(Business Lounge Journal – Medicine)
Banyak juga orang yang menderita gejala COVID yang berkepanjangan. Setelah beberapa bulan mereka masih merasakan adanya gejala bahkan serangan COVID-19 yang tiba-tiba. Hal yang terbanyak adalah keluhan tubuh masih terasa mudah lelah, namun ada juga yang mengalami hipoksia hingga meninggal karena masalah pembekuan darah (blood clotting) yang tidak terdeteksi. Hingga saat ini di Indonesia, hal ini belum didata dan diteliti lebih lanjut.
Setelah infeksi, gejala awal beberapa orang tidak mereda, sementara orang lain mengembangkan gejala yang sama sekali baru yang dapat mempengaruhi banyak organ dan sistem. Penelitian di Amerika telah mendokumentasikan ratusan masalah yang masih ada pada penyintas, tetapi kelelahan yang intens; nyeri dada; masalah memori dan konsentrasi, sering disebut sebagai “kabut otak”; sesak napas; dan hilangnya rasa dan bau adalah hal biasa. Hal ini bukan hanya menimpa penyintas yang pernah dirawat di ICU saja. Banyak orang muda, yang sebelumnya sehat, yang mengalami infeksi awal ringan atau bahkan tanpa gejala kemudian mengalami perjuangan melawan COVID yang berkepanjangan. Beberapa gejala orang berlarut-larut selama berbulan-bulan setelah infeksi akut mereka, sementara gejala yang lain surut dan kemudian kambuh lagi.
Sebenarnya bagi ahli kesehatan masyarakat, peneliti medis dan penyedia layanan kesehatan, adalah sangat penting untuk memahami penyebab, faktor risiko, dan spektrum gejala. Masalahnya adalah sesudah Anda terkena COVID-19 dan dinyatakan sembuh tidak ada tanda tunggal atau uji laboratorium yang dapat membedakan sindrom ini dari yang lain.
Dr John Brooks, kepala petugas medis untuk tanggapan COVID dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika mengatakan, “Memiliki sesuatu yang dapat kami gunakan untuk menentukan kasus [post COVID lama] sangat penting untuk melacak berapa banyak orang yang tertular dan seberapa baik mereka melakukannya, dan untuk menetapkan kriteria penelitian untuk uji klinis.”
Mari kita lihat pembelajaran dari New York. Dari data yang diperoleh dari aplikasi yang dibuat Sistem Kesehatan Mount Sinai untuk memantau pasien COVID di rumah, pada awal Mei 2019 tampak jelas bahwa sekitar 10% dari pasien yang tidak dirawat di rumah sakit ini tidak membaik. Banyak yang lebih muda dan sampai mereka sakit, lebih sehat daripada rata-rata pasien COVID. Mereka berjuang dengan gejala baru yang tidak mereka alami pada penyakit asli mereka, seperti jantung berdebar-debar dan kelelahan yang ekstrem.
Tim interdisipliner mulai melihat bahwa 30% dari pasien memiliki gejala persisten yang merupakan kelanjutan dari yang mereka alami ketika mereka sakit parah, 70% lainnya cenderung memiliki gejala baru yang spesifik untuk COVID jangka panjang. Hal ini dijelaskan oleh David Putrino, Direktur Inovasi Sistem Rehabilitasi Mount Sinai.
Putrino mencatat bahwa beberapa gejala yang dikeluhkan oleh penular jarak jauh COVID serupa dengan gejala yang memengaruhi orang dengan “sindrom pasca-virus” yang sedang dalam pemulihan dari infeksi serius seperti Ebola dan Zika virus. Dr Steven Deeks, seorang profesor kedokteran di Universitas California-San Francisco yang melacak orang dengan gejala COVID yang lama mengatakan infeksi virus-virus ini dapat menyebabkan peradangan parah dan gejala sisa yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Ada beberapa teori tentang apa yang menyebabkan COVID berkepanjangan.
Dr. Michael Saag, seorang profesor kedokteran dan penyakit menular di Universitas Alabama-Birmingham mengatakan, “Sistem kekebalan tubuh terus berperang melawan yang dianggapnya musuh, karena belum ada kabar bahwa perang telah berakhir”. Atau bisa juga jaringan tubuh mungkin telah rusak selama respons imun awal, menyebabkan gejala jangka panjang. Ada lagi ahli yang berpendapat gejala yang dialami penyintas adalah psikosomatis.
Jadi kesimpulannya sebenarnya belum ada kejelasan hingga saat ini apa yang telah dialami oleh para penyintas yang masih merasakan gejala jangka panjang dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.