Peritel Bersiap Menghadapi Ketidakpastian Ekonomi di 2025

(Business Lounge Journal – Ecomony)

Peritel di Amerika Serikat menghadapi lanskap ekonomi yang semakin tidak pasti pada 2025, dengan sejumlah merek besar seperti Target, Abercrombie & Fitch, dan Best Buy menurunkan proyeksi pertumbuhan mereka. Inflasi yang terus berlanjut dan potensi dampak ekonomi dari tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump telah membuat peritel lebih berhati-hati dalam memproyeksikan tren belanja konsumen tahun ini. Namun, di tengah tantangan ini, beberapa peritel tetap optimistis dan menemukan cara untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berubah.

Beberapa peritel besar telah memberikan sinyal bahwa mereka tidak mengharapkan pertumbuhan yang kuat di 2025. Target, misalnya, memperkirakan pertumbuhan penjualan yang datar dan mengumumkan bahwa mereka tidak lagi memberikan proyeksi keuntungan kuartalan karena volatilitas ekonomi yang diantisipasi. Best Buy memperkirakan pertumbuhan penjualan sebanding sebesar 2% atau kurang, tanpa memperhitungkan dampak tarif. CEO Best Buy, Corie Barry, menyoroti kekhawatiran akan kenaikan biaya, dengan menyatakan, “Kenaikan harga sangat mungkin terjadi karena meningkatnya biaya impor dan ketidakpastian ekonomi secara umum.”

Sementara itu, Macy’s memperkirakan sedikit penurunan dalam penjualan toko yang sebanding untuk tahun 2025, sedangkan saham Abercrombie & Fitch turun 16,5% setelah eksekutif perusahaan memperingatkan bahwa tarif akan berdampak pada biaya pengiriman dan belanja konsumen. Burlington dan Ross Stores, yang dikenal dengan model bisnis harga murah, juga menurunkan proyeksi pertumbuhan penjualan mereka, meskipun sebelumnya mereka berhasil mengungguli banyak pesaing.

Survei sentimen konsumen baru-baru ini menunjukkan bahwa masyarakat Amerika merasa lebih buruk tentang keuangan mereka dan inflasi dibandingkan dengan akhir 2024. Sebuah survei dari Universitas Michigan menemukan bahwa sentimen konsumen sempat meningkat sejak Juni, tetapi mengalami penurunan selama dua bulan berturut-turut di awal 2025. Brandon Svec, kepala analisis ritel AS di CoStar Group, mencatat, “Konsumen pada 2025 mungkin sudah terlalu terbebani untuk mempertahankan tingkat belanja yang kuat.”

Namun, segmen tertentu dalam industri ritel masih menunjukkan daya tahan. Peritel yang berfokus pada kebutuhan pokok, seperti toko grosir dan apotek, mengalami peningkatan penjualan karena konsumen tetap mengutamakan pengeluaran untuk barang esensial. Selain itu, e-commerce terus tumbuh, dengan lebih banyak peritel mengadopsi strategi digital untuk meningkatkan keterjangkauan dan kenyamanan bagi pelanggan mereka.

Selain itu, meskipun tekanan ekonomi meningkat, beberapa kelompok konsumen tetap memiliki daya beli yang kuat. Konsumen kelas atas dan mereka yang memiliki tabungan cukup masih cenderung berbelanja barang-barang mewah, sementara segmen peritel diskon juga mengalami peningkatan karena lebih banyak orang mencari alternatif yang lebih terjangkau.

Ketidakpastian yang berkelanjutan terkait tarif telah menciptakan tantangan tambahan bagi peritel. Perusahaan seperti Chipotle dan Best Buy telah menyatakan bahwa mereka mungkin harus menaikkan harga untuk mengimbangi meningkatnya biaya impor. Beberapa analis bahkan memperingatkan bahwa tekanan ekonomi ini dapat menyebabkan resesi yang disebut sebagai “perlambatan ekonomi akibat tarif”, di mana kenaikan harga akibat tarif dan ketidakpastian konsumen dapat menyebabkan kontraksi ekonomi.

