(Business Lounge Journal – Art) Sejak tahun 2007, Lee JeeYoung selalu berupaya untuk membidik sesuatu yang tidak terlihat dan menyampaikannya dalam bentuk ekspresi. JeeYoung yang berasal dari Korea Selatan ini memang mencintai dunia fotografi, tetapi ia tidak mengabadikan suatu fakta yang nyata, melainkan sebuah imajinasi yang merupakan ungkapan hati dan nilai-nilai yang dimilikinya.
Jika dunia fotografi tradisional akan menyajikan dokumentasi sebuah obyek yang nyata, maka berbeda dengan JeeYoung yang menggabungkan dunia fotografi dengan sebuah aksi teatrikal yang dikondisikannya. Seolah ingin membiarkan isi kepalanya terbaca, maka ia menyiapkan sebuah instalasi dari berbagai obyek yang dibuat sendiri untuk kemudian meniupkan sebuah kehidupan ke dalamnya, maka Anda pun akan dibawa ke sebuah dunia imajinasi versinya. Terkadang ia akan terinspirasi kenangan masa kecilnya, sebuah pepatah atau ungkapan tradisional, dongeng, ataupun sekedar isi hatinya. JeeYoung menyuguhkan seni yang menggabungkan fotografi dan instalasi seni.



JeeYoung selalu ingin bermain dengan ekspresi dan membiarkan mereka yang menikmati hasil karyanya memiliki imajinasi sendiri. Untuk itu, ia merelakan berminggu-minggu waktunya, bahkan berbulan-bulan demi untuk menghadirkan sebuah aksi teatrikal di dalam studio mininya yang hanya berukuran 3 x 6 meter. JeeYoung memiliki kesabaran yang sangat luar biasa, itulah sebabnya ia dapat bekerja dengan sangat detil untuk mengubah studio mininya sesuai dengan kerangka pikirannya. Ia akan memastikan setiap inci pada studionya akan mengungkapkan isi hatinya sehingga ketika kemudian diabadikan dari segala sisi, maka terekamlah dunia fiksi yang diinginkannya. Hingga kini, JeeYoung telah mendapatkan berbagai penghargaan atas karya seninya.

Berikut sekilas perbincangan dengan Lee JeeYoung.
BL: Business Lounge Journal
LJ: Lee JeeYoung
BL: Sebelumnya, adakah satu hal yang Anda ingin untuk pembaca ketahui tentang Anda?
LJ: Sejujurnya saya tidak yakin, sebab saya bukanlah orang yang dapat mengekspresikan dengan sangat baik diri saya sendiri dengan menggunakan kata-kata.
BL: Jadi, apakah arti seni bagi Anda?
LJ: Seni merupakan sebuah proses untuk menemukan nilai. Saya juga menganggapnya sebagai sebuah cara untuk berkomunikasi.
BL: Apa yang mengilhami Anda menjadi seorang seniman kontemporer?
LJ: Ketika saya beranjak dewasa, saya ingin menjadi seorang pelukis, namun saya tidak pernah berpikir bagaimana untuk mewujudkannya sampai kemudian saya memutuskan untuk mengambil sekolah seni pada waktu saya duduk di sekolah lanjutan atas. Hal ini membuat orang tua saya begitu marah. Untuk berkompromi, saya kemudian mengambil jurusan Visual Communication Design. Ketika melanjutkan ke perguruan tinggi, saya mengambil minat pada jurusan teater dan film production art. Di sinilah kemudian saya mulai fokus dan memutuskan untuk berkarir. Tidak kebetulan bahwa sebelumnya saya menjadi anggota klub pembuatan film di sekolah. Pada waktu itu kami membuat film pendek dan video musik. Beberapa waktu kemudian saya memutuskan cuti kuliah untuk beberapa semester dan bekerja sebagai asisten di sebuah perusahaan commercial production. Tetapi jelang beberapa bulan, saya menyadari bahwa industri ini bukanlah tempat yang terbaik untuk menyalurkan kreativitas saya, sebab saya hanya diberondong berbagai pekerjaan hingga tidak memiliki waktu untuk diri saya sendiri. Saya menyadari benar bahwa ini tidak sesuai dengan apa yang ada dalam benak saya. Saya harus kembali ke titik awal untuk mencari tahu siapakah saya dan apa yang benar-benar ingin saya lakukan dalam hidup saya. Hal ini terjadi ketika saya sedang menyiapkan sebuah pameran fotografi untuk meraih gelar sarjana saya. Pameran inilah yang membawa saya kembali ke akar saya. Setelah itu, pada saat saya melanjutkan kuliah saya ke program pasca sarjana, saya pun memutuskan untuk memperdalam ilmu fotografi.


