(Business Lounge Journal – Interview Session)
Yori Antar lahir dari seorang ayah yang adalah seorang arsitek senior Indonesia, almarhum Han Awal Dipl. Ing. Hal ini tentu saja sedikit banyak membuat Yori kecil ‘akrab’ dengan dunia arsitektur sejak dini.
“Dari kecil saya sudah sering melihat karya-karya beliau, terutama rumah tinggal. Karena saya lahir di rumah tinggal yang ayah saya buat,” ujar Yori. Namun demikian, sang ayah tidak pernah memintanya untuk menjadi arsitek. Tetapi bila sang ayah bepergian ke luar negeri, maka Yori akan mendapatkan oleh-oleh berupa lego.
Ingin menjadi Designer Pesawat
Bukan tanpa alasan nama Yori Antar diberikan. “Ayah saya tuh memberikan nama saya karena terinspirasi pada seorang kosmonot Rusia yang mengantariksa. Yori berasal dari nama baptis. Sedangkan Antar berasal dari kata antariksa,” terang Yori.
Hal ini juga mungkin yang memberikan jiwa dirgantara pada Yori sejak kecil yang selalu gemar menggambar pesawat. Apalagi pada peringatan hari ABRI, Yori dengan semangat akan memperhatikan berbagai performance dari pesawat tempur milik TNI AU, juga kendaraan tempur lapis baja, dan yang sejenisnya.
“Jadi sebetulnya, sejak awal saya tidak pernah terpikir jadi arsitek. Saya malah mau menjadi designer pesawat terbang, makanya saya masuk jurusan mesin UI tahun 81,” ungkap Yori. “Tetapi di situ ternyata saya baru menemukan … oh, jiwa saya nggak ada di situ. Saya nggak paham soal mesin. Mobil saya mogok aja saya gak bisa benerin,” lanjutnya.
Yori merasa ia tidak memiliki penjiwaan ketika harus menggambar sekrup dan baut di Teknik Mesin. Padahal dia sangat senang menggambar.
Kuliahnya pun semakin berantakan. Nilai yang diperolehnya jelek. Bahkan ketika diberikan kesempatan mengulang ujian pun, nilainya semakin jelek. Merasa bahwa dia terancam drop out, ia pun memutuskan pindah ke jurusan arsitektur.
Mantap di dunia arsitektur
Hal pertama yang dirasakan Yori ketika berpindah ke jurusan teknik arsitek adalah rasa feel at home. “Mendadak saya santai. Loh kok kayaknya semuanya begitu mudah,” jelas Yori.
Walaupun kehadiran sang ayah sebagai salah satu dosen di jurusan itu ternyata memberikan pressure tersendiri bagi dia. “Kalau dapat nilai bagus dikira yang menguji takut sama ayah saya. Kalau dapat nilai jelek, kok anak dosen bodo amat. Jadi serba salah. Tetapi paling tidak, ternyata saya feel at home pada saat masuk jurusan arsitektur. Saya familiar dengan apapun yang dipelajari,” papar Yori.
Kesenangan Berdebat
Memiliki keahlian yang sama dengan sang ayah, membuat Yori dan Han Awal sering berbincang seputar dunia arsitektur. Mulai dari ngobrol, bertukar pikiran, hingga berujung pada perdebatan sering kali terjadi di meja makan.
“Tapi sebetulnya perdebatan itu adalah sebuah discourse atau disebut diskursus. Melihat arsitektur dari sudut pandang yang berbeda. Ayah saya tentunya didikan Jerman di latarbelakangi dengan pendidikan Bauhaus yang fungsional yang sangat kuat. Sedangkan saya adalah lulusan UI. Dosennya beraneka ragam,” papar Yori.
Ia selalu ingin mencari jati diri lewat setiap perbincangan hingga perdebatan yang dilakukannya.
Lulus sebagai seorang arsitek, kesukaannya untuk berdebat terus berlanjut. Namun bukan lagi sang ayah yang menjadi lawan debatnya, melainkan teman-teman sebayanya yang juga baru lulus dari berbagai perguruan tinggi yang berbeda.
Baginya, perdebatan berargumen sudah menjadi kesehariannya dan pada kenyatannya itu telah menjadi modal yang besar baginya di kemudian hari. Ia pun terbiasa untuk berkomunikasi dengan klien, baik swasta maupun pemerintah, atau masyarakat. Perdebatan yang biasa dilakukannya ternyata menjadi sebuah latihan yang berguna di kemudian hari.
Arsitek Muda Indonesia
Dimulai dengan diskusi dan perdebatan sesame arsitektur muda, Yori dan teman-temannya yang baru lulus akhirnya membentuk Arsitek Muda Indonesia (AMI). Mereka pun terus berdiskusi dan berdebat dalam bentuk karya.
Hal ini membawa mereka untuk bersama-sama membuat sebuah pameran hingga akhirnya aspek budaya Indonesia dianggap membawa gerakan baru di dalam dunia arsitektur pada saat. Sebab mereka ingin menonjolkan diri mereka bahwa mereka adalah arsitek yang tidak akan bersembunyi di balik nama besar biro arsitek.
Masing-masing mereka merancang bangunan mereka dengan memakai nama mereka sendiri.
Mereka pun bersedia untuk menerima pujian, kritikan, hingga bully-an. “Dikritik, dipuji, dan sebagainya, itu adalah hal yang biasa dan itu membuat kita maju. Kalau arsitek ingin maju harus mendengarkan banyak masukan, banyak kritikan,” ujar Yori.
Mereka pun membuat forum, membuat buku, membuat pameran. Bahkan, Yori dan teman-temannya membuat kegiatan pameran di Belanda pada saat krisis moneter dan itu tercatat sebagai pameran arsitektur Indonesia pertama di luar negeri.
Ilmu Arsitektur dan Masyarakat
Yori Antar sangat ingin ilmu arsitektur menjadi sesuatu yang dapat menjadi konsumsi masyarakat.
“Umumnya diskusi ini terjadi hanya antara arsitek dengan arsitek. Akibatnya arsitektur kita mengalami perkembangan ilmu ke kanan sedangkan masyarakat, perkembangan ilmunya ke kiri. Nggak nyambung. Padahal kalau keduanya diketemukan, itu akan terjadi sinergi luar biasa,” papar Yori.
Yori bersama dengan teman-temannya pun mendobrak arsitektur hingga ‘semua’ media mau menulis tentang arsitektur.
“Tadinya arsitektur dianggap lifestyle, dianggap gaya hidup. Tetapi ternyata media menemukan bahwa arsitektur itu adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa dibohongi. Apapun design-nya terungkap dengan jelas. Di belakang itu ada siapa, ada pemberi tugas,” terang Yori.
Melalui arsitektur maka sebuah kota dapat menjadi indah dan bersinergi dengan ruang terbuka, dengan masyarakat, dengan kebijakan yang ada. Yori ingin memperjelas bahwa melalui sebuah arsitektur, banyak orang akan dapat membaca kebijakan yang ada dan siapa yang berada di belakangnya.
“Intinya arsitektur adalah sesuatu yang sangat kasat mata,” ujar Yori.