bisnis kuliner

Dampak Pandemi pada Bisnis Kuliner secara Global, Nasional, dan Masa Depannya di Tahun Mendatang

(Business Lounge Journal – Entrepreneurship)

Memang benar jika dikatakan bahwa bisnis kuliner merupakan bisnis yang “gak ada matinya”. Sebab kebutuhan makanan sudah tentu tidak mengenal musim. Hal ini terbukti bahwa pada masa pandemi sekalipun, masih banyak bisnis kuliner yang tetap dapat bertahan. Walaupun ada juga yang terpaksa gulung tikar terutama mereka yang tidak dapat melakukan penyesuaian dalam hal teknologi pesan antar.

Sehingga dapat dikatakan bahwa mereka yang bertahan adalah mereka yang dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar.

Sebagaimana kita ketahui, pada awal pandemi, ketika diberlakukan PPKM di berbagai daerah, maka ada begitu banyak restoran yang terpaksa harus tutup sementara. Namun juga sangat disayangkan karena beberapa usaha kuliner tersebut ternyata harus berlanjut hingga tutup permanen.

Sebuah pukulan telak terjadi pada bisnis kuliner selama pandemi berlangsung. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di seluruh dunia.

Fenomena Dampak Pandemi secara Global

Ketika pandemi berlangsung, hampir di seluruh bagian bumi ini, semua orang dipaksa untuk kembali ke rumah. Dibuatlah berbagai sistem yang dapat memungkinkan para pekerja untuk bekerja dari rumah.

Lalu bagaimana dengan bisnis kuliner?

Semua tempat keramaian tidak diijinkan untuk beroperasi pada awal pandemi. Akibatnya, banyak usaha kuliner yang terpaksa harus merumahkan karyawan-karyawannya.

Bagi negara-negara maju, maka dikucurkanlah dana bantuan pemerintah untuk mereka yang terdampak pandemi. Hal ini jelas memberikan kenikmatan tersendiri bagi para pekerja tersebut.

Sekarang 2,5 tahun pandemi telah berlangsung, kucuran dana bantuan yang cukup besar terutama di negara-negara barat seperti yang dipaparkan oleh Praba Madhavan pemilik Yeu Saigon Group, sebuah perusahaan bisnis kuliner ala Vietnam yang sedang berkembang pesat di Indonesia, memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi pemilik bisnis kuliner.

Asiknya menerima bantuan dana dari pemerintah membuat para pekerja enggan untuk kembali ke tempat kerja mereka. Kecuali mereka mendapatkan bayaran yang lebih tinggi.

Praba menyampaikan bahwa fenomena yang saat ini sedang dialami oleh bisnis kuliner di dunia khususnya negara-negara Barat, bagaimana terjadinya kekurangan staf yang kronis oleh karena para karyawan yang memilih untuk tetap tinggal di rumah dan tidak kembali pada pekerjaan mereka.

Hal ini jelas membawa tantangan yang besar bagi dunia usaha, khususnya usaha kuliner karena kurangnya pekerja.

Diterapkannya berbagai pembatasan di berbagai negara pada awal Covid membuat banyak masyarakat “rindu” suasana normal seperti sedia kala. Itulah sebabnya ketika mulai diterapkan kelonggaran maka sebuah luapan “kehausan berkumpul” seakan tidak terbendung lagi. Pusat-pusat keramaian kembali dipenuhi kumpulan-kumpulan orang yang makan bersama. Tempat-tempat perbelanjaan, tempat makan, dan pusat-pusat kota, kembali ramai.

Praba menuturkan bagaimana saat ini belanja kuliner terlihat “meledak”. Semua orang seperti kehausan untuk berkumpul. Dampaknya pada bisnis kuliner sudah tentu terjadi kenaikan biaya operasional. Khususnya menyangkut gaji karyawan. Sebab fenomena terjadinya kesulitan tenaga kerja saat ini. Sehingga pemilik bisnis kuliner harus membayar gaji yang cukup besar untuk dapat memperoleh tenaga kerja.

Kekurangan tenaga kerja pun membuat bisnis kuliner yang semula memiliki restoran secara fisik, mulai beralih menjadi bisnis delivery. Selain itu sebagai jalan keluar, para pemilik bisnis pun terus berinovasi dengan mempergunakan teknologi. Muncullah berbagai ide baru seperti layanan pesan antar dengan menggunakan berbagai platform bahkan pemakaian robot untuk membantu pemesanan.

