AI dan Manusia di Dunia Kerja: Kolaborasi atau Kompetisi?

(Business Lounge Journal – Human Resources)

Kemunculan ChatGPT dua tahun lalu telah membawa perubahan besar di dunia kerja, menandai era ekspansi pesat kecerdasan buatan (AI). Namun, di balik potensi efisiensi dan inovasi yang ditawarkan, tersembunyi kekhawatiran mendalam di kalangan pekerja. Sebuah survei dari Pew Research Center yang dilakukan terhadap para pekerja di Amerika Serikat mengungkapkan perasaan campur aduk mengenai dampak teknologi ini terhadap masa depan pekerjaan.

Pew Research Center melakukan survei terhadap 5.273 orang dewasa AS yang bekerja paruh waktu atau penuh waktu, untuk memahami pandangan mereka tentang penggunaan AI di tempat kerja. Survei ini dilaksanakan pada tanggal 7-13 Oktober 2024.

Kekhawatiran dan Harapan yang Saling Bertolak Belakang

Hasil survei menunjukkan bahwa sekitar setengah dari pekerja (52%) merasa khawatir tentang dampak penggunaan AI di tempat kerja di masa depan. Sebanyak 32% pekerja percaya bahwa AI akan menyebabkan pengurangan peluang kerja dalam jangka panjang. Di sisi lain, 36% pekerja merasa berharap tentang potensi manfaat AI, namun jumlah yang hampir sama (33%) merasa kewalahan menghadapi perubahan yang dibawa oleh teknologi ini.

Penggunaan AI di Tempat Kerja: Realita Saat Ini

Saat ini, sekitar satu dari enam pekerja (16%) mengakui bahwa setidaknya sebagian pekerjaan mereka dilakukan dengan AI. Tambahan 25% pekerja menyatakan bahwa, meskipun mereka tidak banyak menggunakannya saat ini, setidaknya sebagian pekerjaan mereka dapat dilakukan dengan AI. Angka ini menunjukkan adopsi AI yang semakin meningkat, terutama di kalangan pekerja muda dan mereka yang berpendidikan tinggi.

Temuan Utama Survei

Survei ini juga mengungkapkan beberapa temuan penting. Hanya 6% pekerja yang optimistis bahwa penggunaan AI di tempat kerja akan meningkatkan peluang kerja mereka dalam jangka panjang. Sebaliknya, 32% khawatir akan terjadi pengurangan peluang, dan 31% berpendapat bahwa dampaknya tidak akan signifikan. Pekerja dengan pendapatan rendah dan menengah menunjukkan tingkat kekhawatiran yang lebih tinggi mengenai potensi pengurangan peluang kerja, sementara pekerja dengan pendapatan tinggi cenderung melihat dampak yang minimal. Mayoritas pekerja Amerika (63%) menyatakan bahwa mereka tidak banyak atau sama sekali tidak menggunakan AI dalam pekerjaan mereka. 16% teridentifikasi sebagai pengguna AI, dan 81% sebagai bukan pengguna AI. Pengguna AI cenderung lebih muda dan memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Peran dan Efektivitas Chatbot AI

Sekitar satu dari sepuluh pekerja menggunakan chatbot AI seperti ChatGPT, Gemini, atau Copilot secara rutin di tempat kerja. Penggunaan chatbot AI paling umum adalah untuk penelitian, pengeditan konten tertulis, dan penyusunan konten tertulis. Pekerja yang menggunakan chatbot AI lebih cenderung menilai efektivitasnya dalam mempercepat pekerjaan dibandingkan meningkatkan kualitasnya. Pekerja berusia 18 hingga 49 tahun lebih cenderung merasakan manfaat signifikan dari chatbot AI dalam hal kecepatan dan kualitas pekerjaan dibandingkan pekerja berusia 50 tahun ke atas.

Penggunaan AI secara Global

Ya, kecerdasan buatan (AI) memang berkembang sangat pesat di Amerika Serikat dengan perusahaan-perusahaan raksasa seperti Google, Microsoft, dan OpenAI yang mendominasi inovasi. Namun, realitasnya, perkembangan AI telah merambah ke berbagai negara di seluruh dunia, membentuk cara kerja di berbagai sektor dan menciptakan tantangan serta peluang baru bagi tenaga kerja global.

Di Tiongkok, AI digunakan secara luas dalam sistem pengenalan wajah dan otomatisasi layanan pelanggan. Negara ini juga mengembangkan model AI canggih seperti Ernie dari Baidu, yang menjadi pesaing ChatGPT. Belum lagi kemunculan DeepSeek yang menghebohkan yang menunjukkan kinerja sebanding dengan model-model terkemuka dunia, meskipun menggunakan perangkat keras yang lebih sederhana.

Sementara itu, di Eropa, AI diterapkan dalam industri manufaktur dan kesehatan, dengan perusahaan-perusahaan seperti Siemens dan DeepMind berkontribusi pada inovasi di bidang otomasi dan penelitian medis.

