Amazon Tunda Kebijakan Kembali ke Kantor Penuh Waktu Akibat Kekurangan Ruang dan Penolakan Karyawan

(Business Lounge Journal – Global News)

Amazon, raksasa e-commerce dunia, dilaporkan menunda penerapan kebijakan kembali ke kantor (RTO – Return to Office) secara penuh waktu yang mewajibkan karyawan bekerja lima hari seminggu di kantor. Penundaan ini disebabkan oleh dua faktor utama: kekurangan ruang kantor yang memadai dan penolakan dari sebagian karyawan.

Perusahaan sebelumnya telah mengumumkan rencana untuk mewajibkan seluruh karyawan kembali bekerja di kantor lima hari seminggu mulai 2 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan langkah mundur dari fleksibilitas kerja yang diterapkan selama pandemi COVID-19 dan lebih ketat dibandingkan kebijakan sebelum pandemi, serta lebih kaku dibandingkan beberapa pesaing Amazon.

Menurut laporan Business Insider, yang mengutip pemberitahuan internal perusahaan, beberapa lokasi kantor Amazon, terutama di kota-kota seperti Atlanta, Houston, Nashville, dan New York, belum siap untuk menampung seluruh karyawan yang seharusnya kembali bekerja di kantor. Akibatnya, karyawan di lokasi-lokasi tersebut menerima pemberitahuan bahwa mereka dapat melanjutkan pengaturan kerja hibrida hingga kantor mereka siap secara fisik. Penundaan ini diperkirakan dapat berlangsung hingga Mei 2025, meskipun Amazon berharap sebagian besar ruang kerja akan siap pada Januari 2025.

Keputusan Amazon untuk mewajibkan kembali kehadiran penuh di kantor didasari oleh pernyataan CEO Amazon, Andy Jassy, dalam memo yang dikirimkan kepada staf pada pertengahan September lalu. Jassy menguraikan keputusan perusahaan untuk “kembali ke kantor seperti sebelum pandemi,” dengan keyakinan bahwa interaksi tatap muka di kantor penting untuk kolaborasi, inovasi, dan penguatan budaya perusahaan.

Pernyataan senada juga dilontarkan oleh CEO Amazon Web Services (AWS), Matt Garman, pada pertengahan Oktober. Garman mengklaim bahwa inovasi sulit dicapai “jika kita tidak bertemu langsung.” Namun, pernyataan ini langsung menuai kritik dan penolakan keras dari karyawan, terutama mereka yang telah terbiasa dengan fleksibilitas kerja jarak jauh. Banyak karyawan merasa “terkejut” dan “kecewa” dengan pernyataan tersebut dan kebijakan yang menyertainya. Mereka berpendapat bahwa produktivitas dan inovasi tidak selalu bergantung pada kehadiran fisik di kantor dan fleksibilitas kerja jarak jauh memberikan manfaat yang signifikan bagi keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance).

Kebijakan lima hari kerja di kantor ini juga dianggap lebih ketat dari yang berlaku sebelum pandemi, di mana beberapa tim memiliki fleksibilitas yang lebih besar. Hal ini juga menempatkan Amazon pada posisi yang lebih kaku dibandingkan beberapa pesaingnya yang menawarkan opsi kerja yang lebih fleksibel.

Ini bukan pertama kalinya rencana RTO Amazon menghadapi kendala. Ketika perusahaan pertama kali mewajibkan karyawan kembali ke kantor tiga hari seminggu tahun lalu, banyak lokasi juga tidak siap menampung semua pekerja. Sekarang, dengan masalah ruang yang belum terselesaikan, Amazon menghadapi tantangan untuk meyakinkan karyawan agar kembali ke kantor sesuai target, terlepas dari kesiapan fisik ruang kerja mereka.

Kebijakan kembali ke kantor yang ketat juga diterapkan oleh peritel besar lainnya, seperti Starbucks dan Walmart, menunjukkan tren di beberapa industri untuk mengurangi atau menghapus opsi kerja jarak jauh. Namun, penolakan dari karyawan Amazon menyoroti tantangan yang dihadapi perusahaan dalam menyeimbangkan kebutuhan bisnis dengan preferensi dan harapan tenaga kerja yang semakin terbiasa dengan fleksibilitas kerja.

Penundaan ini memberikan waktu bagi Amazon untuk menyelesaikan masalah ruang kantor dan berpotensi mempertimbangkan kembali pendekatan mereka terhadap kebijakan kerja di masa depan, mengingat kuatnya penolakan dari karyawan.