(Business Lounge Journal – Human Resources)
Salah satu rintangan terbesar dalam menjadi seorang pemimpin adalah ketika kita mengambil tindakan berdasarkan apa yang menurut kita “shoulding” atau “seharusnya” kita lakukan. Namuin perasaan “seharusnya” ini muncul dari apa yang dilakukan teman kerja, tetangga, atau keluarga kita. Atau, dari apa yang mereka katakan, baik langsung maupun tidak, bahwa kita harus lakukan. Atau – yang paling berbahaya – dari apa yang kita kira mereka pikir harus kita lakukan.
Banyak dari konsep “shoulding” yang kita terima dipengaruhi oleh media massa. Rata-rata, jumlah iklan yang kita lihat setiap hari meningkat pesat, dari sekitar 500 iklan pada tahun 1970-an menjadi sekitar 10.000 di awal 2020-an. Iklan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberi tahu kita apa yang dianggap sebagai standar dalam masyarakat.
Misalnya, iklan tentang “keluarga ideal” dalam promosi kopi, saus pasta, atau mobil minivan sering kali tidak mencerminkan realitas kehidupan kita. Begitu pula dengan gambaran tentang “profesionalisme” dalam iklan laptop atau layanan internet. Kita secara tidak sadar terpengaruh untuk menyesuaikan diri dengan standar-standar yang tidak selalu sesuai dengan jati diri kita yang sebenarnya.
Margaret Atwood dalam The Blind Assassin mengatakan, “Should adalah kata yang sia-sia. Itu tentang sesuatu yang tidak terjadi. Itu milik alam semesta paralel.” Sampai kita bisa sepenuhnya menghindari “shoulding,” kita perlu belajar mengenalinya dan mengembangkan strategi untuk membebaskan diri darinya.
“Shoulding” sebagai Fenomena Sosial
Konsep “shoulding” sering kali berasal dari kelompok sosial. Baik itu norma komunitas, lingkungan kerja, tim olahraga, atau bahkan keanggotaan dalam organisasi tertentu. Sementara menjadi bagian dari suatu kelompok bisa membawa banyak manfaat, ada juga efek negatif seperti “groupthink,” di mana individu menerima keputusan yang kurang optimal hanya demi menjaga harmoni kelompok.
Banyak organisasi didesain untuk mempertahankan status quo, dan sering kali kita mendengar alasan seperti “karena kita selalu melakukannya seperti ini.” Tanpa disadari, kita terjebak dalam pola pikir yang membatasi kreativitas dan inovasi. Contohnya, dalam sebuah proyek transformasi bisnis, seorang konsultan bertanya kepada tim mengapa mereka melakukan sebuah langkah yang tampak tidak efisien. Jawabannya? “Karena dulu seseorang mengatakan kami harus melakukannya seperti ini.” Ironisnya, orang tersebut sudah tidak bekerja di sana selama lima tahun!
Jenis “seharusnya” seperti ini sangat umum ditemukan. Tidak mengherankan, seringkali “seharusnya” itu tidak membantu sama sekali! Kita perlu mengidentifikasi dan menghilangkan perasaan “seharusnya” ini. Bentuk “seharusnya” yang paling jelas adalah target kinerja, seperti target penjualan, target produksi, atau standar kualitas.
Vanessa Barboni Hallik, seorang pengusaha di bidang fashion mewah, merasakan tekanan dari “seharusnya” ini. Ia berkata, “Sulit karena kita masih mengukur hasil dengan cara yang sempit. Saya sadar bahwa kesejahteraan tim saya, upah yang layak bagi pemasok, dan kepuasan pelanggan terhadap produk kami sangat penting bagi keberlangsungan dan keuntungan bisnis kami. Tetapi, kebanyakan investor hanya ingin melihat penurunan biaya produksi dan peningkatan keuntungan.” Tentu saja, ukuran-ukuran keuangan itu penting. Namun, para pemimpin yang memiliki tujuan yang jelas memahami bahwa “seharusnya” yang selaras dengan dampak yang ingin mereka ciptakan lebih dari sekadar angka-angka keuangan yang hitam putih. Ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan, seperti kesejahteraan karyawan, dampak lingkungan, dan kepuasan pelanggan.
Cara Menghentikan “Shoulding”
Seperti halnya masalah lainnya, langkah pertama untuk mengatasinya adalah menyadari kapan kita mulai “shoulding” diri sendiri. Berikut adalah empat strategi untuk menghindari jebakan ini:
- Ganti Kata “Harus” dengan “Saya Ingin”Cobalah mengganti frasa “Saya harus melakukan ini” dengan “Saya ingin melakukan ini.” Jika sesuatu benar-benar tidak sesuai dengan keinginan atau nilai-nilai pribadi kita, perubahan kata ini akan terasa janggal. Namun, ada beberapa hal yang tetap perlu dilakukan meskipun kita tidak menyukainya, asalkan masih sejalan dengan tujuan hidup kita.
- Kelilingi Diri dengan Orang-orang yang Sejalan dengan Nilai AndaKita cenderung menyerap norma dari lingkungan kita. Oleh karena itu, pilihlah orang-orang yang mendukung nilai-nilai yang ingin Anda anut. Jika Anda ingin lebih aktif secara fisik, kreatif dalam kepemimpinan, atau lebih peduli terhadap lingkungan, carilah komunitas yang memiliki nilai-nilai serupa dan biarkan mereka memberikan dorongan positif bagi Anda.
- Ganti “Shoulds” dengan Target yang JelasBuatlah tujuan yang lebih spesifik daripada sekadar berpikir “Saya harus melakukan ini.” Misalnya, alih-alih berpikir “Saya harus minum banyak air putih,” tetapkan target konkret seperti “Saya akan minum delapan gelas sehari.” Begitu pula dalam pekerjaan, daripada berpikir “Saya harus lebih sering bertemu tim,” buatlah jadwal tetap untuk mendiskusikan kebutuhan mereka setiap minggu.
- Terima Kegagalan sebagai Bagian dari ProsesSalah satu alasan kita terjebak dalam “shoulding” adalah ketakutan akan kegagalan. Jika kita mengikuti apa yang “seharusnya” kita lakukan, kita merasa aman dari kesalahan. Namun, dunia terus berubah dengan cepat, dan banyak “shoulds” yang kita pelajari di masa lalu sudah tidak relevan lagi. Cobalah hal-hal baru dan jangan takut gagal, karena mengulangi kesalahan lama justru lebih berisiko.
Dengan mengenali dan menyesuaikan “shoulds” dalam hidup kita, kita bisa lebih selaras dengan tujuan dan nilai-nilai yang benar-benar penting. Ini bukan hanya strategi kepemimpinan yang lebih baik, tetapi juga cara untuk menjalani kehidupan yang lebih autentik dan bermakna.