(Business Lounge – HR) Untuk mencapai suatu keberhasilan, maka employee engagement menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap pemimpin atau eksekutif puncak di perusahaan mana pun. Banyak kalangan berpendapat bahwa employee engagement harus menjadi perhatian serius agar perusahaan dapat bertahan dari dampak krisis saat ini. Pendapat ini juga diperkuat oleh beberapa studi yang mengkorelasikan antara tingginya employee engagement dengan pencapaian target perusahaan, dan hasilnya sangat positif.
Biasanya, wacana employee engagement seringkali dikaitkan dengan talent management yang dianggap sebagai program “high cost” , meskipun hasilnya akan sangat bermanfaat dalam jangka panjang. Apalagi dengan dampak krisis yang masih dirasakan saat ini, penambahan biaya jelas bukan keputusan yang favorable untuk diambil oleh perusahaan. Pada kondisi inilah, perusahaan berada pada kondisi yang dilematis. Jika keputusan untuk menjalankan program talent management diambil, perusahaan akan makin terbebani oleh biaya operasional. Namun, jika perusahaan mengabaikannya, maka akan terancam kehilangan karyawan-karyawan terbaik. Atau, setidaknya kehilangan potensi terbaik dari para karyawannya. Lantas, bagaimana solusi membangun employee engagement yang tidak “high cost” semacam itu?
Mempertahankan karyawan terbaik melalui Pendekatan Budaya Perusahaan
Hal yang perlu disadari oleh semua pihak adalah bahwa menciptakan employee engagement tidak melulu berkaitan dengan biaya. Seperti kita ketahui, saat ini sedang berlangsung “talent war” yang cukup sengit, terjadi bajak membajak karyawan berpotensi antar perusahaan dengan imbalan yang sangat mahal. Padahal kalau kita perhatikan, karyawan ‘bajakan’ tersebut belum tentu bertahan lama dan belum tentu pula membawa keberhasilan di tempat yang baru.
Setidaknya ada 3 faktor yang dapat menumbuhkan engagement yaitu keselarasan dengan nilai-nilai organisasi, lingkungan kerja yang kondusif , dan sistem kompensasi dan reward yang fair dan memadai. Dua faktor pertama merupakan faktor-faktor yang lebih terkait dengan budaya perusahaan , sedangkan faktor terakhir lebih terkait dengan biaya (cost) .
Budaya Perusahaan / Organisasi tidak hanya berperan sebagai simbol ataupun filosofi perusahaan yang bersifat abstrak dan mengawang-awang, bukan sekedar slogan tanpa aplikasi. Namun ketiadaan kata atau kalimat yang menegaskan mengenai budaya yang dianut Drs.Triguno,DIPL,EC.LLM. (2000:3) , mendefinisikan Budaya Perusahaan sebagai “ Suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat/organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi prilaku. Menurut Eugene McKenna dan Nic Beech (2000:18) budaya perusahaan merupakan nilai, kepercayaan, sikap dan perilaku yang dipegang anggota. Berdasarkan definisi tersebut, Budaya Perusahaan harus mampu menginternalisasi ke dalam setiap diri karyawan dan menjelma menjadi motif dasar perilaku setiap karyawan di dalam perusahaan. Untuk itu perlu adanya sebuah pernyataan yang merupakan manifestasi dari budaya perusahaan yang mengungkapkan secara garis besar dalam pengertian spesifik mengenai tujuan perusahaan dan cara-cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Keahlian, kreativitas maupun motivasi yang tinggi dari karyawan memang merupakan unsure kredibilitas yang harus dimiliki oleh karyawan agar perusahaan dapat mencapai sukses. Namun unsure-unsur tadi menjadi belum maksimal manfaatnya bila setiap karyawan belum memiliki budaya yang sama. Satu budaya yang sama maksudnya adalah sebuah pola pikir yang membuat mereka memiliki persepsi yang sama tentang nilai dan kepercayaan yang dapat membantu mereka untuk memahami tentang bagaimana seharusnya berperilaku kerja pada perusahaan dimana mereka bekerja sekarang.
Elemen-elemen Budaya Perusahaan
Terdapat beberapa elemen dasar budaya perusahaan. Eugene McKenna dan Nic Beech (2001:15) mengelompokkan elemen-elemen budaya perusahaan sebagai berikut :
a. Artifacts
Merupakan hal-hal yang dapat dilihat, didengar, dirasakan, jika sesorang berhubungan dengan sebuah kelompok baru dengan budaya yang tidak dikenalnya. Artifacts termasuk struktur organisasi dan proses yang tampak, seperti produk, jasa, dan tingkah laku anggota kelompok
b. Espoused Values
Yaitu alasan-alasan tentang mengapa orang berkorban demi apa yang dikerjakan. Budaya sebagian besar organisasi dapat melacak nilai-nilai yang didukung kembali kepenemu budaya. Meliputi strategi, sasaran, dan filosofi.
c. Basic Underlying Assumption
Yaitu keyakinan yang dianggap sudah ada oleh anggota suatu organisasi. Budaya menetapkan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu di organisasi, seringkali melalui asumsi yang tidak diucapkan namun anggota organisasi meyakini ketepatan tindakan tersebut.
