Vaksin DBD, Solusikah?

Nyamuk Aedes Aegypti

Buah duren masih ada musimnya, begitu juga buah rambutan, dan mangga. Tetapi tidak dengan DBD.

(Business Lounge Journal – Healthy Wealthy) Kira-kira hampir 7 tahun yang lalu, dunia bisnis tiba-tiba dikejutkan dengan berpulangnya seorang CEO salah satu perusahaan besar di Indonesia akibat penyakit demam berdarah (DBD). Saya tidak bisa melupakan peristiwa ini, sebab terjadi dengan begitu cepat dan mengagetkan. Berdasarkan apa yang dituliskan detik.com, beliau menderita DBD akut yang terlambat ditangani, walaupun ia sempat dilarikan ke Singapura. Penyakit yang seringkali dianggap sepele ini memang tidak memandang kedudukan dan jabatan, dapat hinggap kepada siapa saja bahkan sampai merenggut nyawa seorang yang begitu penting. Benar-benar tidak dapat dipandang sebelah mata.

Memang tidak seperti musim duren atau rambutan

Buah duren masih ada musimnya, begitu juga buah rambutan, dan mangga. Tetapi tidak dengan DBD. Semasa saya bekerja di rumah sakit, hampir setiap hari ada saja pasien baru yang dirawat karena terjangkit DBD. Rasanya dokter-dokter di Indonesia sudah sangat familiar dengan gejala, pemeriksaan fisik, dan terapi bagi pasien DBD. Bahkan tidak sedikit juga pasien yang lebih dari sekali mengalami DBD.

Tetapi pada kenyataannya, tidak semua pasien memandang DBD sebagai suatu penyakit yang perlu diwaspadai, walaupun saya yakin bahwa semua pasien itu pun menyadari benar bahwa DBD bisa dapat menjadi sangat mematikan.

Namun demikian, Anda pasti percaya jika saya katakan bahwa kebanyakan orang yang saya temui akan berkomentar bahwa penyakit ini bukan lagi sesuatu yang menakutkan. “Ah, paling cuma diinfus doang,” komentar yang paling sering saya dengar dari para pasien atau keluarga pasien.

Tetapi bagaikan bumi dan langit, pasien-pasien WNA yang saya tangani akan merasa sangat ketakutan pada saat divonis terserang DBD. Tidak jarang mereka yang memiliki manfaat evakuasi dari asuransi yang mereka miliki, lebih memilih untuk segera diterbangkan ke Singapura untuk mengantisipasi bila mana mereka membutuhkan transfusi darah yang mungkin saja akan lebih sulit untuk didapatkan di Indonesia.

Kelihatannya Indonesia memang sudah sangat akrab dengan penyakit ini. Mulai dari Puskesmas hingga Rumah Sakit sudah terbiasa menangani dampak gigitan si nyamuk Aedes Aegypti, asalkan si pasien tidak terlambat ke Rumah Sakit. Akan sangat menyedihkan, bila terjadi kasus keterlambatan penanganan yang mengakibatkan kematian, sebab DBD dapat menimbulkan syok dan perdarahan yang berat.

Di Jepang, Takeda membuat Denguevax, sedangkan para ahli India dan USA juga melakukan kerja sama untuk mengembangkan vaksin DBD. Tidak ketinggalan Biofarma Indonesia yang juga mencoba membuat vaksin yang lebih cocok dengan kondisi di Indonesia, namun setelah dicoba, vaksin tersebut ternyata belum cukup kuat menangkal DBD.

Dengue

Dengue adalah penyakit flavivirus yang ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes Aegypti yang telah menyebar ke sebagian besar wilayah subtropis dan tropis. Hampir 100 juta orang di seluruh dunia setiap tahun terserang DBD. Sebagai negara tropis, tidak heran bila di Indonesia, kasus DBD akan selalu ada, terlebih di musim hujan.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan data bagaimana 75% kasus dengue di dunia berada di Asia Pasifik antara tahun 2004 dan 2010, dengan Indonesia sebagai negara ke-2 dengan kasus DBD terbesar diantara 30 negara wilayah endemis. Sebagai perbandingan, menurut data Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) pada tahun 2015, terhitung 129.179 penderita demam berdarah di 34 propinsi di Indonesia dengan 1.240 (hampir 1%) di antaranya meninggal dunia.

