(Business Lounge – Global News) Puma, salah satu merek pakaian olahraga terkemuka dunia, menyatakan bahwa dampak dari potensi tarif baru terhadap barang-barang impor dari Tiongkok ke Amerika Serikat masih belum sepenuhnya dapat dipastikan, meskipun perusahaan telah melakukan langkah-langkah penting untuk merestrukturisasi rantai pasoknya. Pernyataan ini datang di tengah kekhawatiran yang meningkat di antara produsen global terhadap arah kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang dapat berdampak luas pada margin keuntungan dan kelangsungan pasokan barang konsumen.
Seperti dilaporkan Bloomberg, manajemen Puma mengatakan bahwa hanya sekitar 10% dari total produk yang dijual di pasar Amerika Serikat berasal dari Tiongkok. Angka ini merupakan hasil dari upaya bertahun-tahun perusahaan untuk mengurangi ketergantungan pada manufaktur di wilayah tersebut, menyusul memanasnya ketegangan perdagangan antara Washington dan Beijing sejak 2018.
Namun demikian, CEO Puma Arne Freundt menegaskan dalam sesi konferensi dengan para analis bahwa ketidakpastian kebijakan tarif tetap menjadi salah satu risiko yang harus terus dipantau. “Kami telah mendiversifikasi sumber pasokan kami ke negara-negara lain seperti Vietnam, Indonesia, dan Bangladesh, tetapi kondisi geopolitik bisa berubah sewaktu-waktu,” ujarnya.
Langkah Puma dalam menyesuaikan rantai pasok ini merupakan bagian dari strategi mitigasi risiko jangka panjang, di mana perusahaan mencoba mengantisipasi kemungkinan adanya hambatan perdagangan, baik dalam bentuk tarif maupun kebijakan logistik. Menurut laporan Reuters, sejak tahun 2019 Puma telah mengurangi ketergantungan pada pabrik-pabrik di Tiongkok dan mengalihkan sebagian besar produksinya ke Asia Tenggara.
Namun tantangan logistik global dan tekanan geopolitik yang kian dinamis membuat perusahaan tidak dapat sepenuhnya lepas dari kekhawatiran akan fluktuasi biaya. Apalagi menjelang pemilu AS yang akan datang, diskursus soal perlindungan industri dalam negeri dan peninjauan ulang hubungan dagang dengan Tiongkok kembali menguat. Dalam kondisi seperti itu, merek global seperti Puma harus bersiap menghadapi kebijakan tarif tambahan yang mungkin diberlakukan mendadak.
Dalam laporan keuangannya untuk kuartal pertama tahun 2025, yang dilansir oleh Financial Times, Puma mencatat pertumbuhan penjualan yang moderat di kawasan Amerika Utara, namun perusahaan menyebutkan bahwa tekanan biaya tetap membayangi prospek margin laba. Selain isu tarif, Puma juga menghadapi kenaikan biaya bahan baku, upah buruh, dan transportasi internasional, yang semuanya mempersempit ruang manuver keuangan perusahaan.
Khusus untuk pasar AS, Puma mengalami peningkatan kompetisi dari merek lokal dan global, termasuk Nike dan Adidas, yang juga melakukan langkah restrukturisasi rantai pasok secara agresif. Namun tidak seperti pesaingnya yang masih memiliki eksposur signifikan terhadap pabrik di Tiongkok, Puma tampaknya lebih siap dari sisi diversifikasi geografis.
Menurut analis dari Morgan Stanley, Puma saat ini mengandalkan Vietnam untuk sekitar 30% dari produksi globalnya, sementara Indonesia dan Bangladesh masing-masing menyumbang sekitar 20%. Diversifikasi ini membuat Puma relatif lebih tangguh menghadapi potensi tarif selektif terhadap produk Tiongkok. Namun, tetap ada risiko bahwa kebijakan tarif AS bisa diperluas ke negara lain jika tensi dagang berkembang ke arah yang lebih proteksionis.