Tidak semua negara mengalaminya, namun negara-negara Barat yang memiliki kendala dengan peningkatan permintaan gaji karyawan dengan terpaksa harus dapat survive dengan berbagai inovasi untuk menekan biaya operasionalnya.

Bisnis Kuliner Indonesia di Masa Pandemi

Bila kita mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang baru dirilis pada Juni 2022, maka terdapat sebanyak 11.223 usaha kuliner yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun 2020. Sejumlah 71,65% atau 8.042 usaha di antaranya adalah berupa restoran atau rumah makan. Lalu sebanyak 269 usaha (2,40%) berupa katering, dan sisanya sejumlah 2.912 usaha (25,95%) masuk dalam kategori lainnya. Sedangkan 62% dari tenaga kerja pada sektor kuliner adalah laki-laki.

sumber: bps.go.id

Lagi menurut data BPS, 53,85% usaha kuliner berlokasi di mall/pertokoan/perkantoran. Sedangkan 11,76% lainnya berlokasi di kawasan industri. Usaha kuliner yang berada di lokasi kawasan wisata (obyek wisata) hanya sebanyak 2,33%, di pusat kuliner sebanyak 8,11% dan lokasi lainnya seperti di kawasan industri, hotel, dan lokasi lainnya (kawasan perumahan, permukiman) sebanyak 35,71 persen.

sumber: bps.go.id

Menurut data BPS, 85,55% dari bisnis kuliner di antaranya melakukan penjualan secara online pada tahun 2020. Hal ini tentu saja seiring dengan merebaknya pandemi ketika kita memasuki tahun 2020. Ketika PPKM diterapkan semua tempat makan harus terpaksa tutup sehingga mereka pun beramai-ramai pindah ke online.

sumber: bps.go.id

Sarana yang banyak digunakan dalam penjualan secara online adalah melalui layanan pemesanan yang dilakukan pihak ketiga yaitu sebesar 61,69%, dan media sosial sebesar 49,69%, sedangkan melalui website hanya 17,62%. Cara pembayaran yang digunakan usaha penyedia makan minum dalam penjualan secara online sebagian besar dengan membayar tunai (COD) yaitu sebesar 71,34%. Cara pembayaran lain yang cukup banyak digunakan yaitu dengan kartu debit atau transfer bank online sebesar 45,94%, menggunakan uang elektronik sebesar 43,14% dan pembayaran dengan kartu kredit atau kredit online sebesar 38,05%. Selain itu ada juga pembayaran yang menggunakan voucher, poin dari program berhadiah dan lainnya

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, maka promosi yang dilakukan pun mayoritas dengan menggunakan cara online.

sumber: bps.go.id

Peluang dan tantangan industri kuliner di Indonesia

Berbicara tentang peluang, maka berbicara tentang siapa saja sih yang berpotensi menjadi pelanggan bagi para pemilik bisnis kuliner?

Jika kita perhatikan, maka mereka yang mulai menggunakan uang mereka untuk membeli makanan atau mereka yang mulai menjadi pelanggan pada industri makanan, adalah mereka yang memiliki extra income. Apalagi merebaknya penjualan kuliner secara online.

Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan besarnya upah minimun, kenaikan gaji, bisnis pribadi yang berkembang, dan berbagai faktor materiil lainnya. Semakin besar penghasilan seseorang maka semakin naik preferensi mereka dalam memesan makanan, dan semakin tinggi ekspektasi yang diharapkan. Dengan kata lain akan semakin banyak pilihan makanan yang diinginkan.

Maka, untuk tetap menjadi yang terbaik, untuk tetap dapat mempertahankan pelanggan sudah tentu akan menjadi tantangan tersendiri. Hal ini jugalah yang dirasakan baik oleh Abraham Viktor, co-founder dan CEO Hangry.

Bagi Abraham Viktor peluang yang terbuka bagi bisnis kuliner di Indonesia sangat besar. Sebab ada banyak kota-kota besar lainnya yang sangat berpotensi untuk dijajaki.

Abraham berujar, “Kalau kita di Jakarta mungkin kita tidak melihat terlalu banyak perubahan yang terjadi. Tetapi di kota-kota besar kedua lainnya seperti Semarang, maka dalam 3 tahun terakhir telah terjadi perubahan total.” Ia pun menambahkan bahwa kenaikan yang terjadi luar biasa pada kota-kota second tier, dan orang-orang yang tadinya tidak bisa membeli makanan secara online, yang tadinya membeli makan di warung, mulai beralih membeli makanan secara online.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh David Soong, salah satu founder Boga Group yang biasa disapa dengan nama Awie ini. Bahwa peluang bisni kuliner tidak hanya ada di Jakarta. “Ada banyak kota yang akan memberikan peluang besar pada bisnis kuliner. Sebut saja, Padang, Aceh, Kediri, Maluku, dan banyak kota lainnya. Begitu besar pasar yang dapat dijangkau di luar Jakarta,” ujar Awie.

