semikonduktor

Investor Chip Belum Sadar Risiko Tarif Impor

(Business Lounge – Global News) Saham-saham perusahaan semikonduktor telah menunjukkan kenaikan luar biasa sepanjang 2024 dan berlanjut ke 2025, didorong oleh euforia terhadap kecerdasan buatan dan permintaan chip kelas berat yang terus meningkat. Namun di balik reli pasar ini, terdapat risiko besar yang belum sepenuhnya dihargai investor: meningkatnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang berpotensi mengganggu rantai pasok global industri chip.

Menurut laporan The Wall Street Journal, meski valuasi saham perusahaan chip seperti Nvidia, AMD, dan Broadcom melonjak tajam, risiko struktural akibat tarif dan pembatasan ekspor makin membayangi prospek industri. Pemerintah AS belum lama ini mengumumkan tarif baru atas produk-produk teknologi tertentu dari Tiongkok, termasuk komponen elektronik dan material pendukung manufaktur chip. Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi pemerintahan Biden untuk memperkuat kapasitas industri domestik dan mengurangi ketergantungan terhadap Tiongkok.

Namun, efek balik dari kebijakan ini juga signifikan. Banyak perusahaan chip asal AS maupun Asia masih sangat bergantung pada pasokan bahan baku, alat produksi, dan bahkan permintaan pasar dari Tiongkok. Ketika hambatan perdagangan meningkat, risiko terganggunya distribusi dan naiknya biaya logistik dapat menekan margin laba. Hal ini belum tercermin sepenuhnya dalam ekspektasi investor yang saat ini lebih fokus pada narasi pertumbuhan kecerdasan buatan.

Sebagai contoh, produsen chip memori seperti Micron telah menghadapi pembalasan dari Beijing setelah AS mengeluarkan berbagai sanksi perdagangan terhadap perusahaan-perusahaan teknologi Tiongkok. Pemerintah Tiongkok membatasi penggunaan chip Micron dalam proyek-proyek infrastruktur, memicu kekhawatiran akan boikot yang lebih luas terhadap produk Amerika. Di saat yang sama, perusahaan seperti TSMC di Taiwan berada dalam posisi sulit karena harus menjaga hubungan dagang dengan kedua belah pihak yang semakin bersitegang.

Perusahaan desain chip seperti Nvidia memang saat ini menikmati permintaan tinggi berkat ledakan penggunaan AI generatif dan pusat data. Namun sebagian besar produksi chip tersebut masih dilakukan di Asia, termasuk di fasilitas milik TSMC di Taiwan. Bila ketegangan politik memburuk atau konflik geopolitik seperti invasi ke Taiwan benar-benar terjadi, maka rantai pasok semikonduktor global akan terganggu secara drastis. Ini adalah risiko sistemik yang belum terdiskon dalam harga saham saat ini.

Investor yang terlalu terpaku pada fundamental permintaan saat ini berisiko mengabaikan ketidakpastian makro yang sangat nyata. Bahkan jika perusahaan chip berhasil mencatatkan pendapatan dan laba yang kuat dalam jangka pendek, valuasi mereka bisa tertekan bila sentimen pasar berbalik arah akibat perkembangan geopolitik. Analis dari Morgan Stanley mencatat bahwa banyak proyeksi pendapatan untuk 2025 dan 2026 belum memasukkan skenario kenaikan tarif atau gangguan ekspor sebagai asumsi utama.

Selain itu, tarif impor juga mendorong kenaikan harga perangkat keras dan komponen, yang pada akhirnya dapat menekan permintaan dari konsumen akhir. Sektor seperti otomotif, ponsel pintar, dan perangkat rumah tangga pintar bisa menghadapi tekanan biaya yang lebih besar jika harga chip naik. Kondisi ini dapat berdampak negatif terhadap volume penjualan dan memperlambat siklus pembelian di pasar global.

Ketergantungan AS pada produsen chip di Asia juga menjadi ironi tersendiri di tengah upaya memperkuat kemandirian industri dalam negeri. Proyek pembangunan pabrik chip di Arizona oleh TSMC, misalnya, mengalami penundaan akibat kekurangan tenaga kerja dan isu regulasi. Upaya reshoring yang ambisius dari program CHIPS Act belum menunjukkan hasil langsung dalam skala yang bisa menggantikan peran Asia dalam rantai pasok global.

Pada saat yang sama, Tiongkok juga mempercepat pembangunan kapasitas domestiknya. Pemerintah Beijing mengucurkan subsidi besar kepada perusahaan-perusahaan chip lokal untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi Barat. Bila keberhasilan ini terwujud dalam beberapa tahun ke depan, perusahaan semikonduktor asal AS dapat kehilangan akses pasar yang sangat besar. Risiko ini sangat relevan, namun belum sepenuhnya diperhitungkan oleh pelaku pasar.

Investor yang lebih berhati-hati mulai mencari eksposur ke perusahaan chip yang lebih terdiversifikasi secara geografis atau yang memiliki kontrak jangka panjang dengan klien-klien besar di luar AS dan Tiongkok. Ada juga peningkatan minat terhadap perusahaan penyedia peralatan semikonduktor seperti ASML dan Applied Materials, yang cenderung tetap mendapatkan permintaan dari berbagai belahan dunia, meskipun mereka juga tidak sepenuhnya imun terhadap risiko geopolitik.

Dengan valuasi saham-saham semikonduktor yang kini berada di puncak tertinggi dalam sejarah, margin kesalahan semakin kecil. Setiap gangguan kecil dalam rantai pasok atau kejutan kebijakan perdagangan dapat memicu koreksi harga yang tajam. Oleh karena itu, investor perlu mempertimbangkan risiko geopolitik dan proteksionisme sebagai variabel kunci dalam menilai prospek sektor chip ke depan.

Reli saham yang terjadi belakangan ini memang mencerminkan keyakinan pasar bahwa revolusi AI akan mendorong pertumbuhan jangka panjang bagi industri semikonduktor. Namun kenyataan politik global menunjukkan bahwa jalan menuju masa depan teknologi tidak akan mulus. Ketegangan antara kekuatan ekonomi terbesar dunia bisa sewaktu-waktu berubah menjadi badai yang mengguncang pasar chip global. Dan jika hal itu terjadi, banyak investor akan menyadari bahwa mereka telah mengabaikan salah satu risiko paling nyata di balik lonjakan harga saham.