(The Manager’s Lounge – Leadership) – Filosofi kepemimpinan adalah suatu komponen penting untuk dimiliki oleh tiap pemimpin. Mengapa? Hal ini disebabkan karena filosofi kepemimpinan merupakan faktor yang mampu menggerakkan seluruh organisasi dalam mencapai tujuannya. Jika pemimpin mampu menanamkan filosofi kepemimpinan dengan baik, maka niscaya organisasinya akan sukses dalam mencapai tujuan.
Bicara mengenai filosofi kepemimpinan, saya ingat dengan salah satu kisah kepemimpinan dalam salah satu novel favorit saya, yakni Taiko karangan Eiji Yoshikawa. Novel epik ini mengisahkan kisah hidup Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan salah satu figur paling penting dalam kepemimpinan Jepang di masa lampau. Ia merupakan daimyo pertama yang memimpin seluruh Jepang, dan seringkali disebut sebagai ‘Napoleon Jepang’. Kisah Taiko ini merupakan kisah mengenai seorang yang berusaha ’membuat burung berkicau’. Maksudnya, dalam kepemimpinannya, Hideyoshi selalu berusaha untuk menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan.
Alkisah, pada satu waktu Hideyoshi mengkritik mengenai pembangunan benteng Kiyosu, provinsi Owari, yang menghabiskan waktu hingga lebih dari dua puluh hari, padahal provinsi saat itu sedang dalam kondisi perang. Ketika Oda Nobunaga, penguasa provinsi Owari, menanyakan berapa hari Hideyoshi bisa menyelesaikan pembangunan benteng tersebut, ia menjawab “tiga hari“ dengan percaya diri. Alhasil, ia ditunjuk untuk mengambil alih pembangunan benteng tersebut, padahal ia sendiri pada saat itu juga tidak tahu bagaimana menyelesaikan pembangunannya dalam tiga hari.
Secara cerdik, Hideyoshi memutuskan pembangunan benteng sepanjang 200 meter akan dibagi menjadi lima puluh bagian. Setiap bagian terdiri dari empat meter dan dikerjakan oleh satu grup yang berisikan sepuluh orang, yakni tiga tukang kayu, dua tukang plester dan lima tukang batu. Tiap empat/lima kelompok akan dipimpin oleh seorang mandor.
Sehari berlalu, namun pekerjaan tersebut tidak menunjukkan kemajuan sama sekali. Tidak mengherankan, karena para pekerja dibayar oleh pengawas pembangunan benteng sebelumnya, Takayama Ukon, untuk melambatkan pekerjaan mereka, karena ia dengki kepada Hideyoshi yang mengambil alih pekerjaannya.
Hideyoshi kemudian memutuskan untuk menghentikan pekerjaan tersebut sementara, dan justru mengajak para pekerja untuk minum-minum sake sepuasnya dan melepas lelah. Para pekerja sangat bingung, karena mereka sebelumnya tidak pernah mengalami hal ini, dan menyangka Hideyoshi sedang berlelucon. Mereka justru ragu-ragu dan tidak menyentuh cawan sake-nya masing-masing.
Setelah kemudian Hideyoshi memompa motivasi mereka dengan mengutarakan filosofi kepemimpinan, baru kemudian para pekerja bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat. Ditambah lagi, Hideyoshi juga menjanjikan imbalan bagi para pekerja yang bekerja dengan sungguh-sungguh dalam membangun benteng.
Dari kisah tersebut, terdapat beberapa pelajaran yang bisa kita petik.
Pertama, pelajaran yang kita petik dari kisah ini adalah melalui tekad dan keinginan yang kuat, maka pekerjaan yang awalnya mustahil akan dapat diselesaikan. Tekad dan keinginan yang kuat akan memaksa orang untuk mencari solusi yang terbaik dan bekerja keras dalam mencapai tujuan tersebut. Awalnya, banyak yang pihak meragukan bahwa Hideyoshi akan mampu menyelesaikan benteng sepanjang 200 meter dalam 3 hari saja. Namun, berkat kecerdikannya dalam mencari solusi terbaik, maka tujuan tersebut tercapai.
Kedua, Hideyoshi tahu sekali bahwa untuk menggerakkan para pekerja, maka ia harus memompa motivasi mereka. Dalam kisah ini, Hideyoshi berusaha untuk menerapkan motivasi ekstrinsik berupa reward dengan membiarkan pekerja bersenang-senang setelah kelelahan bekerja. Hideyoshi juga memastikan bahwa pekerja akan memperoleh imbalan yang sesuai untuk mereka. Tentunya ini penting, mengingat para pekerja juga disuap oleh Ukon.
Ketiga, yang lebih penting lagi, Hideyoshi mampu menggunakan filosofi kepemimpinan yang sangat mengena pada pekerja. Hideyoshi meminta para pekerja untuk saling bahu membahu dalam membangun benteng semata-mata karena benteng bukanlah hanya sebuah benteng semata. Benteng tersebut bukan hanya berfungsi sebagai pertahanan pasukan yang sedang berperang, melainkan pertahanan bagi seluruh provinsi.
Jika benteng direbut dan dibumihanguskan oleh pihak musuh, maka bukan hanya benteng yang ditimpa kemalangan, melainkan pertahanan negeri terancam bakalan runtuh. Kota tentunya akan dilalap api, provinsi akan musnah, bahkan rakyat terancam kehilangan tempat tinggal, anak dan istri serta orang-orang yang dicintainya. Akibatnya, rakyat juga yang akan menjadi celaka. Intinya, Hideyoshi berhasil menanamkan filosofi kepemimpinan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan sekarang sangat penting kontribusinya untuk keseluruhan provinsi. Setelah pidato tersebut, para pekerja segera sadar bahwa dengan melambatkan pekerjaan mereka justru menempuh jalan bagi kehancuran mereka sendiri. Sehingga kemudian semangat mereka terbakar kembali dan bekerja tanpa kenal lelah selama 2 hari sisanya.
Sebenarnya masih banyak sekali kisah kepemimpinan yang bisa dipetik dari novel ini, namun tentunya tidak bisa saya sebutkan satu persatu disini. Demikianlah cuplikan mengenai kisah kepemimpinan dari Toyotomi Hideyoshi, sang Taiko, orang yang membuat burung berkicau.
(Rinella Putri/SN/TML)