(Business Lounge Journal – Culture) Memiliki kartu kredit, gadget, laptop, kendaraan bermotor, serta tempat tinggal, seolah-olah telah menjadi sebuah keharusan bagi para eksekutif muda, demikian hal yang melekat erat di benak saya hingga hari ini.
Saya pernah melakukan pengamatan saat saya bekerja pada bagian SDM sebuah bank asing, kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Kala itu saya bertanggung jawab untuk semua surat referensi kepegawaian yang keluar dari SDM. Saya mengamati, bahwa hampir semua pegawai baru yang melewati 3 bulan masa percobaannya kemudian akan meminta surat rekomendasi untuk melakukan pengajuan untuk memiliki kartu kredit. Dapat saya katakan, hampir semua, sebab saya mengamati jumlah surat yang kami keluarkan saat itu tidak berbeda jauh dengan angka rekrutmen yang kami lakukan. Bahkan satu orang dapat meminta lebih dari satu surat pengajuan.
Hal lain yang juga menarik untuk saya amati adalah ketika ‘anak-anak fresh graduate’ yang baru saja direkrut dan kemudian telah berhak untuk mengajukan pinjaman uang tunai, maka tidak perlu menunggu berbulan-bulan, mereka akan mengajukan pinjaman untuk berbagai alasan mulai dari pembelian gadget, laptop, hingga kendaraan beroda dua.
Begitu juga setelah mereka berhak untuk mengajukan pinjaman kepemilikan kendaraan roda empat dan tempat tinggal hampir semua tidak melewatkan kesempatan itu. Apalagi ketika kepemilikan unit apartment diperbolehkan, pengajuan demi pengajuan pun segera berdatangan. Dapat saya pastikan, hampir semua karyawan yang sudah bekerja lebih dari satu tahun memiliki komponen cicilan pinjaman sebagai faktor pengurang pada gaji mereka setiap bulannya.
Ada sebuah fenomena yang tidak dapat dipungkiri yang seolah-olah memang demikianlah perilaku para eksekutif muda sekarang ini.


Buy now, pay later!
Saya membaca sebuah hasil survei yang dilakukan pada hampir 1000 orang millennial Indonesia mengenai perilaku membeli sekarang dan kemudian melunasinya kemudian dalam bentuk cicilan. Lebih dari separuh responden pernah melakukan transaksi seperti itu baik dengan menggunakan kartu kredit yang kemudian diubah menjadi cicilan atau pun memanfaatkan jasa leasing.
Rata-rata alasan mereka memilih untuk membayar dengan metode cicilan bukanlah karena tidak memiliki uang tunai, melainkan untuk mengatur cashflow mereka. Alasan ini menjadi sebuah alasan lain yang saya temukan selain dari memanfaatkan benefit atau fasilitas yang mereka miliki seperti yang saya ceritakan di atas.
Perilaku yang berbeda
Pada tahun lalu, dalam sebuah acara talkshow yang diselenggarakan oleh salah satu bank asing mengenai millennial entrepreneur ASEAN, maka sang pembawa acara melemparkan pertanyaan siapakah dari para millennial yang hadir di ruangan itu memiliki kredit kepemilikan rumah, dan lebih dari separuh yang memenuhi ruangan pun mengangkat tangannya. (Seperti kisah yang saya sajikan di atas, mungkin hampir semua mereka yang mengangkat tangan memanfaatkan benefit untuk mengajukan kredit kepemilikan rumah). Lalu ketika pertanyaan di balik, maka hanya segelintir yang mengangkat tangan dan sebagian besar yang mengangkat tangan adalah orang asing. Wajar saja sih, sebab tidak mudah bagi WNA mengajukan kepemilikan rumah di negeri ini.
Tetapi ternyata bukan saja masalah mudah atau tidak mudah, tetapi mereka membawa culture yang memang sudah terbentuk demikian dari negara asal mereka. Seperti telah kita ketahui bahwa kepemilikan rumah pada negara-negara tertentu bukanlah hal yang mudah, mengingat tingginya suku bunga serta persyaratan yang rumit. Hal ini jelas membentuk perilaku yang berbeda sehingga banyak yang lebih memilih untuk menyewa daripada membeli oleh karena biaya yang dikeluarkan juga akan sangat berbeda. Sehingga bagi mereka bukanlah sebuah masalah jika tidak memiliki tempat tinggal atas nama mereka.


Manakah yang lebih dulu: Perilaku atau Kesempatan?
Namun demikian, kecerdikan para pemberi pinjaman pun ‘bak gayung bersambut menjadikan fenomena ‘mencicil’ ini sebagai kesempatan mendulang keuntungan.
Hal ini sangat menggelitik pikiran saya baru-baru ini ketika saya mendapati pada e-banking saya terdapat fasilitas untuk mengubah sebuah transaksi menjadi cicilan. Tidak tanggung-tanggung, transaksi sebesar 500,000 rupiah dapat diubah menjadi cicilan dengan tenor hingga 3 tahun. Sebuah waktu yang menurut saya sangat panjang untuk melunasi jumlah tersebut. Namun demikianlah berbagai bank seolah-olah berlomba-lomba untuk memberikan penawaran yang paling menarik.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kadang-kadang ada saja kebutuhan mendadak yang harus dibeli namun uang tunai di tangan tidak mencukupi. Lalu apa yang pada umumnya menjadi solusi? Saya mengajukan pertanyaan ini kepada beberapa rekan dan kesimpulannya hampir semua mengatakan ‘gesek kartu kredit untuk kemudian diubah menjadi cicilan’. Ya, sebuah jalan keluar yang dapat dilakukan dengan segera serta pada kesempatan yang sangat mendesak tentunya. Dengan tidak dapat dielakkan, kebiasaan ini jugalah yang diturunkan sebuah generasi pada generasi berikutnya didukung oleh fasilitas dan kesempatan yang ada.
Seakan tidak dapat menjawab pertanyaan “telur dulu atau ayam?” maka sepertinya sulit untuk saat ini menjawab kebiasaan ‘mencicil’ generasi ini ada karena warisan atau karena berbagai penawaran yang semakin gencar ditawarkan.
Ruth Berliana/VMN/BLJ/Editor