Hertz

Hertz Global Fokus Perbaikan Keuangan

(Business Lounge – Global News) Hertz Global Holdings Inc., salah satu nama besar dalam industri penyewaan kendaraan, kini kembali menjadi sorotan setelah melaporkan kerugian yang lebih luas dan penurunan pendapatan pada kuartal pertama tahun 2025. Meski demikian, manajemen perusahaan menegaskan bahwa proses pemulihan sedang berlangsung dan beberapa indikator menunjukkan bahwa langkah-langkah strategis yang diambil mulai membuahkan hasil. Dalam laporan keuangan terbaru, Hertz mencatat kerugian bersih sebesar 443 juta dolar AS, jauh lebih besar dibandingkan kerugian 196 juta dolar AS pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatan perusahaan juga turun menjadi 1,8 miliar dolar, penurunan sekitar 13 persen dari tahun sebelumnya, yang mengindikasikan adanya tekanan di sektor operasional maupun pasar.

Reaksi pasar terhadap laporan ini cukup cepat dan negatif. Saham Hertz langsung turun hampir 5 persen dalam perdagangan setelah jam kerja. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap kemampuan perusahaan dalam mengatasi tekanan biaya dan memulihkan profitabilitas di tengah tantangan industri yang sedang berubah. Namun demikian, di balik angka-angka yang terlihat suram ini, perusahaan mencoba membangun narasi optimisme berdasarkan strategi jangka panjang dan keyakinan terhadap arah baru perusahaan di bawah manajemen yang lebih agresif.

Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap kerugian kuartal ini adalah peningkatan besar dalam biaya depresiasi kendaraan, yang naik sebesar 588 juta dolar. Di antara jumlah ini, sekitar 195 juta dolar berasal dari penurunan nilai kendaraan listrik (EV) yang telah dijual kembali. Keputusan strategis untuk memangkas armada EV—yang sebelumnya menjadi sorotan global sebagai bagian dari transisi energi—dilakukan karena realita pasar dan rendahnya tingkat permintaan sewa terhadap kendaraan-kendaraan tersebut. CEO baru Gil West menjelaskan bahwa kendaraan listrik yang mereka miliki, sebagian besar dari Tesla, menghadapi biaya perawatan dan perbaikan yang lebih tinggi dari yang diperkirakan. Hal ini, ditambah dengan depresiasi harga jual kembali yang tajam, membuat armada tersebut menjadi beban ketimbang aset strategis.

Dalam konteks ini, langkah untuk mengurangi paparan terhadap risiko EV merupakan bagian dari rencana perbaikan menyeluruh. West, mantan eksekutif Delta Airlines yang baru bergabung dengan Hertz, menyatakan bahwa perusahaannya kini tengah memfokuskan diri pada efisiensi armada dan pengendalian biaya operasional. Ia juga menambahkan bahwa perusahaan akan terus merampingkan proses bisnis, mengoptimalkan utilisasi kendaraan, dan memperkuat sistem distribusi serta layanan pelanggan, agar dapat bersaing lebih baik di pasar yang kompetitif. Upaya ini diharapkan dapat memulihkan margin keuntungan dan memperbaiki rasio profitabilitas dalam beberapa kuartal mendatang.

Salah satu faktor yang menambah dimensi menarik dalam narasi Hertz adalah masuknya investor kenamaan Bill Ackman melalui Pershing Square, yang membeli sekitar 20 persen saham Hertz. Ackman melihat potensi besar dalam transformasi perusahaan ini. Dalam komentarnya kepada media, ia menekankan bahwa Hertz memiliki peluang untuk mencapai EBITDA tahunan sebesar 2 miliar dolar jika perusahaan dapat menjalankan operasionalnya dengan lebih efisien dan memaksimalkan nilai armadanya. Menurutnya, Hertz saat ini berada dalam posisi unik untuk mengambil manfaat dari restrukturisasi pasar dan perkembangan teknologi, terutama dalam hal manajemen data armada dan digitalisasi pengalaman pelanggan.

Namun, skeptisisme tetap tinggi. Laporan dari Barron’s menunjukkan bahwa hampir setengah dari saham Hertz kini dipegang oleh para short seller, yang menunjukkan ketidakpercayaan sebagian besar pelaku pasar terhadap kemampuan perusahaan untuk membalikkan keadaan. Target harga rata-rata dari analis juga rendah, sekitar 4 dolar AS per saham, jauh dari level yang pernah dicapai Hertz sebelum krisis pandemi. Penurunan kepercayaan ini sebagian besar didorong oleh ekspektasi pertumbuhan yang menurun, tekanan kompetisi dari layanan ride-hailing seperti Uber dan Lyft, serta kebutuhan investasi besar untuk memperbaharui dan menyeimbangkan kembali armada.

