(Business Lounge – Service) – Slogan `The customer always right` pertama kali diciptakan oleh Harry Gordon Selfridge, pendiri department Store Selfridge di London pada tahun 1909. Sejak itu hingga saat ini, slogan tersebut menjadi semangat yang dipegang bisnis dalam melayani pelanggannya.
Semua orang tentunya tau, pada dasarnya slogan ini tidak benar. Namun, bisnis seringkali mengagung-agungkan slogan ini, karena bagi mereka pelanggan adalah raja. Namun, benarkah tindakan mereka ini? Lalu, bagaimana Anda dapat menghadapi pelanggan yang sebenarnya salah?
Terdapat beberapa situasi dimana pelanggan bisa salah.
Misalnya, perusahaan memberikan suatu promise dalam iklannya, yang kemudian ditangkap salah oleh pelanggan. Misalnya, internet service provider (ISP) yang menjanjikan kecepatan “up to 512 Kbps” kemudian terkena komplain dari pelanggan yang protes karena kecepatannya di bawah 512 Kbps. Padahal, ISP memang hanya menyatakan `up to` yang merupakan batas atas kecepatan maksimal.
Seringkali perusahaan juga menghadapi pelanggan yang memang melampaui batas dan ingin sesukanya sendiri. Contohnya, penumpang pesawat yang sudah membeli tiket berpikir mereka bisa berbuat seenaknya sendiri, seperti melakukan panggilan telepon selama penerbangan, padahal itu dilarang karena berbahaya. Ketika ditegur, namun penumpang ini malah marah dan membentak. Ini adalah contoh pelanggan yang salah.
Kemudian tidak dapat dipungkiri pula bahwa terdapat segelintir pelanggan-pelanggan yang punya niat untuk mengeruk keuntungan semaksimal mungkin. Jadi, mereka berusaha mengakali petugas customer service untuk mengakui kesalahan sehingga
Lalu bagaimana Anda harus menghadapi pelanggan seperti ini?
Kesalahan yang umum terjadi ketika mengalami perbedaan persepsi dan pendapat dengan pelanggan adalah langsung melakukan adu pendapat dan membuka konfrontasi langsung dengan mereka. Padahal, itu hanya akan mengakibatkan pelanggan merasa malu bahkan makin kesal, dan ke depannya mungkin saja mereka tidak mau kembali berbisnis dengan Anda.
Anda tetap harus mengungkapkan apa yang benar, sekaligus tetap menghormati persepsi dan pendapat dari pelanggan. Jadi, Anda harus punya pilihan kata yang tepat, supaya tidak berkesan `menyerang` pelanggan. Ini adalah golden rule Anda: tetap berbicara dan mengungkapkan pendapat dengan kata dan intonasi yang sopan.
Contoh kata-kata yang bisa Anda gunakan:
“Jadi demikian yang Anda dengar? Setelah saya cek ulang ternyata…. Namun Anda tidak perlu khawatir karena ini hanya salah paham saja, jadi…”
“Pendapat Anda ada benarnya, hanya saja kebijakan kami disini…”
Bandingkan dengan kata-kata berikut ini:
“Tidak mungkin seperti itu. Kebijakan kami disini…”
“Anda salah, seharusnya….”
Bagaimana jika pelanggan tetap ngotot dan menunjukkan perilaku yang menyebalkan, padahal Anda sudah meresponnya dengan baik?
Menurut saya, jika Anda punya pelanggan yang sikapnya begitu menyebalkan, padahal Anda sudah berusaha maksimal untuk menyelesaikan konflik dengan dia, maka biarkan saja. Memang terdapat sejumlah `toxic customer` yang lebih baik jika perusahaan kita tidak berbisnis dengan mereka.
Dalam kasus pelanggan vs karyawan, jika Anda selamanya mengagungkan prinsip `customer always right`, maka akibatnya, seringkali Anda harus bertentangan dengan kebijakan perusahaan atau karyawan sendiri, demi memuaskan pelanggan. Dampaknya, karyawan justru akan merasa bahwa pelanggan lebih penting, dan ia tidak dihargai.
Misalnya pelanggan dan karyawan beradu argumen, atau karyawan Anda dibentak-bentak padahal sebenarnya pelanggan yang salah. Kemudian, Anda sebagai manajer, karena memegang prinsip “customer always right” mengakui bahwa karyawan Anda salah dan pelanggan yang benar, padahal sebenarnya tidak demikian. Hal ini tentunya mengakibatkan karyawan Anda sakit hati. Akibatnya, karyawan bisa mengalami demotivasi, dan ini mempengaruhi kinerja mereka kemudian.
Apa yang dilakukan Gordon Bethune, yang sempat memimpin Continental Airlines patut menjadi contoh. Dalam bukunya “From Worst to First” ia menulis bahwa jika mereka menghadapi pelanggan yang tidak dapat dipuaskan, maka loyalitas mereka ada pada karyawan. Hal ini karena karyawanlah yang menjalankan operasional sehari-hari, sehingga harus didukung dengan baik. Meskipun penumpang membeli tiket, maka bukan berarti mereka punya hak untuk semena-mena terhadap karyawan.
Intinya, dalam menghadapi pelanggan yang sulit, Anda tidak seharusnya menjadikan karyawan sebagai `korban` melainkan tetap mengungkapkan kebenaran namun dengan sopan dan tanpa menyerang pelanggan. Dalam beberapa kasus, kehilangan pelanggan yang memang tidak pantas justru lebih baik dibandingkan Anda kehilangan karyawan yang sudah mengabdi pada Anda.
(rp/ic/bl-md)
Foto: eftm.com.au