BL: Apa bagian yang paling menantang dengan menjadi seorang seniman kontemporer?
LJ: Saya secara konstan berjalan pada sebuah garis tipis yang membatasi dunia ideal dan dunia nyata. Adalah sangat penting untuk menjaga keseimbangan yang sehat antara kepercayaan diri dan sebuah kegelisahan. Jika ditanyakan hal yang paling berkesan, maka saya tidak memiliki sebuah pengalaman tertentu yang sangat memorable, sebab memori cenderung memudar dengan berjalannya waktu, bahkan untuk hasil karya yang melibatkan emosi yang begitu kuat sekalipun. Namun ada sebuah pengalaman yang ingin saya bagikan kepada yang lain. Beberapa tahun yang lalu, saya kecanduan snowboarding. Saya dan teman-teman saya menaiki lift untuk menuju lereng yang tertinggi. Saat itu, puncak benar-benar tertutup dengan kabut tebal. Menaiki lereng gunung itu seperti memanjat sebuah tembok putih, walaupun saat itu saya dapat merasakan kecepatan resistensi angin. Semua yang dapat saya dengar adalah suara para snowboarders yang melewati saya. Pada waktu saya naik seorang diri, saya merasakan sesuatu yang menakjubkan. Pada waktu saya meluncur ke bawah dan tiba di bawah, maka saya berbincang dengan teman-teman yang lain bagaimana perjalanan turun bagaikan perjalanan hidup yang sempurna. Inspirasi ini akan saya gunakan untuk proyek saya yang mendatang.
BL: Adakah seniman favorit Anda dan bagaimana pengaruhnya pada Anda?
LJ: Saya menyukai Kusama Yayoi, Tim Burton, dan Michel Gondry. Ketika saya mengunjungi pameran yang diadakan Kusama Yayoi di Korea beberapa tahun yang lalu, saya benar-benar tenggelam dalam realitas lain yang disajikannya. Itu pasti mengacu pada pengalamannya. Tim Burton dan Michel Gondry adalah direktur favorit saya. Penempatan dalam scene serta imajinasi mereka yang mustahil selalu menarik bagi saya. Ketika saya menonton film-film mereka, saya berharap menjadi seorang art director suatu hari kelak. Saya pun berkolaborasi dengan sesama rekan mahasiswa untuk membuat film Toxic Boy yang dibuat sebagai inspirasi dari karakter Roy yang ada pada buku yang ditulis Tim Burton. Mungkin agak terlalu mengada-ngada untuk mengatakan bagaimana hasil karya mereka memiliki pengaruh langsung pada hasil fotografi saya, tetapi mereka mengajarkan saya bagaimana menafsirkan dunia nyata melalui fantasi. Ketertarikan saya pada production design telah menjadi bagian dari identitas saya dan mempengaruhi apa yang saat ini saya lakukan.
BL: Apa yang menjadi filosofi Anda?
LJ: Apa yang saya buat adalah kreasi dari lanskap mental saya, tetapi ini real sebab ini merefleksikan pengalaman dan emosi saya. Saya mewujudkan apa yang ada dalam kepala saya dengan membangun sebuah instalasi dan mendokumentasikannya dalam foto, sebuah media untuk merekam realitas. Saya yakin bahwa hal ini menjelaskan mengapa saya memilih fotografi dan instalasi sebagai mediumnya. Hasil karya seni yang kemudian dinikmati memang dalam bentuk fotografi, tetapi saya menganggap keseluruhan proses mulai dari pembangunan instalasi, berpose, mengambil foto, dan kemudian bagaimana menghancurkannya kembali merupakan bagian integral dari kreasi seni saya. Menangkap moment dalam waktu, membuat instalasi, dan berpose di depan kamera memungkinkan saya untuk mengambil langkah mundur dan mengamati pengalaman tersebut sebagai orang ketiga. Dengan kata lain, saya menghidupkan kembali pengalaman sebagai pemeran utama dan sebagai pengamat. Karya seni saya memungkinkan saya untuk melihat kembali pada pengalaman saya dan juga membantu saya mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekedar emosi yang terlibat dalam pengalaman tersebut. Ini semua merupakan bagian dari usaha saya untuk maju dan berkembang dengan memandang positif diri saya dan kehidupan saya.


