(Business Lounge – Human Resources) Setelah bertahun-tahun menggunakan istilah halus seperti “efisiensi”, “otomatisasi”, atau “transformasi digital”, kini para pemimpin perusahaan besar mulai berbicara lebih lugas tentang konsekuensi nyata dari kecerdasan buatan: hilangnya pekerjaan secara masif. Dalam berbagai forum publik dan laporan keuangan, semakin banyak eksekutif tingkat atas yang secara terbuka menyatakan bahwa teknologi AI generatif akan menggantikan sebagian besar peran kerja, khususnya di level karyawan kerah putih.
Salah satu pernyataan paling mencolok datang dari pimpinan perusahaan otomotif besar, yang memprediksi bahwa AI berpotensi menggantikan “secara harfiah separuh dari seluruh pekerja kerah putih.” Ini bukan lagi pandangan jangka panjang atau wacana futuristik. Menurutnya, proses ini sudah dimulai, dan dalam beberapa tahun ke depan, perusahaan-perusahaan besar akan menata ulang struktur organisasinya berdasarkan kemampuan AI untuk menangani analisis data, layanan pelanggan, logistik, hingga pengembangan konten.
Fenomena ini mencerminkan pergeseran besar dalam cara perusahaan melihat tenaga kerja—bukan lagi sebagai aset utama, tetapi sebagai variabel biaya yang bisa dikurangi secara signifikan dengan teknologi yang tepat. Di banyak sektor, mulai dari keuangan hingga manufaktur, muncul tekanan baru untuk merampingkan organisasi dengan bantuan AI yang lebih cepat, lebih akurat, dan tersedia 24 jam.
Dalam laporan terbaru kepada pemegang saham, sejumlah perusahaan bahkan menyebut pemanfaatan AI sebagai salah satu pendorong utama pertumbuhan margin keuntungan. Mereka menjanjikan peningkatan produktivitas jangka panjang, bukan dengan menambah karyawan, tetapi dengan mengganti sebagian besar fungsi administrasi dan analitik dengan sistem otomatis.
Perubahan nada dari para CEO ini mencerminkan keyakinan bahwa pasar kini siap menerima realitas tersebut. Jika sebelumnya perusahaan cenderung menyembunyikan dampak teknologi terhadap lapangan kerja demi menjaga citra sosial, kini narasi telah berubah: efisiensi melalui AI dianggap sah, bahkan perlu, untuk kelangsungan bisnis di tengah persaingan global dan tekanan biaya.
Namun, keterusterangan ini juga menimbulkan kekhawatiran baru. Serikat pekerja, pengamat ketenagakerjaan, dan sebagian investor mulai bertanya-tanya bagaimana proses transisi ini akan dikelola, dan apakah perusahaan memiliki tanggung jawab sosial untuk memastikan adanya pelatihan ulang atau dukungan bagi pekerja yang terdampak. Beberapa perusahaan menyatakan komitmen terhadap “reskilling”, namun belum banyak yang menunjukkan program nyata berskala besar.
Dari sisi pasar tenaga kerja, para analis memperkirakan bahwa otomatisasi melalui AI tidak hanya akan berdampak pada pekerjaan tingkat rendah atau rutin, tetapi juga akan menyasar profesi profesional seperti analis keuangan, akuntan, staf legal, bahkan manajer tingkat menengah. Sistem AI saat ini mampu menyusun laporan, membaca tren, bahkan memberikan rekomendasi strategis, menjadikannya alternatif yang menarik secara biaya dan kecepatan.
Banyak perusahaan teknologi besar yang kini berlomba-lomba menciptakan produk AI yang secara eksplisit dirancang untuk menggantikan fungsi kerja manusia. Mulai dari chatbot layanan pelanggan yang bisa menangani ratusan permintaan per menit, hingga model bahasa yang bisa menghasilkan konten pemasaran dan laporan internal, semuanya menekan kebutuhan akan staf dalam jumlah besar.
Sementara itu, para karyawan di berbagai sektor mulai menyadari bahwa kemampuan teknis tradisional mungkin tidak lagi cukup. Kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan penguasaan alat digital menjadi kualifikasi baru yang semakin penting. Namun kecepatan adopsi AI oleh korporasi tampaknya melampaui kecepatan adaptasi pasar kerja.
Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam dinamika tenaga kerja abad ke-21. Jika sebelumnya teknologi menciptakan pekerjaan baru seiring menghilangkan yang lama, maka AI generatif menunjukkan pola berbeda: ia menggantikan pekerjaan tanpa menciptakan pengganti dalam jumlah sebanding. Bahkan peran baru yang muncul sering kali membutuhkan keahlian tinggi dan tidak mudah diakses oleh sebagian besar tenaga kerja.
Dengan para CEO kini berbicara lebih terbuka tentang konsekuensi ini, perdebatan tentang masa depan kerja bukan lagi spekulatif. Ia hadir dalam pernyataan kuartalan, strategi perusahaan, dan diskusi internal manajemen. Pertanyaannya kini bukan apakah pekerjaan akan hilang, tetapi berapa banyak, secepat apa, dan apa yang akan dilakukan masyarakat—dan pemerintah—untuk meresponsnya.
Apa yang sebelumnya dikatakan dalam bisikan kini telah menjadi bagian dari strategi korporat. Dan dengan teknologi AI yang terus berkembang pesat, era disrupsi tenaga kerja tampaknya baru saja dimulai.