(Business Lounge – Technology) Shopify, raksasa e-commerce asal Kanada, sedang mengubah cara kerjanya secara mendasar. Dalam sebuah langkah radikal yang menandai pergeseran besar dalam manajemen tenaga kerja, CEO Shopify Tobi Lütke menyatakan bahwa perusahaan kini hanya akan merekrut karyawan baru jika kecerdasan buatan (AI) benar-benar tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kebijakan ini menjadi bagian dari strategi internal untuk menempatkan AI sebagai mitra kerja utama, bukan sekadar alat bantu.
Dalam pengumuman internal yang pertama kali dilaporkan oleh Bloomberg, Lütke menegaskan bahwa seluruh tim kini diwajibkan untuk mengintegrasikan AI ke dalam proses kerja mereka. Shopify bahkan menciptakan apa yang mereka sebut sebagai “AI Officer” dalam setiap tim, yang bertugas memastikan setiap proses, proyek, dan diskusi kerja telah mempertimbangkan apakah AI bisa melakukan tugas tersebut sebelum melibatkan tenaga manusia tambahan. Langkah ini bukan hanya simbolik, tapi bersifat struktural.
“Kami melihat AI sebagai bagian dari tim,” tulis Lütke kepada para karyawan dalam sebuah memo yang dikutip oleh The Wall Street Journal. Ia menggambarkan AI sebagai “rekan kerja yang tidak pernah tidur” dan mampu melakukan berbagai tugas administratif dan analitik secara jauh lebih efisien daripada manusia. Oleh karena itu, lanjut Lütke, perusahaan harus menghindari menambah tenaga kerja untuk peran-peran yang sebenarnya bisa ditangani oleh model AI seperti ChatGPT atau alat otomatisasi lainnya.
Shopify bukanlah satu-satunya perusahaan yang mulai mengintegrasikan AI ke dalam proses bisnisnya. Namun pendekatannya sangat ekstrem dan sistemik. Sejak pandemi, perusahaan ini sudah memangkas ribuan pekerja dalam dua gelombang PHK besar—pertama pada 2022 dan kemudian pada 2023. Pada gelombang terakhir, sekitar 20% tenaga kerja dipangkas. Dalam setiap pernyataannya, Lütke selalu menekankan kebutuhan untuk kembali ke struktur organisasi yang ramping dan fokus pada efisiensi serta pengembangan produk.
Langkah terbaru ini tampaknya merupakan evolusi logis dari arah tersebut. Jika selama ini efisiensi berarti pengurangan SDM untuk fungsi yang tumpang tindih, kini efisiensi berarti hanya melibatkan manusia ketika mesin benar-benar tidak bisa mengambil alih. Dalam memo internalnya, Lütke menyebutkan bahwa tim yang mengabaikan potensi AI dalam menyelesaikan pekerjaan akan dianggap kurang produktif dan tidak selaras dengan visi masa depan perusahaan.
Laporan CNBC menyebutkan bahwa langkah ini juga sejalan dengan investasi Shopify dalam produk AI internal, termasuk pengembangan fitur berbasis machine learning untuk mengoptimalkan logistik, personalisasi toko, hingga dukungan pelanggan otomatis. Beberapa fitur ini kini mampu menjawab pertanyaan pelanggan, menyarankan strategi penjualan, dan bahkan menulis deskripsi produk secara otomatis—pekerjaan yang sebelumnya ditangani oleh staf penjualan atau pemasaran.
Kebijakan ini menimbulkan reaksi beragam dari karyawan dan pengamat industri. Di satu sisi, banyak yang mengakui bahwa Shopify berada di garis depan dalam penggunaan teknologi untuk mengoptimalkan kinerja. Namun di sisi lain, kekhawatiran tentang masa depan tenaga kerja manusia semakin meningkat, terutama ketika perusahaan sebesar Shopify secara terbuka menyatakan bahwa manusia adalah “opsi terakhir” dalam penyelesaian pekerjaan.
“Ini bukan sekadar automasi tugas, ini redefinisi struktur tenaga kerja,” ujar seorang analis teknologi dari Forrester Research kepada Bloomberg. Ia menambahkan bahwa kebijakan Shopify bisa menjadi model baru bagi perusahaan teknologi lainnya, terutama dalam kondisi ekonomi yang menuntut efisiensi dan kecepatan adaptasi tinggi.
Dalam lanskap industri teknologi yang semakin kompetitif dan padat biaya, banyak perusahaan mulai mempertimbangkan langkah serupa. Penggunaan AI generatif seperti ChatGPT, Claude, atau Copilot kini bukan hanya alat bantu kreatif atau teknis, tapi mulai dilihat sebagai pilar utama operasional. Shopify telah membawa ide ini lebih jauh dengan menjadikannya kebijakan organisasi.
Selain aspek teknis, keputusan ini juga mencerminkan filosofi manajemen Tobi Lütke, yang sejak awal menolak struktur korporat tradisional. Ia mendorong struktur organisasi yang terdesentralisasi, eksperimental, dan sering kali menolak pendekatan birokratis. AI, dalam konteks ini, dianggap sebagai cara untuk mendobrak batas-batas efisiensi dan hierarki. Tim tidak lagi membutuhkan manajer atau administrator tambahan jika AI bisa mengoordinasikan tugas, menjadwalkan, bahkan menilai kinerja.
Namun pertanyaannya tetap: sejauh mana AI benar-benar dapat menggantikan peran manusia dalam lingkungan kerja yang kompleks dan penuh nuansa? Lütke tampaknya yakin bahwa batas tersebut terus bergeser, dan Shopify memilih untuk menjadi pionir dalam mendorong transisi ini. Beberapa pengamat bahkan menyebut pendekatan ini sebagai eksperimen sosial berskala besar di dunia korporasi.
Di luar dampaknya terhadap struktur tim internal, kebijakan ini juga memiliki konsekuensi bagi pasar tenaga kerja teknologi secara luas. Jika perusahaan besar seperti Shopify berhenti merekrut kecuali dalam kasus ekstrem, permintaan terhadap peran konvensional seperti analis data, copywriter, atau bahkan software engineer junior bisa menurun drastis. Hal ini bisa memicu pergeseran kurikulum pendidikan teknologi dan memaksa pekerja untuk mengejar keahlian baru yang lebih bersifat strategis dan taktis dibanding teknis dan eksekusional.
Untuk saat ini, Shopify tetap menjadi salah satu perusahaan teknologi yang paling agresif dalam adopsi AI. Dengan pendapatan tahunan lebih dari 7 miliar dolar dan jutaan pengguna toko daring di seluruh dunia, perusahaan ini memiliki skala dan pengaruh untuk menetapkan tren industri. Keputusan mereka untuk hanya merekrut manusia jika AI tak bisa melakukannya bukan hanya sebuah efisiensi bisnis, tetapi pernyataan filosofis tentang masa depan dunia kerja yang didominasi kecerdasan buatan.