BL: Bagaimana caranya Anda memperoleh inspirasi?
LJ: Karya seni adalah buku harian saya. Hal yang paling biasa dapat menjadi sumber inspirasi bagi saya. Cerita-cerita yang saya dengar, kenangan masa kecil, pengalaman masa lalu, emosi, mimpi, teman-teman, kisah cinta, posisi saya dalam masyarakat, dan kehidupan saya sebagai seorang seniman. Semua itu merupakan sumber inspirasi baru. Saya selalu berupaya mencatat ide-ide yang muncul di kepala saya. Saya suka melamun di sebuah kafe yang tenang, menyusun ide-ide dengan menggabungkan elemen-elemen dan adegan. Jika saya memiliki gagasan yang masih kabur tentang apa yang ingin saya lakukan, maka saya akan membuat sketsa kasar. Rata-rata ide itu muncul dari masa-masa sulit yang pernah saya lalui dibandingkan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan. Saya rasa hal ini sering kali disebabkan pengalaman-pengalaman sulit yang lebih sering muncul pada ingatan saya dan hal-hal ini adalah peristiwa-peristiwa yang sangat memberikan pelajaran bagi saya.
BL: Apakah karir Anda saat ini telah sesuai dengan yang Anda pikirkan?
LJ: Saya rasa saya sudah mencapai tujuan saya mengingat bagaimana pekerjaan saya saat ini secara konsisten mendapatkan perhatian dunia. Namun saya masih muda dan perjalanan karir saya masih panjang. Saya mencoba untuk mengingatkan diri saya untuk tidak cemas sebab saya masih memiliki perjalan panjang yang harus saya lewati. Masa depan karya seni dan pengalaman hidup saya jauh lebih penting.
BL: Adakah pengalaman menarik yang ingin Anda bagikan?
LJ: Broken Heart memiliki latar belakang yang menarik, terinspirasi dari sesuatu yang terjadi pada saya. Ada pepatah Korea yang mengatakan ‘to hit a rock with an egg’. Pepatah ini digunakan saat hendak mencapai sesuatu yang mustahil. Itulah sebabnya saya memunculkan telur dan batu. Saya menghubungkan pepatah tersebut dengan situasi saya pada waktu itu. Saat saya mempersiapkan Broken Heart saya melakukan riset untuk cara yang berbeda membuat telur dan batu dengan bentuk, tekstur, dan warna yang sama. Misalnya, bebatuan harus cukup ringan untuk dapat ditanamkan di dinding, sedangan telur-telur harus halus dan sedikit reflektif sehingga menyerupai telur yang sebenarnya. Saya mencoba berbagai material hingga mendapatkan bahwa untuk menyerupai kuning telur dapat dibuat dari gelatin yang dicampur dengan pewarna kuning. Kulit telur terbuat dari bubur kertas yang dicetak kemudian dibungkus, didempul, dan dicat.


BL: Proyek apa yang sedang Anda kerjakan saat ini dan apa yang menjadi rencana Anda?
LJ: Saat ini saya sedang mengerjakan proyek baru yang merupakan kelanjutan my Stage of Mind series, namun sesuai dengan keinginan saya. saat ini saya menggunakan bentuk atom untuk membuat sebuah bentuk adegan. Sebenarnya saya bukan orang yang memiliki perencanaan yang detil namun tahun depan saya berencana untuk berhenti sejenak untuk menolong saya me-recharge dan membuat kreatifitas saya dapat mengalir kembali. Saya juga ingin memulai hobi yang baru mungkin mempelajari instrumen yang baru, namun saya belum tahu. Tahun depan saya akan melamar program residensi di luar negeri untuk mengubah lingkungan saya dan mendapatkan pengalaman baru. Lebih banyak pengalaman akan menentukan arah masa depan saya. Tujuan saya adalah untuk mendapatkan pengalaman sebanyak mungkin.




Ruth Berliana/VMN/BL/MP Human Capital Development Division, Vibiz Consulting, Vibiz Consulting Group
Pictures: Lee JeeYoung