(Business Lounge Journal – News and Insight)
Perhatian adalah seperti alat musik akordeon yang bisa melebar ke banyak hal dan menyentuh banyak aspek kehidupan kita. Ini terjadi karena memberi dan menerima perhatian adalah inti dari siapa kita dan bagaimana kita hidup. Perhatian bukan sekadar keterampilan kognitif yang menentukan keberhasilan kita di sekolah atau pekerjaan. Ini adalah gerbang bagi semua hal yang kita tekuni, energi yang menggerakkan setiap hubungan yang kita hargai, dan alasan utama mengapa kita mengingat sesuatu. Apa yang kita perhatikan pada akhirnya membentuk hari-hari, malam-malam, dan hidup kita.
Filsuf William James pernah berkata di akhir abad ke-19, “Pengalaman saya adalah apa yang saya setujui untuk perhatikan.” Namun, makna dari pernyataan itu kini berubah. Dalam bukunya The Sirens’ Call: How Attention Became the World’s Most Endangered Resource, pembawa acara MSNBC Chris Hayes berpendapat bahwa sekarang hampir mustahil untuk benar-benar “memilih” apa yang ingin kita perhatikan. Teknologi yang kita gunakan dan perusahaan yang memilikinya telah sangat mengurangi kendali kita atas perhatian kita sendiri.
Kebanyakan dari kita sudah menyadari hal ini. Kita hidup di era perhatian—atau lebih tepatnya, era gangguan. “Kita sedang menyaksikan runtuhnya sisa-sisa terakhir dari sistem perhatian yang fungsional,” tulis Hayes. Perhatian kita—sumber daya paling berharga yang kita miliki—tersebar ke segala arah. Tidak seperti Odiseus yang mengikat dirinya ke tiang kapal untuk menghindari godaan nyanyian sirene, kita justru masuk ke wilayah sirene tanpa perlindungan, terus-menerus melihat layar kecil di tangan kita sambil menatap layar yang lebih besar di depan kita.
Buku ini adalah peringatan dari Hayes, seperti alarm kebakaran yang berbunyi kencang untuk mengingatkan kita akan bahaya yang mengancam. Dia mengulas berbagai penelitian klasik tentang perhatian, seperti cocktail party effect—kemampuan kita untuk mengenali nama kita sendiri di tengah keramaian meskipun sedang sibuk berbicara. Dia juga membahas eksperimen “gorila tak terlihat” yang dilakukan pada tahun 1999, di mana orang diminta menghitung operan bola dalam sebuah video. Akibat fokus pada tugas itu, mereka gagal melihat seseorang dalam kostum gorila berjalan melintasi layar.
Ada juga penelitian dari Universitas Virginia tahun 2014 yang menunjukkan sesuatu yang mencengangkan: ketika diberikan pilihan untuk duduk sendirian dalam ruangan dengan hanya pikiran mereka sendiri atau menerima kejutan listrik ringan, banyak orang lebih memilih menerima kejutan listrik. “Kita tidak bisa memahami era perhatian ini tanpa menyadari bagian dari diri kita yang justru mencari gangguan, yang takut menghadapi pikiran kita sendiri tanpa distraksi,” tulis Hayes.
Namun, perhatian bukan hanya tentang kemampuan kita untuk fokus, tetapi juga tentang kebutuhan manusia untuk mendapat perhatian. Karakter Willy Loman dalam drama klasik Arthur Miller, Death of a Salesman, merasa hancur karena kegagalannya di dunia yang mengabaikannya. Istrinya sampai memohon kepada anak-anak mereka, “Perhatian harus diberikan.” Ini adalah kebutuhan dasar manusia: bayi bisa mati tanpa perhatian. Yang kita inginkan sebenarnya lebih dalam daripada sekadar perhatian; yang kita cari adalah pengakuan, kepedulian, dan semacam cinta. Tapi di era ini, kita sering hanya mendapatkan perhatian dalam bentuk paling dangkal—sekilas pandangan dari orang asing sebelum mereka menggulir layar ke bawah, atau sekadar tanda “suka” di media sosial. “Era perhatian telah membuat kita semua menjadi Willy Loman,” tulis Hayes.