Meskipun menghadapi tantangan ini, beberapa eksekutif peritel tetap optimistis. Eksekutif dari Target dan Costco menyatakan bahwa mereka memiliki fleksibilitas dalam mendapatkan pasokan produk guna mengatasi dampak tarif. Bahkan, beberapa peritel telah beralih ke pemasok domestik atau negara-negara alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada barang impor yang dikenakan tarif tinggi. Selain itu, investasi dalam otomatisasi dan efisiensi rantai pasokan menjadi prioritas utama guna menekan biaya operasional dan menjaga daya saing harga.

Ketidakpastian ekonomi global, termasuk inflasi dan tarif impor di AS, juga berpotensi mempengaruhi sektor ritel di Indonesia. Sebagai negara dengan ekonomi yang bergantung pada perdagangan internasional, Indonesia dapat merasakan dampak dari kenaikan harga barang impor dan melemahnya daya beli global. Jika konsumen di negara maju seperti AS mengurangi belanja mereka, maka permintaan terhadap produk ekspor dari Indonesia bisa ikut menurun, yang pada akhirnya berdampak pada lapangan kerja dan daya beli domestik.

Di dalam negeri, peritel menghadapi tantangan serupa, seperti inflasi yang menekan daya beli masyarakat dan perubahan pola konsumsi akibat digitalisasi. Namun, peritel Indonesia juga memiliki peluang untuk tumbuh dengan memanfaatkan e-commerce yang semakin berkembang. Platform online seperti Tokopedia, Shopee, dan Blibli terus menarik konsumen dengan berbagai promosi dan model bisnis yang lebih fleksibel dibandingkan toko fisik.

Selain itu, strategi penyesuaian rantai pasokan juga mulai diterapkan oleh peritel lokal untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan produksi dalam negeri. Pemerintah Indonesia telah mendorong penggunaan produk lokal melalui program substitusi impor dan insentif bagi industri manufaktur.

Di sektor ritel modern, seperti supermarket dan pusat perbelanjaan, inovasi menjadi kunci dalam menarik pelanggan. Banyak peritel mulai mengadopsi konsep omnichannel, menggabungkan pengalaman belanja offline dan online untuk meningkatkan kenyamanan konsumen. Selain itu, peritel juga memperluas kategori produk dengan menambahkan lebih banyak barang kebutuhan pokok, yang lebih tahan terhadap fluktuasi ekonomi dibandingkan produk discretionary seperti fashion dan elektronik.

Selain ritel konvensional, sektor UMKM di Indonesia juga mengambil langkah untuk beradaptasi dengan situasi ekonomi yang menantang. Dengan bantuan teknologi digital dan berbagai program pendanaan dari pemerintah, pelaku usaha kecil dan menengah semakin memiliki peluang untuk memperluas jangkauan mereka, baik di pasar domestik maupun internasional.

Dengan banyak peritel yang bersiap menghadapi tahun yang menantang, prospek ekonomi secara keseluruhan tetap tidak pasti. Peritel harus menavigasi lingkungan yang bergejolak, ditandai oleh inflasi, tarif, dan perubahan perilaku konsumen. Sementara beberapa perusahaan mencari cara untuk beradaptasi, banyak yang mengambil pendekatan hati-hati, menyadari bahwa margin kesalahan di 2025 lebih kecil dari sebelumnya.

Namun, inovasi dan adaptasi tetap menjadi kunci untuk bertahan. Perusahaan yang berinvestasi dalam digitalisasi, pengalaman belanja berbasis teknologi, serta strategi penetapan harga yang fleksibel berpeluang lebih besar untuk melewati tantangan ini dengan sukses. Seperti yang dikatakan John Mercer, kepala penelitian global di Coresight, “Ada begitu banyak ketidakpastian sehingga perusahaan ingin bermain aman dengan proyeksi keuangan mereka, tetapi mereka yang bisa beradaptasi dengan cepat akan memiliki keunggulan.”

Dengan strategi yang tepat, beberapa peritel masih dapat meraih kesuksesan di tengah tantangan ekonomi yang ada. Apakah belanja konsumen akan pulih atau terus melemah tetap menjadi pertanyaan krusial bagi industri ritel dalam beberapa bulan mendatang.