(The Manager’s Lounge – Tax) – Pakar hukum administrasi negara dari UI Arifin Soeriaatmadja mengatakan bahwa sudah selayaknya pemerintah memberikan akses kepada BPK untuk menjalankan pemeriksaan pajak karena dikhawatirkan UU No 28 Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) ke MK. BPK meminta UU KUP diamendemen agar lembaga itu memiliki wewenang memeriksa data WP tanpa harus meminta persetujuan menteri keuangan (menkeu), dijadikan tempat berlindung para pelaku manipulasi pajak.
Perlindungan terhadap wajib pajak merupakan tugas yang dilakukan bersama agar tidak terjadi penyimpangan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak maupun oleh petugas pajak, pemerintah bisa mengkaji kemungkinan dikembalikannya sistem pembayaran pajak berdasarkan prinsip official assessment (pajak dihitung petugas pajak).
Oleh karena itu, Kalangan pengusaha dan pemerintah tidak perlu khawatir jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk bisa memeriksa data wajib pajak (WP) karena kerahasiaan mereka akan terjamin.
Berdasarkan Pasal 34 Ayat 2a Huruf b UU KUP, pejabat atau tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada lembaga negara dengan kewenangan memeriksa keuangan negara harus terlebih dahulu ditetapkan menkeu. BPK beranggapan pasal itu bertentangan dengan Pasal 23E Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan BPK merupakan lembaga negara yang bebas dan mandiri. BPK juga menilai Pasal 34 Ayat 2a UU KUP menyalahi UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Berdasarkan kedua UU tersebut, BPK berhak memeriksa data pajak.
Kalangan dunia usaha, seperti dikemukakan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Hariyadi Sukamdani, menilai dunia usaha akan diliputi ketidakpastian hukum jika MK mengabulkan permohonan BPK. Menkeu Sri Mulyani Indrawati selama ini kukuh bahwa BPK tidak berwenang memeriksa WP dengan alasan WP merupakan warga negara yang memiliki HAM dan dilindungi konstitusi.
Menurut Ahmadi Hadibroto, sekalipun dapat memeriksa Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Wajib Pajak, BPK hanya diperkenankan mencocokkan data laporan penerimaan pajak dengan angka di setiap SPT. BPK berhak memeriksa laporan keuangan berupa penerimaan pajak dan saldo tagihan pajak, termasuk saldo kewajiban restitusi pajak.
Pemerintah juga tidak memiliki kekhawatiran yang berlebihan atas permohonan BPK untuk mengaudit penerimaan pajak. Hal ini bermaksud supaya audit penerimaan pajak tidak bertentangan dengan HAM, berarti proses auditnya jangan sampai merugikan Wajib Pajak. Pada proses audit penerimaan pajak, kewenangan BPK hanya sebatas melihat kinerja petugas pajak, bukan kualitas data.
Indonesia bisa membuat tatacara pengumpulan data penerimaan keuangan negara seperti dilakukan beberapa negara tetangga. Namun permasalahannya adalah apakah sudah terdapat prosedur di Indonesia. Hal ini tentunya sebagai pertimbangan juga bagi kita semua.
(Permata Wulandari/IK/tml-berbagai sumber)