Sangat besar peluang yang terbuka pada bisnis kuliner. Apalagi negara kita sangat luas terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia.

Praba juga mengungkapan bahwa berbeda dengan fenomena yang terjadi di luar negeri, “Usaha kuliner domestik cukup bagus sebab kita tidak mengalami masalah tenaga kerja. Perbelanjaan untuk kuliner cukup tinggi dan mengairahkan pengusaha kuliner. Ekspansi group-group kuliner ternama kembali aktif.”

Dalam pendapatnya, Fajar Ari Dewanto sebagai Coordinating Partner of Business Advisory Vibiz Consulting mengatakan bahwa bisnis kuliner termasuk bantalan atau tahanan perekonomian Indonesia, karena size yang bisa dikatakan dari small ke medium. Mengingat pelanggan pada sektor ini yang berasal dari dalam negeri, maka akan bisnis kuliner akan tetap mampu bertahan di saat ekonomi global mengalami goncangan. Ke depannya dalam kerangka kebutuhan pangan, maka bisnis ini akan semakin membesar seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Hal yang perlu diperhatikan bagi para pebisnis kuliner adalah perlu adanya peningkatkan kualitas dan diversikasi menu yang ditawarkan

Berbagai Tantangan pada Bisnis Kuliner

Praba juga menambahkan bahwa pada umumnya sektor kuliner adalah sektor ‘recession defensive’, yaitu bagaimana usaha kuliner menjadi sektor yang tidak terlalu terganggu dalam resesi, apalagi jika konsepnya bergerak di segmen menengah.

Namun peluang yang besar sudah tentu akan menimbulkan naiknya persaingan secara significant. Maka berbagai tantangan pun harus dapat diatasi.

Dalam perbincangan dengan Awie, disampaikannya bahwa permasalahan yang ada saat ini adalah apakah para pemilik bisnis dapat menghadirkan bisnis-bisnis yang relevan untuk para calon pelanggannya di setiap kota. Salah satunya adalah apakah brand yang dihadirkan dapat sesuai dengan budaya setempat dan yang tidak akan menimbulkan banyak pertanyaan.

Apalagi mengingat beberapa provinsi telah memiliki ciri khas kuliner tertentu. Bahkan wisatawan dapat berkunjung ke sebuah kota semata-mata karena ingin menikmati kulinernya. Misal, DI Yogyakarta dengan gudeg, Sumatra Selatan dengan pempek Palembang, Bali dengan ayam betutu, atau sop konro dan coto Makassar dari Sulawesi Selatan, serta masih banyak lagi.

“Apa yang menjadi tantangan bagi pemilik bisnis adalah bagaimana untuk stay relevant sehingga tetap menjadi pilihan utama untuk para customer,terang Awie. “Tantangan buat kita adalah bagaimana menciptakan brand-brand, makanan-makanan yang highly relevant for the market,”lanjut Awie.

Sedangakan Abraham juga mengungkapkan bahwa tantangan pada bisnis kuliner adalah bagaimana kita dapat menjadi pemain yang menang, tidak hanya pada saat ini melainkan hingga 10 tahun mendatang. Inilah yang menjadi tantangannya.

Outlook 2023

Lalu bagaimana bisnis kuliner ketika kita ada di penghujung pandemi ini?

Saat ini berbagai aktivitas bisnis telah kembali berjalan seperti semula. Jika kita perhatikan bagaimana banyak mall yang sudah kembali beroperasi dengan normal. Bahkan pada akhir minggu banyak mall sudah mulai ramai.

Hal ini juga diprediksikan akan tetap berlangsung pada tahun 2023 bahkan perkembangan bisnis kuliner akan semakin meningkat mengingat teknologi yang terus dikembangkan untuk menunjang bisnis sektor ini.

Adalah sebuah kenyataan yang penting bahwa pelanggan telah menikmati kemudahan dalam memesan makanan secara online selama 2,5 tahun terakhir ini. Dengan memanfaatkan berbagai delivery platform yang ada, kita tinggal menekan beberapa tomobol, memasukkan pesanan kita, dan tidak berapa lama pun makanan datang ke lokasi kita. Sangat mudah, sangat nyaman, semua pelanggan pun terasa dimanjakan. Bahkan urusan membelikan tip saja, semua dapat dilakukan secara online. Lalu apakah setelah kita menikmati kenyamanan ini kita rela untuk meninggalkannya? Saya yakin tidak.