Keselarasan Nilai-Nilai
Karyawan yang memiliki keselarasan nilai-nilai dengan perusahaan akan memiliki keterikatan yang tinggi pula, atau dengan kata lain semakin engaged dengan perusahaan. Itulah sebabnya Budaya Organisasi yang baik biasanya meletakkan dasar filosofi nilai-nilai ideologis atau humanis sebagai fondasinya. Kita ambil contoh Toyota Corporation, dengan “The Toyota Way” sebagai Budaya Organisasinya. Prinsip pertama dalam “The Toyota Way” adalah “Base your Decision on a Long-Term Philosophy”. Dalam filosofi tersebut Toyota menyatakan “…to generate value for the customer, society, and the economy”. Jelas sekali bahwa Toyota ingin menggiring mindset para karyawannya menjadi lebih humanis dengan filosofi dasar tersebut, bahwa apa yang mereka kerjakan akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan kondisi perekonomian.
Membangun keselarasan nilai dengan filosofi semacam itu, perusahaan akan mampu secara signifikan membangun employee engagement sehingga karyawan semakin merasa terikat dengan perusahaan. Namun, pada praktiknya, menyelaraskan nilai-nilai dasar perusahaan dengan individu karyawan bisa dibilang bukan pekerjaan yang mudah. Hal ini dikarenakan proses penanaman nilai-nilai dasar tersebut ibarat melakukan brainwashing terhadap mindset seluruh karyawan, apalagi bagi karyawan lama yang sudah bekerja bertahun-tahun sebelum nilai-nilai dasar ini dirumuskan. Kuncinya terletak pada kontinuitas dan konsistensi dalam menanamkan nilai-nilai tersebut ke dalam diri karyawan.
Lingkungan yang Kondusif
Lingkungan kerja yang kondusif juga sangat berpengaruh terhadap engagement karyawan. Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif berarti menciptakan suatu kondisi dimana karyawan merasa nyaman untuk bekerja. Dalam Budaya Organisasi, menciptakan lingkungan yang kondusif biasanya merupakan bagian dari nilai organisasi yang dikembangkan dari filosofi dasarnya. Nilai ini biasanya tertuang dalam salah satu prinsip atau asas yang mendasari pola interaksi antar sesama karyawan. Contoh dari prinsip yang dimaksud misalnya “Menghormati Hak Asasi Individu”, “Kompetisi yang Bersih dan Sehat”, “Karyawan adalah Keluarga”, “Membangun Tim yang Solid”, dan lain-lain.
Dengan prinsip-prinsip semacam itu, karyawan diharapkan akan menemukan lingkungan kerja yang kondusif. Sebagai contoh prinsip “Karyawan adalah Keluarga”, merupakan prinsip yang cukup efektif untuk menumbuhkan engagement dalam diri karyawan. Contoh kongkrit dari prinsip ini misalnya memberikan donasi bagi karyawan yang anaknya baru lahir, atau merayakan ulang tahun bagi karyawan yang berulang tahun, ataupun sekedar mengadakan arisan karyawan bersama. Semua ini memang terlihat kecil dan sepele, tetapi efeknya bisa sangat besar dan sangat efektif dalam menumbuhkan employee engagement dibandingkan dengan program-program employee retention yang cenderung memakan biaya besar.
Pendekatan Budaya Organisasi menitikberatkan penciptaan keselarasan nilai-nilai dan lingkungan kerja yang kondusif dalam menumbuhkan employee engagement. Di sinilah letak peran krusial Budaya Organisasi. Mengapa krusial? Karena pendekatan ini mampu menjawab dilema perusahaan di tengah dampak krisis global seperti diungkapkan di awal. Dengan demikian, perusahaan memiliki alternatif solusi yang cukup “murah” untuk dapat meningkatkan employee engagement. Namun, sekali lagi perlu diingatkan, melakukan pendekatan budaya organisasi ini memerlukan kerja keras, kontinuitas, dan komitmen dari semua pihak. Tanpa itu semua, mustahil berhasil menumbuhkan engagement dalam diri karyawan.
(Iin Caratri/IC/BL)
(dari berbagai sumber)
Iin Caratri : Head Research of Vibiz Management Centre , Managing Partner Divisi FATS dari Vibiz Consulting dan juga sebagai Executive Editor di Businesslounge.co
Twitter : @iincaratri