(Business Lounge – Global News) Perusahaan energi raksasa asal Inggris, BP plc, mengumumkan bahwa laba kuartalan mereka berada di bawah ekspektasi analis dan pasar, sekaligus memicu keputusan perusahaan untuk memangkas nilai program pembelian kembali saham atau buyback. Kabar ini menjadi sinyal terbaru mengenai tantangan yang dihadapi industri energi global setelah dua tahun diwarnai keuntungan luar biasa akibat lonjakan harga komoditas pascaperang di Ukraina.
Dalam laporan resmi yang dirilis awal pekan ini, BP membukukan laba sebesar 2,7 miliar dolar AS untuk kuartal pertama 2025. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan ekspektasi analis yang disurvei oleh Refinitiv, yang memperkirakan laba sekitar 3,3 miliar dolar. Penurunan ini dibandingkan secara signifikan dengan kinerja BP pada periode yang sama tahun lalu, ketika perusahaan berhasil mencetak laba sebesar 5 miliar dolar di tengah melonjaknya harga minyak dan gas.
Dalam siaran pers yang dikutip oleh Bloomberg, CEO BP Murray Auchincloss menyatakan bahwa perusahaan sedang menghadapi “lingkungan harga yang lebih menantang,” terutama karena penurunan harga gas alam dan berkurangnya margin kilang. Ia menekankan bahwa BP tetap fokus pada efisiensi biaya dan pengelolaan portofolio energi yang lebih beragam, namun mengakui bahwa tekanan terhadap arus kas bebas membuat perusahaan harus mengambil langkah realistis terkait pengembalian modal kepada pemegang saham.
Keputusan BP untuk memangkas buyback menjadi hanya 1,75 miliar dolar selama tiga bulan ke depan dibandingkan program sebelumnya sebesar 2,75 miliar dolar disambut negatif oleh pasar. Saham BP turun lebih dari 4% dalam perdagangan pagi di Bursa London setelah pengumuman tersebut. Beberapa analis menilai ini sebagai sinyal bahwa perusahaan tidak lagi bisa mempertahankan ritme pengembalian nilai kepada investor seperti yang mereka lakukan saat harga energi berada pada puncaknya pada 2022 dan awal 2023.
Financial Times melaporkan bahwa pemangkasan buyback ini juga mencerminkan tantangan struktural yang kini dihadapi perusahaan minyak besar, terutama dalam menyeimbangkan kebutuhan ekspansi ke energi rendah karbon dengan ekspektasi pasar akan dividen yang kompetitif dan program pengembalian modal yang agresif. Sejak 2020, BP memang berada dalam jalur transformasi menuju “perusahaan energi terintegrasi” yang lebih ramah lingkungan, namun jalan menuju transisi tersebut terbukti penuh dengan kompromi dan volatilitas.
Dalam beberapa tahun terakhir, BP telah menjanjikan akan mengurangi emisi karbon dan berinvestasi besar-besaran pada energi terbarukan dan teknologi transisi seperti hidrogen, bioenergi, dan penyimpanan karbon. Namun Reuters mencatat bahwa pada praktiknya, sebagian besar arus kas BP masih bergantung pada sektor minyak dan gas tradisional, membuat perusahaan tetap rentan terhadap fluktuasi harga komoditas.
Para analis dari Goldman Sachs menyebut bahwa hasil kuartal pertama BP adalah “pengingat keras” bahwa diversifikasi ke energi bersih masih belum menghasilkan pengembalian investasi sebesar sektor minyak dan gas. Mereka mencatat bahwa penurunan harga gas alam di pasar Eropa, serta biaya operasi yang meningkat, turut menekan profitabilitas perusahaan. Sementara itu, margin kilang yang sempat memberikan dorongan besar tahun lalu juga menurun drastis karena normalisasi pasokan global.
