Cara CEO Menyelesaikan Konflik Dewan Direksi Tanpa Harus Memihak

(Business Lounge Journal – Leadership)

Dalam dunia korporasi, peran CEO bukan hanya sekadar mengeksekusi strategi dan melaporkan kinerja perusahaan kepada dewan direksi. Lebih dari itu, CEO kerap dihadapkan pada situasi sulit ketika terjadi perbedaan tajam di antara para anggota dewan. Konflik di level ini tidak bisa dihindari, sebab setiap keputusan dewan biasanya menyangkut kepentingan besar—mulai dari arah investasi, strategi pertumbuhan, hingga kebijakan keberlanjutan.

Namun, menariknya, sebuah studi dari Harvard Law School menunjukkan hanya 35% eksekutif puncak yang menilai dewan mereka efektif dalam menjalankan fungsi tata kelola. Artinya, masih banyak ruang bagi CEO untuk mengambil peran sebagai mediator, bukan sekadar pelapor atau pengambil keputusan teknis.

Guy Gresham, board advisor di Yale’s Initiative for Sustainable Finance, menyebut bahwa CEO idealnya dipandang sebagai fasilitator, bukan arbiter. “Tugas mereka adalah memastikan setiap perspektif didengar, memisahkan kepentingan pribadi dari prinsip, dan membawa dewan kembali ke prioritas perusahaan,” ujarnya.

Hal ini penting, sebab cara konflik ditangani sering kali memengaruhi kepercayaan investor. Bagi CEO, peran sebagai penengah bisa menjadi jembatan antara perbedaan pandangan yang keras dengan arah kebijakan yang solid.

Mengapa CEO Perlu Turun Tangan?

Tidak semua dewan direksi bekerja dengan dinamika yang sama. Ada dewan yang sangat aktif sehingga peran CEO lebih terbatas pada penyediaan data dan opini, ada pula dewan yang pasif dan jarang memperdebatkan keputusan penting. Namun, dalam kebanyakan perusahaan, CEO dituntut ikut aktif memengaruhi dan membangun konsensus.

Profesor Jo-Ellen Pozner dari Santa Clara University menjelaskan bahwa konflik di dewan sebaiknya dikelola dengan norma task conflict—perdebatan sehat yang berbasis data, bukan politik internal. Tantangannya bagi CEO adalah bagaimana memfasilitasi perbedaan tersebut agar berujung pada keputusan kolektif yang legitimate.

Lima Langkah CEO dalam Menyelesaikan Konflik Dewan

Maria Doughty, CEO The Chicago Network, menyarankan lima taktik utama yang bisa diterapkan CEO untuk meredam konflik dewan tanpa harus memihak:

  1. Fokus pada tujuan bersama
    Ingatkan dewan pada misi, visi, nilai, serta tujuan jangka panjang perusahaan. Ini membantu semua pihak melihat gambaran besar, bukan hanya kepentingan sesaat.
  2. Fasilitasi komunikasi terbuka
    Dorong diskusi informal sebelum rapat formal agar kekhawatiran bisa diungkap tanpa tekanan. Hal ini menciptakan transparansi dan psychological safety.
  3. Tegakkan protokol pengambilan keputusan
    Gunakan proses yang jelas dan disepakati bersama dalam membahas isu krusial. Misalnya, melalui kerangka kerja tertulis atau digital yang mengurangi ambiguitas.
  4. Promosikan rasa hormat dan diplomasi
    CEO harus menjadi teladan dalam menjaga percakapan tetap profesional, menghargai perbedaan, dan memastikan setiap suara mendapat ruang.
  5. Gunakan mediator independen bila perlu
    Jika konflik semakin tajam, libatkan konsultan tata kelola atau mediator netral. Kehadiran pihak ketiga sering membantu menetralkan suasana.

Taktik Mediasi yang Efektif

Selain lima langkah di atas, ada beberapa pendekatan praktis lain yang bisa membantu CEO menjaga keharmonisan dewan:

  • Shadow Negotiation
    Melakukan diskusi informal di luar forum resmi, baik dengan anggota dewan maupun kelompok kecil, agar perbedaan bisa dipetakan lebih awal.
  • Mendefinisikan masalah secara jelas
    CEO perlu merumuskan ulang isu yang diperdebatkan dengan bahasa yang objektif agar tidak terjadi kesalahpahaman.
  • Bekerja sama dengan Lead Independent Director (LID)
    Hubungan baik dengan LID atau ketua dewan bisa menjadi jalan keluar. LID dapat membantu menyampaikan informasi teknis, mengingatkan kembali batasan peran, atau bahkan menjadi bridge antara dewan dan manajemen.

Mengelola Dampak Pasca-Keputusan

Konflik dewan tidak serta-merta selesai setelah keputusan diambil. Terkadang, anggota dewan yang pandangannya kalah bisa menyimpan kekecewaan. Di sinilah kecerdasan emosional CEO diuji.

Guy Gresham menekankan pentingnya tindak lanjut pribadi, misalnya dengan melakukan percakapan empat mata beberapa hari setelah rapat. “Itu menunjukkan kepedulian sekaligus mengubah frustrasi menjadi kontribusi positif,” katanya.

Dengan pendekatan ini, CEO bisa memastikan bahwa konflik tidak berkembang menjadi dendam yang merugikan, melainkan menjadi energi baru bagi pengawasan dan pengambilan keputusan.

Menjadi CEO bukan hanya soal memimpin organisasi, tetapi juga soal menjadi penjaga harmoni di level tertinggi tata kelola. Dengan memainkan peran sebagai fasilitator, mediator, dan integrator, seorang CEO dapat membantu dewan direksi mengelola konflik tanpa kehilangan fokus pada tujuan utama: keberlanjutan dan kesuksesan jangka panjang perusahaan.