Malahan, para pebisnis kuliner akan berlomba-lomba untuk menciptakan kenyamanan yang semakin nyaman … semakin nyaman … dan semakin nyaman.

Karena itu saya berpendapat bahwa sistem pesan antar yang saat ini telah berlangsung akan terus berlangsung. Bahkan kemudahan yang telah dirasakan ini juga saya yakini akan membangkitkan berbagai bisnis model lainnya untuk merebut hati para pelanggan. Semakin pelanggan mendapatkan kemudahan, maka semakin besar kemungkinan para pebisnis kuliner mendapatkan pasar.

Tetapi tidak hanya terbatas pada dunia bisnis kuliner online. Praba yang mengembangkan bisnis kulinernya secara offline juga memandang positif perkembangan usaha kuliner di tahun 2023. Kepada Business Lounge Journal ia mengungkapkan, “Saya perkirakan perkembangan usaha kuliner masih positif di tahun 2023. Group kami sendiri merencanakan pembukaan 15 outlet baru dengan pertumbuhan sales yang di perkirakan di angka 70%.”

Apa saja yang harus diperhatikan pada tahun 2023?

Hal pertama yang diungkapkan Awie untuk dapat mempertahankan bisnis kuliner pada masa pandemi ini adalah bagaimana faktor kesehatan haruslah tetap menjadi salah satu faktor terpenting yang diperhatikan.

Awie menyampaikan bahwa selama pandemi – yang kita harapkan segera menuju endemi ini, maka bisnis kuliner menjadi sangat berbeda. Sebab harus dipastikan bahwa bukan saja sisi kesehatan dalam arti kebersihan makanan yang diperhatikan, tetapi juga protokol kesehatan yang diterapkan baik dalam layanan di restoran maupun dalam layanan pesan antar. Ini semua harus tetap dijaga untuk kenyamanan semua customer.

Karena itu standard kesehatan yang telah pernah diadaptasi selama masa pandemi, haruslah dipertahankan.

Keberlangsungan bisnis layanan pesan antar di tahun 2023?

Layanan pesan antar memang berkembang dengan sangat pesat selama masa pandemi. Berbagai platform dapat digunakan untuk menghadirkan berbagai jenis kuliner di rumah, kantor, ataupun tempat lainnya.

Seperti yang telah kita bahas di atas, telah begitu banyak pelanggan yang sudah merasa sangat nyaman dengan kemudahan yang telah dinikmati selama pandemi. Sehingga dapat dipastikan bahwa bisnis layanan pesan antar akan tetap berlanjut. Karena convenience is addicted.

Siapa saja hanya tinggal memencet beberapa tombol lalu setengah jam kemudian makanan akan datang. Ini sangat convenience. Sehingga dapat dipastikan bahwa layanan pesan antar seperti ini akan tetap berlangsung bahkan 5 hingga 10 tahun ke depan.

Pandemi telah mengubah gaya hidup kita. Convenience would change the way we live.

Tidak hanya gaya hidup para pekerja, ibu rumah tangga, atau para mahasiswa, para pelajar di sekolah pun telah menikmati kenyamanan ketika mereka dapat memesan buble tea di sela-sela waktu istirahat mereka.

Prediksi Harga

Harga adalah sesuatu yang harus dijaga untuk mendapatkan kepercayaan pelanggan. Sehingga mengubah harga bukanlah sesuatu yang serta merta terjadi ketika terjadi perubahan harga. Demikian juga seperti yang dialami Awie.

Ketika harga bahan baku mengalami turun naik, maka tidak serta merta harga kuliner pun menjadi naik. Harga bahan baku makanan dapat naik dan turun secara fleksibel, begitu juga dengan harga minyak, harga tepung, harga cabai, atau harga bawang. Harga kuliner tentu tidak sama dengan harga saham yang sangat fluktuatif.

Penting untuk menjaga harga jual sebab ini sama dengan menjaga janji kepada pelanggan.

Karena itu selalu ada sisi ketika pemilik bisnis harus menanggung risiko bisnis tersebut. Hingga pada suatu kesempatan ketika dirasa telah terjadi sebuah perubahan yang permanen, maka barulah penyesuain harga dapat dilakukan.

Pasang surut bisnis kuliner, namun tren yang ada bagaimana bisnis ini akan terus berlanjut selama ada kreativitas dan fokus pada pelanggan.