Adidas

Adidas Waspadai Dampak Tarif Amerika Serikat

Adidas AG, raksasa perlengkapan olahraga asal Jerman, mengonfirmasi angka penjualan kuartal pertama 2025 sesuai dengan laporan pendahuluan yang dirilis awal bulan ini. Meski mempertahankan proyeksi keuangan untuk setahun penuh, perusahaan memberikan peringatan kepada investor bahwa potensi pengenaan tarif baru oleh Amerika Serikat dapat mengganggu kinerja ke depan, terutama karena pasar Amerika menjadi salah satu motor utama pertumbuhan Adidas saat ini.

Dalam laporan resmi yang dirilis pada pekan terakhir April, Adidas mencatat penjualan sebesar 6,15 miliar euro untuk tiga bulan pertama 2025, naik dari periode yang sama tahun lalu. Namun, di tengah pencapaian tersebut, manajemen menyatakan kekhawatiran yang semakin besar terhadap kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang tengah mengalami pergeseran signifikan.

Perusahaan secara eksplisit menyebut bahwa potensi pengenaan tarif baru terhadap barang impor dari Tiongkok dan negara-negara Asia lainnya dapat berdampak pada rantai pasok dan harga jual produk, terutama sepatu dan pakaian olahraga. Adidas, seperti banyak perusahaan pakaian global lainnya, masih sangat bergantung pada produksi dari Asia, meskipun upaya diversifikasi ke wilayah seperti Vietnam dan Indonesia terus dilakukan dalam beberapa tahun terakhir.

CEO Adidas Bjørn Gulden menegaskan dalam konferensi pers yang dikutip oleh Bloomberg, “Kami percaya bahwa panduan kinerja setahun penuh kami tetap realistis, namun kami juga harus bersikap hati-hati terhadap kemungkinan adanya tarif impor baru dari AS. Kami memantau perkembangan ini secara ketat.”

Kekhawatiran Adidas muncul setelah pemerintahan Amerika Serikat mengisyaratkan bahwa tarif tambahan mungkin diberlakukan kembali untuk melindungi industri domestik dari lonjakan barang murah dari Asia. Meskipun belum ada kebijakan resmi yang diumumkan, berbagai laporan dari Reuters dan The Wall Street Journal menyebutkan bahwa sektor alas kaki dan tekstil termasuk yang berpotensi menjadi sasaran.

Dampaknya tidak hanya pada sisi biaya produksi, tetapi juga pada struktur harga dan daya saing merek. Jika tarif benar-benar diberlakukan, Adidas akan menghadapi dilema: menaikkan harga produk dan berisiko kehilangan pelanggan, atau menanggung margin keuntungan yang lebih tipis demi mempertahankan volume penjualan.

Amerika Serikat adalah pasar terbesar kedua bagi Adidas setelah Eropa. Menurut data internal perusahaan yang dikutip oleh Financial Times, sekitar 24% pendapatan global Adidas berasal dari Amerika Utara. Dengan demikian, setiap gangguan dalam rantai pasok atau regulasi perdagangan akan berimbas signifikan terhadap kinerja keuangan secara keseluruhan.

Sementara itu, Adidas juga tengah menikmati momen pemulihan dari serangkaian tantangan pada 2023, termasuk penyelesaian masalah pasokan sisa stok Yeezy setelah pemutusan hubungan bisnis dengan Kanye West. Stok yang tersisa telah dijual secara bertahap, dan hasil penjualannya membantu menopang arus kas dalam dua kuartal terakhir. Namun, kontribusi dari lini Yeezy diperkirakan tidak akan berlanjut secara signifikan sepanjang 2025.

Dalam laporan kuartalan, Adidas melaporkan margin laba kotor sebesar 49,5%, lebih tinggi dari ekspektasi analis yang berada di kisaran 48%. Ini menunjukkan peningkatan efisiensi dalam rantai distribusi dan pengurangan diskon besar-besaran yang sebelumnya diterapkan untuk mengosongkan inventaris. Namun, tekanan terhadap biaya logistik dan inflasi bahan baku tetap menjadi tantangan yang perlu diawasi.