Namun, bukan hanya penurunan laba yang menjadi sorotan pasar, melainkan juga ketidakjelasan strategi jangka menengah BP. Setelah pergantian CEO dari Bernard Looney ke Murray Auchincloss, beberapa investor mempertanyakan apakah perusahaan akan tetap pada jalur transisi energinya atau justru memperlambatnya demi menjaga profitabilitas. Dalam wawancaranya dengan The Wall Street Journal, Auchincloss mencoba meredam kekhawatiran tersebut dengan menegaskan komitmen BP terhadap transisi energi, meskipun ia mengakui bahwa kondisi pasar memerlukan penyesuaian tempo dan prioritas investasi.
Pernyataan ini dianggap sebagian investor sebagai kompromi yang ambigu. Di satu sisi, BP tetap menargetkan pengurangan emisi operasional sebesar 50% pada 2030 dan peningkatan kapasitas energi terbarukan, namun di sisi lain, pengeluaran modal (capex) masih didominasi oleh proyek minyak dan gas di Afrika Barat, Teluk Meksiko, dan Laut Utara. Menurut laporan CNBC, sekitar 70% belanja modal BP tahun ini masih diarahkan ke eksplorasi dan pengembangan hidrokarbon, sementara hanya 30% sisanya yang dialokasikan untuk energi rendah karbon.
Sementara itu, dividen BP tetap dipertahankan, yang menunjukkan upaya manajemen untuk menjaga kepercayaan pemegang saham jangka panjang. Namun pengamat mencatat bahwa tanpa dukungan dari program buyback yang besar, investor institusional mungkin mulai mempertimbangkan ulang posisi mereka, terutama jika volatilitas harga minyak kembali meningkat dan laba BP tetap di bawah tekanan.
Kondisi ini juga mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh semua perusahaan energi besar dalam menyelaraskan kebutuhan keuangan jangka pendek dengan tekanan regulasi dan ekspektasi publik akan transisi hijau. Shell dan ExxonMobil, dua pesaing utama BP, juga menghadapi pertanyaan serupa dari pasar dan pemegang saham terkait arah strategis mereka dalam dunia yang semakin memperketat standar lingkungan.
Menurut data dari International Energy Agency, permintaan global terhadap energi fosil diperkirakan akan mencapai puncaknya sebelum 2030. Namun, proses transisi menuju sistem energi rendah karbon berjalan jauh lebih lambat dibandingkan target iklim internasional. Hal ini menciptakan tekanan ganda bagi perusahaan seperti BP: mereka harus tetap kompetitif dalam jangka pendek sambil mempersiapkan perubahan struktur industri dalam jangka panjang.
Di sisi lain, pengurangan buyback BP dapat membuka ruang bagi perusahaan untuk mengalokasikan lebih banyak dana untuk investasi masa depan, baik dalam bentuk energi bersih maupun efisiensi operasional. Sejumlah investor berhaluan lingkungan menyambut baik keputusan ini sebagai sinyal bahwa BP lebih serius menata ulang portofolionya, meskipun sebagian analis menilai hal ini sebagai tanda kelemahan fundamental dalam struktur arus kas BP.
Pasar kini menanti hasil kuartalan dari perusahaan energi besar lainnya seperti TotalEnergies dan Chevron, untuk membandingkan sejauh mana tekanan harga dan margin memengaruhi kinerja sektor secara keseluruhan. Jika tren penurunan laba ini bersifat menyeluruh, maka investor kemungkinan akan mengalihkan fokus mereka ke sektor lain yang lebih stabil, seperti teknologi atau layanan kesehatan.
Namun demikian, BP tetap menjadi salah satu pemain kunci dalam peta energi global. Dengan aset strategis yang tersebar di seluruh dunia dan kemampuan operasional yang terbukti, perusahaan ini memiliki fondasi yang kuat untuk bertahan dan beradaptasi. Tantangannya kini adalah bagaimana BP mampu meyakinkan pasar bahwa mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dalam dunia energi yang sedang berubah cepat.
Ketika tekanan dari investor, regulator, dan masyarakat semakin kuat, BP harus mampu menjawab tantangan tersebut tidak hanya dengan retorika keberlanjutan, tetapi juga dengan kinerja yang nyata. Laporan kuartalan berikutnya akan menjadi ujian sejauh mana perusahaan ini mampu menavigasi kompleksitas energi global dan memenuhi janji strategisnya.