Di India, AI digunakan untuk meningkatkan efisiensi dalam layanan keuangan dan pendidikan, dengan startup seperti Unacademy yang memanfaatkan AI untuk personalisasi pengalaman belajar. Bahkan di Afrika, teknologi AI telah dimanfaatkan untuk meningkatkan pertanian, dengan aplikasi berbasis kecerdasan buatan membantu petani dalam menganalisis cuaca dan kondisi tanah.

Melihat tren ini, berbagai riset dan survei telah dilakukan untuk memahami bagaimana AI membentuk masa depan pekerjaan di berbagai negara. Berikut adalah beberapa temuan utama terkait dampak teknologi ini terhadap dunia kerja secara global:

  1. Survei Global PwC (Juni) 2024: Dalam survei yang melibatkan lebih dari 56.000 pekerja dari 50 negara, 46% responden percaya bahwa perubahan teknologi, termasuk AI dan robotika, akan berdampak signifikan pada pekerjaan mereka dalam tiga tahun ke depan. Selain itu, 63% pekerja merasa bahwa Generative AI (GenAI) dapat meningkatkan efisiensi waktu kerja mereka.
  2. Laporan Dana Moneter Internasional (IMF) berjudul “Gen-AI: Artificial Intelligence and the Future of Work,” yang diterbitkan pada Januari 2024, menyoroti dampak signifikan kecerdasan buatan (AI) terhadap pasar tenaga kerja global. Laporan ini menggarisbawahi bahwa negara-negara dengan ekonomi maju kemungkinan akan merasakan dampak AI lebih awal dibandingkan dengan negara-negara berkembang, terutama karena struktur pekerjaan mereka yang lebih berfokus pada peran-peran kognitif. Selain itu, laporan tersebut mencatat bahwa kelompok tertentu, seperti perempuan dan individu dengan pendidikan tinggi, lebih terekspos terhadap AI namun juga berada pada posisi yang lebih baik untuk memanfaatkan manfaatnya. Sebaliknya, pekerja yang lebih tua mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan teknologi baru ini.
  3. Laporan terbaru dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang membahas kekurangan keterampilan di sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Menurut pernyataan Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor Leste, Michiko Miyamoto, Indonesia diperkirakan membutuhkan 9 juta talenta digital pada tahun 2030 untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital yang pesat.

Selain itu, Rencana Strategis Badan Litbang SDM 2020-2024 juga menyoroti adanya kesenjangan keterampilan (skills gap) di Indonesia, dengan kekurangan tenaga kerja semi-terampil dan terampil diperkirakan mencapai 9 juta orang pada periode 2015-2030.

Temuan-temuan ini menekankan pentingnya investasi dalam pengembangan keterampilan digital dan strategi migrasi tenaga kerja yang efektif untuk memenuhi kebutuhan sektor TIK di Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi di era digital.

Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa teknologi memiliki dampak signifikan terhadap masa depan pekerjaan di berbagai negara. Meskipun ada potensi peningkatan efisiensi dan produktivitas, tantangan seperti pengangguran, kesenjangan keterampilan, dan ketidaksetaraan akses teknologi perlu diantisipasi dan dikelola dengan bijak.

Menghadapi AI: Haruskah Kita Khawatir atau Justru Beradaptasi?

Melihat berbagai temuan dari laporan dan survei global, wajar jika ada kekhawatiran mengenai dampak AI terhadap masa depan pekerjaan. Perubahan yang dibawa oleh teknologi ini tidak hanya menciptakan efisiensi, tetapi juga menggeser kebutuhan keterampilan dan bahkan menggantikan beberapa jenis pekerjaan tradisional. Namun, sejarah menunjukkan bahwa setiap revolusi teknologi selalu menciptakan peluang baru, dan AI bukan pengecualian.

Alih-alih hanya merasa khawatir, langkah terbaik adalah beradaptasi dan mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk tetap relevan dan berkompetisi dengan AI antara lain:

  1. Meningkatkan Keterampilan Digital
    Memahami dasar-dasar AI, analisis data, dan pemrograman dapat menjadi nilai tambah dalam berbagai industri.
  2. Mengembangkan Soft Skills
    Kemampuan seperti kreativitas, empati, pemecahan masalah, dan komunikasi masih sulit digantikan oleh AI dan akan tetap bernilai tinggi di dunia kerja.
  3. Terus Belajar dan Beradaptasi
    Dunia kerja semakin dinamis, sehingga terus memperbarui keterampilan dan berinvestasi dalam pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning) menjadi kunci.
  4. Menggunakan AI sebagai Alat, Bukan Ancaman
    Menguasai AI dan memanfaatkannya untuk meningkatkan produktivitas akan lebih menguntungkan daripada menganggapnya sebagai ancaman yang harus dilawan.

Dengan pendekatan yang tepat, AI bukanlah akhir dari pekerjaan manusia, melainkan alat yang dapat membantu kita bekerja lebih cerdas dan efisien. Yang terpenting adalah bagaimana kita beradaptasi dengan perubahan ini dan mengambil manfaat dari teknologi untuk berkembang dalam dunia kerja yang terus berubah.