Starbucks Ingin Membangun Kedekatan Lewat Catatan di Gelas, Tapi Malah Jadi Kekacauan

(Business Lounge Journal – News and Insight)

Starbucks tampaknya salah perhitungan dengan kebijakan barunya yang mewajibkan barista di gerai Starbucks seluruh Amerika untuk menulis pesan pribadi di setiap gelas pelanggan. Alih-alih menciptakan momen berkesan, kebijakan ini justru memicu kebingungan, kritik, dan respons kurang antusias di media sosial.

Sejak diperkenalkan beberapa minggu lalu, aturan ini telah menjadi bahan perbincangan hangat. Salah satu video viral di TikTok dengan lebih dari 140.000 likes menampilkan gelas Starbucks dengan pesan bernada menggoda dan caption, “Kebijakan baru Starbucks bakal merusak hubungan orang, karena ini apa maksudnya?” Sementara itu, pengguna lain mengungkapkan kekecewaannya, “Dulu kalau dapat pesan di gelas, rasanya menyenangkan. Tapi kalau ini jadi wajib, malah jadi biasa aja…”

Bagian dari Rencana “Back to Basics”

Inisiatif ini merupakan bagian dari strategi “Back to Basics” yang dicanangkan CEO Starbucks, Brian Niccol, untuk mengembalikan citra premium perusahaan. Mulai 24 Februari, pesan-pesan tulisan tangan di gelas akan menjadi aturan wajib, dengan saran untuk mencantumkan nama pelanggan atau kata-kata penyemangat seperti “Seize the day.” Starbucks juga berjanji akan menambah jam kerja karyawan guna mengakomodasi kebijakan ini.

Langkah ini diambil setelah Starbucks mengalami penurunan penjualan selama empat kuartal berturut-turut. Selain kebijakan pesan di gelas, Starbucks juga menerapkan berbagai perubahan lain, seperti membatasi pesanan mobile hingga 12 item per pelanggan, menghadirkan kembali meja bumbu (condiment bar) dan cangkir keramik di gerai, serta menyiapkan iklan khusus untuk tayangan Super Bowl guna memperkuat brand.

Perubahan Besar di Starbucks

Tak hanya itu, Starbucks juga memangkas 30% menu mereka dengan menghilangkan item yang kurang diminati. Perusahaan berjanji untuk menyajikan kopi segar hanya dalam waktu empat menit dan menambah pilihan vegan seperti falafel. Biaya tambahan untuk susu non-dairy juga dihapus, sementara harga menu akan tetap stabil hingga tahun fiskal 2025.

Untuk meningkatkan operasional, Starbucks merekrut dua mantan eksekutif Taco Bell untuk menangani pengalaman pelanggan. Namun, kebijakan baru ini muncul di tengah kebuntuan negosiasi kontrak dengan pekerja yang menuntut gaji dan kondisi kerja lebih baik. Ironisnya, meskipun Starbucks berencana merekrut lebih banyak karyawan, perusahaan juga bersiap melakukan PHK, meski belum ada informasi jelas mengenai jumlah dan posisi yang terdampak. CEO Niccol menyatakan bahwa rincian lebih lanjut akan diumumkan dalam 60 hari ke depan.

Di sisi lain, seperti telah pernah kita bahas bahwa Starbucks juga mencabut kebijakan akses toilet gratis bagi semua orang dan kini membatasi penggunaannya hanya untuk pelanggan. Keputusan ini merupakan pembalikan dari kebijakan tahun 2018, yang dibuat setelah insiden di Philadelphia di mana dua pria kulit hitam ditangkap saat menunggu teman mereka di dalam gerai Starbucks.

Perusahaan juga berencana meningkatkan keamanan di toko-tokonya, meskipun belum mengungkapkan detailnya. Niccol menyebut bahwa Starbucks mungkin akan menutup beberapa gerai jika pekerja merasa tidak aman.

Secara keseluruhan, perubahan besar yang dilakukan Starbucks adalah upaya untuk mengembalikan kejayaan mereknya. Namun, apakah strategi ini akan sukses atau justru membawa tantangan baru?

Kebijakan Starbucks dan Tantangan dalam Meningkatkan Loyalitas Pelanggan

Kebijakan baru Starbucks di AS, yang mewajibkan barista menulis pesan di gelas pelanggan, memperlihatkan strategi perusahaan dalam membangun hubungan yang lebih personal. Namun, reaksi negatif menunjukkan bahwa eksekusi kebijakan ini belum tentu efektif dalam meningkatkan loyalitas pelanggan.

Kebijakan ini menunjukkan dilema klasik dalam strategi branding: bagaimana menjaga keseimbangan antara skala besar dan interaksi personal. Starbucks ingin mengembalikan kedekatan dengan pelanggan, tetapi jika pelaksanaannya tidak memperhitungkan pengalaman di lapangan, kebijakan ini justru bisa memperburuk citra mereka.

Apa pendapatmu? Apakah menurutmu kebijakan ini bisa berhasil jika diterapkan dengan cara yang lebih baik?