Dream Society (3)

(The Manager’s Lounge – Sales & Marketing) – Pada 1968, Joseph Campbell-seorang peneliti dalam ilmu sosial-menulis sebuah buku yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat periklanan kala itu. Judulnya: Creative Mythology. Campbell menulis: ”Jatuh bangunnya peradaban manusia dalam sejarahnya yang panjang ditentukan oleh integritas dan keyakinan para pendukung mitos. Bukan karena otoritasnya, melainkan lantaran cerita-cerita itu adalah penggerak, pembangun, dan pengubah zaman.” David Lewis, seorang peneliti konsumen masa kini, melanjutkan pandangan Campbell. Katanya, berbeda dengan cerita-cerita masa lalu, mitos-mitos masa kini justru terjadi dan terjalin di sekitar produk. Konsumen pengunyah story itulah yang disebut Rolf Jensen, sebagai dream society, yaitu suatu society yang diikat oleh cerita di balik suatu offering.

Tentu saja, untuk membangun story dibutuhkan suatu mekanisme. Tradisi menulis dan mencatat adalah bagian dari berkembangnya mitos-mitos masa lalu. Saya sudah sampaikan dalam dua tulisan terdahulu bagaimana arus massa bergerak mengunjungi Chatedral Notredam (digerakkan oleh cerita Hunchback of Notredam), atau arus massa yang menuju satu lukisan di museum Louvre, Paris, hanya untuk melihat karya Leonardo da Vinci: Monalisa.

Tradisi mencatat, menulis, mengarang, mempresentasikan dalam bentuk buku cerita, komik, atau teater adalah penyambung masa suatu peradaban. Sekarang tentu saja konteksnya telah banyak berubah. Teknologi multimedia dengan televisi, internet, satelit, dan telepon sangat mewarnai beredarnya cerita. Iklan, peluncuran suatu produk, kampanye public relations, marketing public relations, event marketing, seminar, advertorial, tulisan dalam kemasan, hingga ceramah-ceramah para pemimpin dan liputan media massa mendorong para story teller mengemas produknya sebagai sebuah produk bagi the dream society.

Saudara tentu masih ingat bagaimana The Body Shop membangun mereknya dengan kisah Anita Roddick yang melakukan ekspedisi ke dalam hutan. Kisah itu diintegrasikan sedemikian rupa kedalam sebuah kampanye integrated mulai dari desain dan tulisan di gerai-gerainya sampai tulisan-tulisan di kemasan dan media massa. Intinya, The Body Shop adalah pejuang kelestarian alam, anti pembinasaan hewan. Kampanye The Body Shop itu sebenarnya sama gigihnya dengan Batman yang membasmi penjahat sampai namanya terkenal.

Menjauhnya konsumen dan produsen

Kalau Saudara mampir ke kedai kopi Starbucks di Amerika, Saudara juga akan menemukan nuansa yang sama. Di kedai kopi itu tertera tulisan-tulisan tentang asal-muasal kopi dari seluruh dunia sampai akhirnya disajikan ke cangkir pembeli. Cerita yang disajikan di dinding-dinding kafe itu ternyata sangat diapresiasi konsumen sehingga petugas di kedai itu kini wajib mengetahui seluk-beluk perkopian. Mereka harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan lisan konsumen dengan jelas dan benar. Pemahaman ini tentu saja menimbulkan kesan emosional yang dalam di lubuk sanubari konsumen dan mampu menimbulkan dampak penceritaan di masyarakat.
Saudara mungkin masih ingat cerita penemuan konsep Singaporean Girl oleh armada penerbangan udara Singapore Airline (SIA). Cerita itu dipercaya mampu memperkuat brand image SIA. Kita di Indonesia sebenarnya juga mempunyai banyak product story yang berpotensi untuk menggarap dream society. Kisah pendirian Kem Chicks yang berawal dari anak ayam pinjaman Bob Sadino, Spa Center Taman Sari milik Mustika Ratu, kisah pembuatan logo merek rokok Gudang Garam, sampai jamu cap Potret Nyonya Meneer dan sekolah sekretaris ASMI yang didirikan almarhum Tengker. Semua produk di atas memiliki potensi untuk diikat dengan sebuah story.

Sebuah story, atau product story, tentu saja bisa asli bisa palsu. Yang ideal tentu saja bila story itu adalah suatu kejadian yang benar-benar ada dan tercatat. Tapi, kehidupan modern dengan produksi massal dan komunikasi massal bisa saja menjauhkan hubungan personal antara produsen dengan konsumen. Dalam hal ini teknologi komunikasi bisa saja menyodorkan sebuah mitos atau cerita khayalan. Cerita bersambung yang dirangkai iklan Close Up tentang pasangan anak muda yang tersandung pompa hidran pemadam kebakaran adalah salah satunya. Clairol, merek cat rambut yang terkenal sejak 1950-an, adalah contoh lain. Tentu saja cat rambut kala itu masih sangat tabu bagi masyarakat dunia. Tapi, kini kaum wanita di seluruh dunia gemar mengubah-ubah warna rambutnya.

Product story Clairol dibangun oleh Shirley Polykoff, seorang junior copywriter yang bekerja pada biro iklan Foote, Cone & Belding. Polykoff memegang account ini selama lebih dari 20 tahun. Product story itu ia kembangkan dari pengalaman pribadinya yang dicela oleh calon mertua yang dengan sinisnya menyindir: ”Tanyakan, rambutnya asli atau dicat.” Polykoff begitu tersinggung karena warna rambutnya sungguh asli. Ia lalu menulis naskah iklan dengan rangkaian cerita. Pesannya: rambut yang asli pun bisa diduga palsu. Story itu mampu menimbulkan pembicaraan. Konon, di Amerika, gara-gara product story itu, lebih dari 40% wanitanya mulai mengecat rambut. Tentu saja product story hanyalah salah satu cara membangun dream society.

 

(Rhenald Kasali, Ph.D/AA/TML)

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x