(The Manager’s Lounge – Leadership)Tahun 1959, People’s Action Party (PAP) pimpinan Lee Kuan Yew berhasil memenangkan pemilu di Singapura dengan menguasai 41 dari 53 kursi di parlemen. Ketika Lee diangkat sebagai perdana menteri, kas negara dalam keadaan kosong. Lee sendiri belum tahu apa yang bisa ia lakukan karena kondisi negaranya masih carut-marut. Penerapan hukum buruk, konflik antaretnis biasa terjadi, masyarakatnya jorok dan sampah bertebaran di mana-mana, pengangguran mencapai angka 14%, sedangkan kekayaan alam tidak ada. Luas lahan Singapura cuma 400 kilometer persegi. Andalannya cuma padi. Tapi sekalipun semua lapangan sepak bola dikonversikan menjadi sawah, ia ha¬nya bisa menyajikan beras untuk 40.000 orang. Kalau masyarakatnya jorok, membangun turisme juga tidak mudah. Singapura tak punya pantai yang bagus.
Lee cuma punya impian dan beberapa orang pemikir. Tak ada cara lain, Singapura harus berubah. Ia memimpikan sebuah negara kecil yang bersih, disiplin, memegang kuat tradisi penghormatan ¬pada orangtua, dan tentu saja, kaya. Sama seperti Anda, Lee juga punya pertanyaan yang sama: harus mulai dari mana? Kalau negara tak bisa memberikan lapangan pekerjaan maka Singapura akan menjadi sasaran agitasi komunis. Maka mulailah pekerjaan besar itu digulirkan. la menugaskan Dr. Goh Keng Swee untuk merancang pembangunan ekonomi yang agresif. Goh segera bertindak. Industrialisasi adalah pilihannya. Cuma masalahnya, Singapura tak punya bahan baku, tak ada keterampilan industri, dan yang memalukan, tak punya pasar yang cukup besar. Itulah sebabnya mereka menjalin kerja sama dengan membentuk common market dengan Malaysia. Tapi itu belum cukup.
Untuk memajukan perekonomian, pemerintah Lee meminta bantuan PBB agar mengirim ahli ekonominya. PBB pada tahun 1960 segera mengirim misi survei industrial, yang dipimpin Dr. Albert Winsemius, yang dibantu oleh pria keturunan China, I.F Tang. Dengan bantuan keduanya, Lee merumuskan strategi ,pembangunan ekonomi globalnya yang berorientasi pada keunggulan daya saing dan produktivitas lewat pemerintah yang bersih, masyarakat yang disiplin, dan industrialisasi yang dikawal oleh tenaga-tenaga profesional. Pemerintah Lee tidak anti asing setiap bangsa boleh ikut membangun Singapura asal betul-betul profesional. Ada dua badan yang jadi andalan Lee saat itu, yaitu HDB (Housing Development Board) dan EDB (Economic De¬velopment Board).
Pada saat perubahan mulai dilakukan, tentu saja banyak pihak yang tidak siap. Bahkan Lee sering disebut sebagai salah seorang ¬diktator Asia yang anti demokrasi, HAM, dan kebebasan berserikat. la memang sangat tegas. Orang yang membuang sampah sembarangan, melakukan vandalisme, membuang permen karet, berambut gondrong, atau tidak tertib di jalan, dikenai sanksi sangat besar. Seorang remaja Amerika pernah dihukum cambuk gara-gara melakukan vandalisme di Negeri Singa ini, dan itu sungguh menggemparkan Amerika. Tapi ia tidak goyah satu milimeter pun. Ia juga membatasi ruang gerak pers dan me¬ngendalikan oposisi. Baginya, semua harus berorientasi pada ke¬disiplinan dan satu kepemimpinan yang diwadahi oleh nilai-nilai confucius .
Pada tahun 1990-an, ketika sistem kesejahteraan sedang me¬ngalami ujian dan ancaman kebangkrutan di Barat, pemerintah Singapura mengeluarkan Parent’s Bill. Sebuah UU yang diperca¬ya sangat kental dengan nilai-nilai confucius. Melalui UU itu, orangtua berhak menuntut anak-anaknya kalau tidak merawat mereka di hari tuanya. Dengan demikian, mereka tidak menjadi beban negara.
Perubahan yang digulirkan oleh Lee tentu tak akan berhasil kalau ia hanya berfokus pada wacana politik dan nilai-nilai bela¬ka. Atas akar nilai-nilai ini, Lee memanggil para “doer” untuk bergerak bebas mengeksekusi gagasan-gagasan kreatif mereka. Dr. Goh Keng Swee, dengan dibantu oleh Dr. Albert Winsemius dan IF Tang, punya peran penting untuk mempercepat proses industrialisasi.
Ketika mengangkat kepala perwakilan EDB di New York pada tahun1960-an, misalnya, mereka lebih memilih seorang top salesman dengan pengalaman bisnis, street smart, sabar, jujur, dan pekerja keras ketimbang seorang birokrat, akademisi, atau politisi yang biasa berkantor di ruang tertutup. Pilihan jatuh pada Chan Chin Bok, seorang mantan salesman mobil yang juga kolumnis bisnis. Berkat bantuan Chan, Singapura menjalin kerja sama dengan produsen-produsen otomotif Detroit. Ford, misal¬nya, memilih Singapura sebagai lokasi assembly part-nya di Asia, setelah Singapura menjalin kerja sama dengan Malaysia dalam sebuah Common Market. Tapi kisah di balik hubungan Singa¬pura-Malaysia dalam memperebutkan lokasi ini sungguh mena¬rik. Deal antara keduanya lebih merupakan business deal seperti pemain catur ketimbang pembicaraan antara dua orang negara¬wan.
Tentu saja itu berlaku pada masa-masa awal. Pada tahap awal, negara membutuhkan dua tangan sekaligus; yang satu ta¬ngan pemikir (thinker) dan satu lagi tangan pelaku (doer). Seka¬rang kedua-duanya menuntut kecerdasan intelektual.
Di masa pemerintahannya, Lee sangat konsisten menata pemerintahannya. Dalam setiap tahap ia selalu merumuskan langkah – langkah konkret yang harus diambil para anggota kabinetnya¬. Tak disangka, Singapura yang tak punya apa-apa sekarang malah menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Pada saat Lee melepaskan jabatannya (1990), GDP per kapita Singapura telah menjadi US$14.000 dan masih akan terus bertumbuh. Pada saat tulisan ini diturunkan (2004), GDP per kapitanya sudah menjadi US $22.000.
(Rhenald Kasali/TML/ST)