Secara historis, Hertz pernah bangkrut pada 2020 karena tekanan finansial akibat pandemi. Setelah keluar dari kebangkrutan pada 2021 dan sempat menarik perhatian dengan rencana ambisius untuk menjadi pelopor penggunaan EV dalam industri penyewaan kendaraan, perusahaan kini menghadapi kenyataan bahwa peralihan ke kendaraan listrik membutuhkan strategi yang jauh lebih kompleks. Perusahaan seperti Tesla memang menawarkan inovasi teknologi, tetapi ketika digunakan dalam skala besar dalam lingkungan penyewaan, muncul tantangan yang tidak kecil, mulai dari infrastruktur pengisian daya, biaya servis yang tinggi, hingga permintaan konsumen yang belum sebanding dengan ekspektasi.

Meskipun laporan keuangan Hertz menunjukkan tekanan, beberapa indikator fundamental memperlihatkan bahwa perusahaan tidak sepenuhnya berada dalam krisis yang tak terkendali. Contohnya, meskipun pendapatan turun secara keseluruhan, tarif sewa harian rata-rata masih relatif stabil, yang menunjukkan bahwa perusahaan tetap mampu mempertahankan harga di tengah penurunan volume transaksi. Selain itu, inisiatif digitalisasi yang diterapkan dalam beberapa bulan terakhir mulai menunjukkan hasil positif dalam hal efisiensi operasional, pemangkasan biaya, dan peningkatan pengalaman pelanggan.

Gil West sendiri mengatakan bahwa proses transformasi tidak bisa dilihat secara instan dan akan memerlukan waktu beberapa kuartal untuk memberikan hasil nyata. Namun, ia tetap optimis bahwa landasan strategis yang sedang dibangun saat ini akan menjadikan Hertz sebagai pemimpin baru dalam industri penyewaan kendaraan modern. Salah satu rencana jangka menengah adalah memperkuat kemitraan strategis dengan berbagai produsen mobil global, untuk mendapatkan akses armada dengan harga yang lebih kompetitif dan jaminan servis purna jual yang lebih baik.

Tantangan lain yang dihadapi Hertz adalah sejumlah persoalan hukum yang berlarut-larut. Di antaranya adalah kekalahan dalam gugatan hukum besar-besaran terkait salah penangkapan terhadap pelanggan akibat kesalahan sistem pelacakan kendaraan, yang bisa merugikan perusahaan hingga 320 juta dolar. Masalah reputasi seperti ini tentu menambah beban yang harus ditanggung Hertz dalam upaya memperbaiki citra di mata publik dan investor.

Sejumlah analis memandang bahwa langkah Hertz mengakui kerugian besar di kuartal ini justru menunjukkan adanya kejujuran akuntansi dan komitmen terhadap transparansi. Hal ini bisa menjadi langkah awal yang sehat untuk memperkuat kepercayaan pasar dalam jangka panjang. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi rencana strategis yang konkret, mulai dari optimalisasi struktur biaya, pembaruan teknologi digital, hingga penyesuaian terhadap dinamika pasar kendaraan listrik yang masih sangat fluktuatif.

Transformasi yang sedang dijalankan Hertz saat ini bisa menjadi studi kasus penting tentang bagaimana perusahaan penyewaan kendaraan konvensional mencoba beradaptasi dengan disrupsi teknologi dan tekanan lingkungan pasca-pandemi. Dengan masuknya investor berpengaruh seperti Bill Ackman, dan kehadiran manajemen baru yang berpengalaman, Hertz memiliki peluang untuk memanfaatkan momentum perbaikan sebagai lompatan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Namun, semua itu harus dicapai di tengah kompetisi ketat, perubahan preferensi konsumen, dan ekspektasi pasar keuangan yang tidak sabar.

Dalam jangka pendek, fokus Hertz tampaknya akan tetap pada pengurangan kerugian dan pemulihan margin. Dalam jangka menengah, perhatian akan bergeser pada efisiensi logistik dan peningkatan pelayanan berbasis teknologi. Dan dalam jangka panjang, keberhasilan transformasi Hertz akan sangat tergantung pada kemampuannya membaca tren industri mobilitas global dan menjawabnya dengan adaptasi yang cerdas dan cepat.

Kisah Hertz saat ini bukan hanya tentang angka-angka merah di laporan keuangan, tetapi juga tentang dinamika industri mobilitas yang tengah berubah dengan sangat cepat. Dunia pasca-pandemi membawa tantangan dan peluang baru, dan perusahaan seperti Hertz yang mampu berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan kemungkinan besar akan tetap relevan dan mungkin bahkan unggul. Dengan segala keraguan yang ada, jalan ke depan tetap terbuka. Tinggal bagaimana Hertz menavigasi tantangan ini secara cermat dan konsisten.