Sampai saat ini, belum ada terapi demam berdarah yang spesifik. Sedangkan pencegahan untuk saat ini hanya terbatas pada tindakan pengendalian nyamuk sebagai vektor. Itulah sebabnya saat pada Desember 2015 lalu, vaksin DBD mulai beredar, dunia pun menyambutnya dengan gembira dan optimis. Benarkah demikian?

Berlomba kembangkan Vaksin Dengue

Pada tahun-tahun terakhir, vaksin DBD memang telah terus dikembangkan. Di Jepang, Takeda membuat Denguevax, sedangkan para ahli India dan USA juga melakukan kerja sama untuk mengembangkan vaksin DBD. Tidak ketinggalan Biofarma Indonesia yang juga mencoba membuat vaksin yang lebih cocok dengan kondisi di Indonesia, namun setelah dicoba, vaksin tersebut ternyata belum cukup kuat menangkal DBD.

Vaksin dengue pertama yang dipasarkan bernama Dengvaxia dan dibuat oleh Sanofi Pasteur setelah melewati 20 tahun penelitian yang memakan biaya 1,5 juta USD atau setara dengan lebih dari 20 miliar rupiah. Vaksin ini untuk pertama kali dijual di Meksiko pada bulan Desember 2015 setelah melalui 24 uji klinis dengan 41.000 subyek penelitian.

Dengvaxia untuk saat ini baru bisa diberikan pada anak usia 9-16 tahun dan akan dapat bekerja untuk menangkal 4 strain: DENV1,2,3,4. Dijual dengan harga Rp.1.018.050, vaksin ini digunakan untuk satu kali suntik. Jadwal suntik 3 kali dalam setahun yaitu bulan ke-0, 6 dan 12, dengan tingkat efektifitas:

93.2% penurunan angka kejadian dengue berat

80.8% penurunan angka rawat inasp akibat dengue

65.6% pengurangan gejala dengue

Dengvaxia menjadi paling tidak efektif apabila diberikan pada mereka yang sudah memiliki kekebalan dasar oleh karena sudah pernah terinfeksi dengue sebelumnya. Sedangkan bagi mereka yang sedang terkena DBD, maka pemberian vaksin justru akan memperparah infeksi dengue karena tubuh menganggapnya sebagai infeksi kedua.

Kurang efektif

WHO telah merekomendasikan bahwa negara harus mempertimbangkan pengenalan vaksin dengue di daerah endemik.  Saat ini, selain Indonesia, maka Singapura, Thailand, Filipina, Meksiko, Brazil, dan beberapa negara lainnya sudah menerapkan hal tersebut. Namun demikian, berdasarkan penelitian yang dilakukan, Dengvaxia menjadi paling tidak efektif apabila diberikan pada mereka yang sudah memiliki kekebalan dasar oleh karena sudah pernah terinfeksi dengue sebelumnya. Sedangkan bagi mereka yang sedang terkena DBD, maka pemberian vaksin justru akan memperparah infeksi dengue karena tubuh menganggapnya sebagai infeksi kedua.

Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa vaksin ini menjadi kurang efektif terhadap DENV-1 dan DENV-2. Selain itu, belum ada cukup bukti bahwa vaksin ini bersifat aman apabila digunakan oleh mereka yang telah berusia  di atas 45 tahun.

Sedangkan untuk efek samping, sama seperti semua vaksin lainnya, Dengvaxia dapat menyebabkan efek minor, seperti, nyeri pada lengan atau demam ringan – dan  biasanya hilang dalam beberapa hari.

Bagi Indonesia, ini tentu merupakan kabar baik. Namun, kita masih menantikan vaksin dBD yang lebih tepat untuk Indonesia, yang dapat bekerja lebih efektif lagi daripada vaksin Denguevax. Jadi langkah yang terbaik adalah konsultasikan dulu dengan dokter sebelum Anda memutuskan disuntik vaksin DBD.

Namun jangan lupa untuk terus menggalakkan Gerakan 3M (menguras penampungan air, menutup tempat penampungan air, serta mendaur ulang barang bekas) sebagai pencegahannya.

dr. Vera Herlina adalah seorang dokter sekaligus master di bidang management. Seorang penyuka traveling yang selalu mengambil inspirasi dari setiap journey untuk memperkaya wawasan.

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x