Menanggapi hal ini, Freundt mengatakan bahwa Puma akan terus menjalin komunikasi dengan para mitra dagang dan otoritas pemerintah guna memahami arah kebijakan yang sedang berkembang. “Kami tidak mengambil asumsi tertentu dalam proyeksi keuangan kami. Segala sesuatu masih sangat bergantung pada arah regulasi perdagangan yang diumumkan,” katanya.
Lebih jauh, perusahaan mengindikasikan bahwa setiap skenario tarif baru bisa berdampak langsung pada harga jual ritel di AS, yang akhirnya memengaruhi permintaan konsumen. Dalam kondisi di mana konsumen Amerika mulai lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, terutama untuk barang non-esensial seperti pakaian olahraga, kenaikan harga akibat tarif tambahan bisa menjadi beban tambahan.
Namun Puma juga menyoroti sisi positif dari upaya diversifikasi dan efisiensi logistik yang telah dijalankan selama ini. Menurut CNBC, Puma telah mengadopsi sistem manajemen inventaris berbasis data untuk mengoptimalkan perputaran stok dan merespons perubahan permintaan secara real-time. Strategi ini membantu perusahaan menjaga kestabilan pasokan di pasar utama, termasuk AS, Eropa, dan Asia, meski menghadapi tantangan rantai pasok global.
Selain itu, Puma juga meningkatkan investasinya dalam kanal digital dan distribusi langsung ke konsumen, seperti e-commerce dan toko milik sendiri, yang memberikan margin lebih tinggi dan mengurangi ketergantungan pada mitra distribusi pihak ketiga. Ini merupakan bagian dari strategi menyeluruh perusahaan untuk meningkatkan ketahanan operasional dan fleksibilitas dalam menghadapi ketidakpastian global.
Puma menekankan bahwa pihaknya akan terus menyesuaikan harga, strategi promosi, dan pengelolaan inventaris untuk mengatasi tekanan eksternal semacam tarif. Namun perusahaan juga mengakui bahwa fleksibilitas harga memiliki batas, terutama di pasar yang sangat kompetitif dan sensitif terhadap harga seperti Amerika Serikat.
Menurut laporan The Wall Street Journal, ketidakpastian ini tidak hanya dirasakan Puma. Banyak perusahaan apparel global, termasuk Skechers, Under Armour, dan New Balance, kini tengah menyusun ulang proyeksi tahunan mereka seiring meningkatnya spekulasi tentang kebijakan perdagangan AS terhadap produk impor, terutama dari Asia.
Sebagai reaksi terhadap kekhawatiran pasar, saham Puma sempat mengalami fluktuasi setelah laporan keuangan kuartalannya dirilis. Meskipun pertumbuhan penjualan global masih positif, pasar tampaknya memberi penilaian hati-hati terhadap pernyataan manajemen terkait risiko tarif. Saham perusahaan turun sekitar 1,8% dalam perdagangan Frankfurt pada hari pengumuman laporan, menurut data dari Bloomberg Markets.
Dalam jangka menengah, Puma tetap optimistis akan potensi pertumbuhan global, terutama di pasar berkembang dan segmen produk wanita dan lifestyle. Namun perusahaan menegaskan bahwa fleksibilitas strategis, diversifikasi sumber pasok, dan kemampuan beradaptasi terhadap kebijakan internasional akan menjadi faktor kunci dalam mempertahankan kinerja keuangan yang stabil.
Sejumlah analis memperkirakan bahwa meskipun ketidakpastian masih membayangi, posisi rantai pasok Puma yang relatif tersebar akan memberikan bantalan yang cukup baik terhadap guncangan tarif. Namun jika terjadi lonjakan biaya logistik secara global atau perluasan kebijakan proteksionis, Puma—seperti halnya banyak produsen pakaian global lainnya—mungkin harus meninjau ulang strategi harga dan investasi jangka panjangnya.
Di tengah iklim dagang yang belum pasti, Puma kini berada di persimpangan antara menjaga daya saing harga dan mempertahankan profitabilitas. Dengan pangsa pasar yang kuat dan strategi diversifikasi yang sudah berjalan, perusahaan memiliki peluang untuk tetap tumbuh. Tapi seperti disampaikan sendiri oleh manajemen: ketidakpastian tetap menjadi tantangan utama yang belum bisa dihindari dalam waktu dekat.