Jadi, bagaimana kita bisa sampai di titik ini?
Nicholas Carr, dalam bukunya Superbloom: How Technologies of Connection Tear Us Apart, mencoba menjawabnya. Carr adalah salah satu tokoh utama dalam kritik terhadap teknologi. Dalam bukunya yang terdahulu, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2010), ia memperingatkan bahwa era digital menghambat kemampuan kita untuk fokus dan berpikir mendalam. Saat itu, banyak orang masih percaya bahwa semakin banyak informasi dan komunikasi, semakin baik. Kini, Carr kembali untuk menghancurkan keyakinan tersebut dengan tulisannya yang tajam.
Carr mengutip kata-kata Mark Zuckerberg sebelum IPO Facebook tahun 2012: “Semakin banyak orang berbagi, semakin terbuka budaya kita, dan semakin baik kita memahami kehidupan serta sudut pandang orang lain.” Carr merasa aneh bahwa kita dulu begitu percaya pada pemikiran seperti itu, mengingat betapa kurangnya kepekaan sosial yang dimiliki Zuckerberg.
Carr juga menyoroti bagaimana Facebook awalnya hanya untuk mahasiswa, tetapi kemudian dibuka untuk semua orang pada 2006. Mahasiswa saat itu kaget karena foto-foto mereka yang sebelumnya hanya bisa dilihat teman-teman dekat, tiba-tiba bisa diakses siapa saja, termasuk orang tua dan calon atasan. Ketika mendapat kritik, Zuckerberg berkata, “Kamu hanya punya satu identitas. Memiliki dua identitas adalah tanda kurangnya integritas.” Carr mengingatkan ironi dari pernyataan itu, terutama setelah Zuckerberg kemudian menyesuaikan dirinya dengan tren politik tertentu.
Namun, ini bukan hanya soal Facebook atau Zuckerberg. Sejak lama, manusia terdorong untuk menyebarkan lebih banyak informasi, lebih banyak pesan, lebih banyak suara, dan lebih banyak kecepatan. Carr mengutip sejarah untuk menunjukkan dampaknya. Saat Archduke Franz Ferdinand dibunuh pada 28 Juni 1914, komunikasi cepat melalui telegram dan telepon menggantikan diplomasi yang lebih lambat dan hati-hati. Akibatnya, dalam hitungan minggu, Perang Dunia I dimulai. Begitu pula dengan tragedi Titanic pada tahun 1912—banyak siaran radio amatir saat itu yang justru mengganggu upaya penyelamatan.
Pionir era komputer, seperti Claude Shannon, awalnya membayangkan bahwa internet akan membawa komunikasi yang lebih demokratis. Namun, tanpa regulasi yang jelas seperti media tradisional, yang terjadi justru banjir informasi. Di era ini, kita hanya bisa fokus pada sebagian kecil dari semua informasi yang tersedia.
Salah satu temuan menarik dari era ini adalah bahwa semakin banyak kita tahu tentang seseorang, semakin kecil kemungkinan kita menyukainya. Bertentangan dengan janji media sosial yang akan mendekatkan kita, Carr menyimpulkan bahwa justru sebaliknya yang terjadi. Penelitian menunjukkan bahwa “jiwa manusia sebenarnya tidak cocok dengan lingkungan media baru ini.”
Baik Hayes maupun Carr memperingatkan kita tentang risiko dari dunia yang penuh gangguan, kebingungan, keterasingan, dan isolasi. Mereka menawarkan solusi sederhana: Hayes menyarankan agar kita menjaga perhatian seperti kita menjaga pola makan, dengan memilih konsumsi informasi yang lebih sehat. Carr mendorong kita untuk menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai kita sendiri, tanpa terlalu bergantung pada dunia digital.
Namun, ada satu pertanyaan besar yang tersisa: di tengah lautan distraksi ini, apakah kita masih bisa benar-benar memperhatikan peringatan mereka?