(Business Lounge – Health) Seiring bertambahnya usia, banyak orang mulai memperhatikan perubahan kecil dalam kemampuan mengingat, fokus, atau berpikir jernih. Namun, sebuah pertanyaan penting mulai diajukan oleh para peneliti: apakah otak kita menua lebih cepat daripada tubuh kita? Kini, sains baru memberikan petunjuk menarik—dan kabar baiknya, ada cara untuk memperlambat atau bahkan membalikkan proses tersebut.
Penelitian dalam bidang neurologi dan gerontologi selama satu dekade terakhir mulai mengungkap bahwa usia kronologis—jumlah tahun sejak seseorang lahir—tidak selalu mencerminkan kondisi otaknya. Dengan kata lain, dua orang yang sama-sama berusia 60 tahun bisa memiliki kondisi otak yang sangat berbeda. Yang satu masih mampu menyelesaikan teka-teki silang dalam hitungan menit, yang lain bahkan kesulitan mengingat nama cucunya. Perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor genetik, tetapi lebih banyak oleh kebiasaan dan gaya hidup yang dijalani selama bertahun-tahun.
Menurut sejumlah studi yang dimuat dalam Nature Aging dan Neuron, konsep “usia otak” kini menjadi perhatian serius para ilmuwan. Teknologi neuroimaging (pencitraan otak) dan kecerdasan buatan memungkinkan peneliti memetakan fungsi otak secara lebih akurat dan memperkirakan “usia biologis otak”—sebuah ukuran baru yang menunjukkan apakah otak seseorang lebih muda atau lebih tua dari usia biologisnya. Hasilnya menakjubkan. Banyak individu sehat yang ternyata memiliki otak dengan tanda-tanda penuaan dini, bahkan di usia 40-an. Di sisi lain, ada juga individu lansia yang memiliki struktur otak yang masih lentur dan efisien layaknya usia 30-an.
Apa sebenarnya yang menyebabkan otak menua lebih cepat? Jawabannya bukan satu faktor tunggal, melainkan kombinasi yang saling berkaitan kurang tidur, pola makan buruk, kurang bergerak, stres kronis, kesepian, dan paparan racun lingkungan seperti polusi udara atau zat adiktif. Setiap faktor itu bisa merusak sel saraf atau mempercepat peradangan di otak—dua kondisi yang sangat berperan dalam penuaan otak.
Beberapa gejala penuaan otak dini sering kali diabaikan karena dianggap sepele. Lupa menaruh kunci, sulit mengingat nama seseorang yang dikenal baik, kehilangan minat pada hal-hal baru, kesulitan fokus, atau merasa “kabur” secara mental sering kali tidak dianggap serius. Namun menurut tim peneliti dari Harvard Medical School, ini bisa jadi sinyal bahwa fungsi kognitif mulai menurun, bahkan jika seseorang belum mengalami gangguan seperti demensia atau Alzheimer.
Satu kabar baik yang muncul dari penelitian ini adalah bahwa otak bersifat sangat plastis. Artinya, otak bisa berubah dan beradaptasi sepanjang hidup, asalkan diberi stimulasi dan lingkungan yang tepat. Ini berbeda dengan anggapan lama bahwa sel-sel otak yang mati tidak bisa tergantikan. Sekarang kita tahu bahwa neuroplastisitas dan neurogenesis (pembentukan sel saraf baru) tetap terjadi bahkan di usia tua, meskipun pada tingkat yang lebih lambat. Maka dari itu, menjaga otak tetap aktif dan sehat adalah pilihan sadar, bukan sekadar warisan genetik.
Tidur menjadi salah satu pilar utama dalam kesehatan otak. Selama tidur nyenyak, otak membersihkan limbah metabolik melalui sistem glikemfatik yang baru ditemukan dalam dekade terakhir. Jika seseorang tidur kurang dari enam jam per malam secara konsisten, maka sistem pembersih ini tidak bekerja optimal. Akibatnya, protein beta-amiloid—yang terkait erat dengan Alzheimer—bisa menumpuk di otak. Peneliti dari University of California, Berkeley menunjukkan bahwa kualitas tidur buruk dalam jangka panjang berhubungan langsung dengan penyusutan volume otak di area penting untuk ingatan seperti hipokampus.
Faktor penting lainnya adalah pola makan. Penelitian dari Mayo Clinic dan Mediterranean Neurological Institute menunjukkan bahwa pola makan ala Mediterania—yang kaya akan ikan, minyak zaitun, sayur hijau, kacang-kacangan, dan buah beri—mampu menurunkan risiko penurunan kognitif hingga 35 persen. Nutrisi seperti asam lemak omega-3, vitamin B12, dan antioksidan memainkan peran penting dalam melindungi jaringan saraf dari stres oksidatif dan peradangan. Sebaliknya, makanan olahan tinggi gula, lemak trans, dan zat aditif justru mempercepat penuaan otak dengan memicu peradangan kronis tingkat rendah.
Aktivitas fisik juga menjadi faktor yang tak bisa diabaikan. Jalan kaki 30 menit sehari, tiga hingga lima kali seminggu, telah terbukti meningkatkan aliran darah ke otak dan merangsang pelepasan protein neurotropik seperti BDNF (brain-derived neurotrophic factor). Protein ini berperan penting dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel saraf baru. Dalam sebuah studi yang dilakukan di Columbia University, peserta usia 60-an yang rutin berjalan kaki selama enam bulan menunjukkan peningkatan ketebalan korteks otak dan perbaikan skor tes kognitif secara signifikan dibanding kelompok yang tidak aktif.