Investor juga mencermati strategi pemasaran dan inovasi produk Adidas, terutama menjelang ajang besar seperti Olimpiade Paris 2024 dan berbagai turnamen sepak bola internasional. Adidas telah meningkatkan belanja promosi dan kerja sama dengan atlet serta klub olahraga, dan menempatkan harapan besar pada peluncuran produk-produk edisi terbatas yang dapat mendongkrak pendapatan kuartalan berikutnya.

Meski demikian, ketidakpastian geopolitik dan kebijakan perdagangan tetap menjadi faktor eksternal yang berada di luar kendali perusahaan. Dalam laporan analis dari UBS, disebutkan bahwa Adidas kemungkinan perlu membuat skenario kontinjensi, termasuk mempercepat relokasi pabrik dan melakukan lindung nilai terhadap risiko mata uang dan tarif.

Dari sisi keuangan, Adidas menargetkan pertumbuhan pendapatan satu digit menengah untuk 2025 dan margin operasional yang bisa kembali menyentuh 6% hingga akhir tahun. Target ini cukup ambisius mengingat kondisi pasar yang semakin kompetitif, terutama dengan kebangkitan Puma dan ekspansi agresif Nike di Asia Tenggara dan India.

Adidas juga menyatakan bahwa mereka akan tetap berhati-hati dalam mengelola inventaris dan tidak akan kembali ke strategi “overstocking” seperti yang terjadi sebelum pandemi. Pendekatan baru yang lebih ramping dalam manajemen rantai pasok dipandang sebagai respons atas volatilitas permintaan konsumen serta tekanan dari pengecer ritel yang kini lebih berhati-hati dalam memesan stok.

Dalam jangka pendek, para analis memperkirakan bahwa hasil kuartal kedua akan sangat ditentukan oleh perkembangan kebijakan tarif AS dan efektivitas kampanye pemasaran yang diluncurkan menjelang musim panas. Jika Adidas mampu mempertahankan momentum pertumbuhan dan meminimalkan gangguan biaya, maka prospek keuangan untuk paruh kedua 2025 tetap positif.

Namun jika tarif diberlakukan dengan cakupan luas dan segera, perusahaan mungkin akan dipaksa untuk menyesuaikan kembali panduan pendapatan serta mempertimbangkan kenaikan harga produk di pasar AS. Hal ini berpotensi menekan volume penjualan, terutama di segmen kelas menengah yang sangat sensitif terhadap perubahan harga.

Pasar bereaksi cukup tenang terhadap laporan ini, dengan saham Adidas bergerak stabil di Bursa Frankfurt. Namun para pelaku pasar tetap waspada terhadap berita makroekonomi dan kebijakan perdagangan dari Washington yang bisa mengubah peta kompetisi industri dalam waktu singkat.

Dalam sebuah wawancara dengan CNBC, analis ritel menyatakan bahwa strategi Adidas dalam menjaga fleksibilitas rantai pasok dan memperkuat hubungan dengan konsumen digital menjadi kunci untuk menghadapi tahun yang penuh ketidakpastian ini. Kemampuan perusahaan untuk beradaptasi secara cepat akan menentukan apakah mereka bisa mempertahankan posisi kompetitif mereka di tengah guncangan eksternal yang makin sering terjadi.

Ke depan, Adidas tampaknya akan menjalani tahun yang kompleks: di satu sisi memiliki peluang pertumbuhan yang menjanjikan berkat event olahraga global dan peluncuran produk baru, namun di sisi lain menghadapi tantangan serius dari kebijakan proteksionis dan ketegangan geopolitik yang berpotensi menghambat rantai pasok dan arus perdagangan bebas.