(Business Lounge Journal – Tech) Kehadiran ChatGPT sejak diluncurkan pada 30 November 2022 lalu, terus menuai pemberitaan. Sebuah chatbot kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh OpenAI berdasarkan seri Generative Pre-trained Transformer (GPT) perusahaan model bahasa besar (LLMs), memang sempat menjadi viral. Bagaimana tidak, ChatGPT dapat membuat mereka yang tidak bisa berpuisi menjadi seorang penyair dalam waktu sekejap. Atau para mahasiswa yang tidak pandai menulis, dapat menyelesaikan tesisnya dengan lebih cepat. Wow! ChatGPT memang dengan mudah “diperintah” untuk mengerjakan banyak hal. Namun, tetap saja, ChatGPT masih dapat memberikan informasi yang tidak akurat sebab dikerjakan oleh mesin.
Untuk terus memperkenalkan hasil pengembangannya ini, Sam Altman sebagai Co-Founder dan CEO OpenAI pun melakukan rangkaian kunjungan. Salah satunya mengunjungi Indonesia untuk acara Conversation with Sam Altman seputar kecerdasan artifisial di Jakarta. Acara yang diselenggarakan oleh KORIKA bersama dengan GDP Venture ini berlangsung pada 14 Juni 2023 di Grand Ballroom, Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta.
Salah satu kekuatiran yang muncul dengan adanya ChatGPT ini juga adalah kehadirannya yang dapat mendisrupsi tatanan kehidupan yang sudah mapan. Salah satunya seperti yang juga dikemukakan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek Dikti) Nadiem Makarim yang menghadiri Conversation with Sam Altman, bagaimana ChatGPT dikhawatirkan dapat mengganggu dunia pendidikan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Seperti yang sudah dituliskan di atas, dengan teknologi ini para siswa dapat meminta ChatGPT untuk mengerjakan hampir segala tugas sekolah, terutama yang berbasis teks.
Sam Altman pun memberikan tanggapannya. Bagi Altman memang tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi yang baru selalu membawa perubahan termasuk pada dunia pendidikan. Altman berujar bagaimana edukasi terus berubah secara dramatis mengikuti perkembangan teknologi. Hal ini telah beberapa kali terjadi dalam sejarah dunia pendidikan.
Altman pun mengajak untuk semua yang hadir untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi sebab kemajuan teknologi hampir tak mungkin dibendung. “Justru kita harus merangkul teknologi tersebut untuk meningkatkan kemampuan, kreativitas, dan potensi dari manusia yang lebih baik” tutur Altman.
Kekhawatiran Hadirnya ChatGPT di Dunia Pendidikan
Sebenarnya bukan tanpa alasan, Menteri Nadiem mengungkapkan kekhawatirannya, mari kita lihat beberapa point berikut ini.
1. Menciptakan para plagiator sejak Dini
Saya akui, bahwa menulis bukanlah sesuatu yang mudah, terutama dalam menemukan ide dalam menulis. Tetapi dengan adanya Chat GPT, semua orang menjadi dengan mudah dapat menulis. Akibatnya, risiko plagiarisme pun semakin tinggi sebab penggunanya dapat menggunakan konten yang dihasilkan AI dalam kerja akademik. Karena itu pada akademisi, penting untuk dapat memastikan para mahasiswanya mengirimkan hasil yang asli. Apalagi adalah tidak etis ketika seseorang menggunakan hasil karya orang lain dan mengakuinya sebagai hasil karya pemikirannya.
2. Menghambat perkembangan berpikir kritis
Mereka yang semakin mengandalkan ChatGPT maka akan semakin kurang dalam menggunakan kemampuannya untuk berpikir. Hal ini memang akan sangat mengkuatirkan di dunia pendidikan. Sebab siapa yang dapat menjamin para siswa tidak tertarik menggunakan kemampuan teknologi canggih ini dalam keseharian mereka?
3. Adanya potensi menggunakan informasi yang salah
Seperti telah dibahas di atas, bagaimana ChatGPT dapat saja memberikan informasi yang salah, maka para siswa pun dapat menghasilkan karya tulis yang tidak akurat. Karena itu para pengajar harus mencermati hal ini. Para siswa juga harus dapat melakukan verifikasi atas setiap konten yang dihasilkan oleh AI yang digunakannya.
4. Privasi dan keamanan data
Penggunaan Chat GPT OpenAI akan dapat memaparkan pengguna ke risiko privasi dan keamanan data. Karena itu para siswa haruslah berhati-hati ketika akan berbagi informasi pribadi atau informasi yang sensitif dengan chatbot AI.