Menariknya, aktivitas sosial dan kognitif ternyata tidak kalah penting. Penelitian dari National Institute on Aging menunjukkan bahwa keterlibatan sosial aktif dapat mengurangi risiko penurunan kognitif sebesar 30 persen. Bermain dengan cucu, berdiskusi, ikut komunitas, atau sekadar rutin berbincang dengan teman ternyata memberi stimulasi penting bagi otak. Aktivitas seperti membaca, menulis, bermain musik, atau mempelajari bahasa baru juga memiliki efek positif terhadap konektivitas antar sel saraf.
Saat ini, beberapa perusahaan teknologi dan tim ilmuwan sedang mengembangkan alat untuk mengukur “usia otak” secara lebih personal. Salah satunya adalah Alto Neuroscience, yang bekerja sama dengan rumah sakit-rumah sakit besar di Amerika untuk menciptakan platform pemindaian otak berbasis AI. Tujuannya adalah mendeteksi secara dini tanda-tanda penurunan fungsi otak sebelum gejalanya terlihat. Platform semacam ini kelak bisa digunakan dalam pemeriksaan kesehatan rutin, seperti halnya tes tekanan darah atau kadar kolesterol. Aplikasi seperti BrainCheck bahkan sudah tersedia untuk publik dan memungkinkan pengguna mengevaluasi memori jangka pendek, kecepatan pemrosesan informasi, dan perhatian dalam waktu singkat.
Tentu saja, masih banyak yang perlu dipelajari. Beberapa ilmuwan masih berhati-hati terhadap penerapan komersial teknologi usia otak. Namun, mayoritas sepakat bahwa kesadaran terhadap kesehatan otak harus dimulai sejak usia muda. Menurut Dr. Richard Isaacson, ahli saraf dari Weill Cornell Medicine, kerusakan otak yang signifikan pada penderita Alzheimer sering kali mulai berkembang 10 hingga 20 tahun sebelum gejalanya muncul. Maka, intervensi gaya hidup harus dilakukan jauh sebelum usia lanjut.
Penting juga untuk membedakan antara penurunan kognitif normal akibat usia dengan kondisi patologis seperti demensia. Dalam penurunan kognitif ringan (mild cognitive impairment), seseorang masih bisa menjalani aktivitas harian dengan normal meskipun mengalami sedikit gangguan memori. Namun, jika seseorang mulai lupa cara menggunakan peralatan dapur, kesulitan mengenali orang dekat, atau tersesat di tempat familiar, ini bisa menjadi tanda gangguan yang lebih serius.
Penuaan otak bukanlah sesuatu yang bisa dihindari sepenuhnya, tetapi dengan gaya hidup yang tepat, kita bisa memperlambat lajunya secara signifikan. Dengan kata lain, kita mungkin tidak bisa menambah jumlah tahun hidup kita secara drastis, tetapi kita bisa menambah jumlah tahun hidup yang berkualitas—di mana kita tetap bisa berpikir jernih, merasa terhubung, dan menikmati hidup tanpa kehilangan kendali atas pikiran kita.
Peneliti kini juga mulai mengaitkan penuaan otak dengan kondisi lain seperti gangguan mood, kecemasan, dan depresi. Dalam banyak kasus, penurunan fungsi otak bukan hanya membuat seseorang menjadi pelupa, tetapi juga mempengaruhi cara mereka merespons emosi dan tekanan sehari-hari. Otak yang menua lebih cepat cenderung lebih sensitif terhadap stres dan kurang efisien dalam mengatur hormon seperti kortisol dan serotonin. Ini menjelaskan mengapa orang yang mengalami stres berat dalam jangka panjang juga berisiko lebih tinggi mengalami penurunan fungsi otak.
Salah satu konsep baru yang mulai dikembangkan adalah “resiliensi kognitif,” yaitu kemampuan otak untuk tetap berfungsi baik meskipun terjadi perubahan struktur otak akibat usia atau penyakit. Individu dengan resiliensi kognitif tinggi bisa memiliki cadangan mental yang besar karena pola hidup aktif, pendidikan tinggi, dan stimulasi otak yang konsisten. Para peneliti percaya bahwa membangun cadangan kognitif ini sejak dini akan sangat membantu di usia lanjut.
Kabar baiknya, semua orang memiliki kesempatan untuk memulai. Anda tidak perlu menjadi ilmuwan atau atlet untuk menjaga otak tetap sehat. Langkah sederhana seperti berjalan kaki rutin, mengganti camilan manis dengan buah, tidur lebih awal, menelepon sahabat lama, atau mempelajari resep baru bisa memberikan dampak besar. Seperti disampaikan oleh Dr. Yuko Hara dari Alzheimer’s Drug Discovery Foundation, kita kini hidup di era di mana otak bukan hanya organ yang dipelajari di laboratorium, tetapi sesuatu yang bisa kita rawat secara sadar setiap hari.
Kesehatan otak bukan lagi hanya soal mencegah penyakit. Ini tentang kualitas hidup—apakah Anda bisa terus berpikir jernih, membuat keputusan, mengenali orang-orang terkasih, dan menikmati hal-hal kecil hingga usia tua. Mulailah dari hari ini, dengan langkah kecil. Karena seperti kata pepatah modern “gunakan otak Anda, atau akan kehilangannya.”