yang tidak ditanggung BPJS, rawat inap di rumah sakit swasta, atau untuk perawatan paliatif di rumah.
Di Jakarta, tantangan ini diperburuk oleh ketimpangan kelas dan distribusi layanan. Warga berpenghasilan menengah ke bawah sering kali harus mengantre berjam-jam demi layanan BPJS, sementara mereka yang mampu beralih ke layanan rawat inap premium atau klinik keluarga dengan biaya jutaan rupiah per bulan. Meski belum seumum praktik concierge di AS, sejumlah rumah sakit dan klinik di Jakarta telah menawarkan paket layanan kesehatan tahunan yang menjanjikan akses cepat dan tanpa antre, dengan harga yang tidak terjangkau oleh sebagian besar pensiunan.
Realitas lain yang mengemuka adalah biaya transportasi dan pendampingan medis. Di kota besar seperti Jakarta, ketika seorang lansia membutuhkan kunjungan ke spesialis yang hanya praktik di rumah sakit tertentu, biaya perjalanan, tunggu, dan kadang perawatan inap mendadak bisa sangat membebani. Selain itu, ketika seorang lansia memerlukan pendamping harian atau perawatan di rumah, biaya bisa mencapai jutaan rupiah per bulan, dan tidak semua keluarga memiliki kapasitas finansial atau waktu untuk memenuhi kebutuhan ini.
Namun, seperti di Amerika Serikat, di Jakarta pun mulai muncul kesadaran baru akan pentingnya merancang masa tua secara aktif. Generasi pra-pensiun mulai merencanakan dana kesehatan lebih awal, bukan hanya menabung untuk perjalanan dan hiburan, tapi juga untuk skenario krisis medis. Di media sosial, komunitas pensiunan dan keluarga muda mulai mendiskusikan asuransi tambahan, skema dana darurat, serta pilihan hunian masa tua yang strategis—tidak hanya dari sisi kenyamanan, tetapi juga kedekatan dengan fasilitas medis.
Baik di AS maupun di Jakarta, tantangan masa tua bukan semata soal umur panjang, tetapi juga soal kualitas hidup yang layak. Ketika sistem jaminan sosial belum mampu menutup semua celah biaya dan kebutuhan medis, masyarakat dituntut untuk menjadi lebih proaktif, sadar risiko, dan mulai membicarakan realitas yang kerap dihindari bahwa hari tua memerlukan perencanaan lebih dari sekadar pensiun dari pekerjaan. Ini berarti memikirkan pilihan tempat tinggal yang mudah diakses layanan kesehatannya, mengevaluasi ulang asuransi, dan bahkan membicarakan opsi seperti layanan medis pribadi yang mungkin muncul di masa depan.
Ray Loewe kini sering berbicara kepada orang-orang yang mendekati usia pensiun. Pesannya sederhana: jangan anggap enteng biaya kesehatan. Meski awal pensiun terasa ringan dan menyenangkan, kebutuhan medis bisa datang tiba-tiba dan menghantam tabungan yang telah direncanakan bertahun-tahun. Di Jakarta, pesan serupa mulai bergema di kalangan masyarakat menengah—bahwa harapan hidup lebih lama harus diimbangi dengan strategi bertahan yang cerdas.
Pada akhirnya, baik di Lancaster maupun Jakarta, harapan masa tua bukanlah sekadar cita-cita individual. Ia adalah hasil kolaborasi antara sistem, komunitas, keluarga, dan kesiapan pribadi. Dan meski tantangannya nyata, harapan tetap ada—selama kita bersedia mempersiapkannya, hari demi hari.