(Business Lounge – Automotive) Porsche selama dua dekade terakhir telah memainkan peran ganda yang tampaknya tak mungkin: menjadi merek eksklusif seperti Ferrari, namun sekaligus menjadi pabrikan massal seperti Mercedes-Benz. Strategi ini berhasil membuahkan hasil mengesankan, setidaknya hingga kini. Tetapi dalam lanskap perdagangan global yang semakin rumit dan proteksionis, ambisi ganda Porsche mulai terjepit. Ketergantungannya pada ekspor, terutama dari pabriknya di Eropa, serta ketiadaan produksi di Amerika Serikat membuat produsen mobil sport asal Jerman ini menghadapi risiko ganda di tengah perang dagang yang kembali memanas.
Menurut laporan The Wall Street Journal, Porsche kini menghadapi tantangan struktural yang tidak hanya berasal dari fluktuasi permintaan global, tetapi juga dari kebijakan perdagangan yang semakin agresif, terutama dari Amerika Serikat. Pemerintahan AS baru-baru ini mengisyaratkan akan mengenakan tarif tambahan terhadap kendaraan listrik dan komponen otomotif asal China dan Eropa. Langkah ini dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri dari gempuran kendaraan impor. Namun bagi Porsche, yang tidak memiliki fasilitas perakitan di Amerika Utara, ini berarti seluruh lini produknya yang dijual di pasar AS—baik SUV Cayenne, Macan, maupun 911 legendaris—semuanya terancam menjadi lebih mahal secara signifikan bagi konsumen.
Dalam wawancara dengan Bloomberg, analis otomotif menyebut posisi Porsche saat ini sebagai “limbo strategis.” Di satu sisi, merek ini ingin mempertahankan eksklusivitas dan profitabilitas tinggi ala Ferrari, yang menjual mobil dalam volume terbatas namun dengan margin keuntungan yang luar biasa. Di sisi lain, Porsche juga telah menggantungkan masa depan pertumbuhannya pada SUV dan kendaraan listrik berjumlah besar seperti Macan EV dan Taycan, menjadikannya lebih mirip Mercedes atau BMW dalam strategi volume. Kombinasi ini membuat Porsche lebih terekspos terhadap dinamika global dibandingkan kedua saingannya itu.
Reuters mencatat bahwa lebih dari 30 persen penjualan global Porsche berasal dari China dan Amerika Serikat. Kedua pasar ini kini berada dalam jalur tarif baru dan regulasi proteksionis. Di China, Porsche sudah merasakan penurunan permintaan akibat persaingan agresif dari merek-merek domestik seperti BYD dan Nio yang menawarkan kendaraan listrik dengan harga jauh lebih rendah. Sementara di AS, potensi tarif tambahan membuat Porsche kehilangan keunggulan harga dan menghadapi tekanan dari merek Jepang dan Korea yang memiliki pabrik di dalam negeri.
Dalam pernyataan publik yang dikutip oleh Financial Times, eksekutif Porsche mengakui bahwa mereka tengah mengevaluasi kembali rantai pasokan global dan kemungkinan membangun kapasitas produksi di luar Eropa. Namun langkah ini bukanlah keputusan ringan. Membangun pabrik di AS akan memerlukan investasi miliaran dolar dan berisiko mencairkan citra eksklusif Porsche yang selama ini terkait erat dengan kualitas manufaktur Jerman. Bahkan ketika Mercedes dan BMW telah lama memiliki fasilitas produksi di AS selatan seperti Alabama dan South Carolina, Porsche tetap bertahan dengan strategi sentralisasi produksi di Jerman dan Slovakia.
Masalah ini menjadi semakin kompleks karena Porsche bukan lagi perusahaan independen. Sejak IPO pada 2022, Porsche AG masih sangat terikat dengan grup Volkswagen, yang memiliki kepentingan politik dan industri yang lebih luas. Keputusan untuk merelokasi produksi atau mengubah strategi global tidak bisa dilakukan secara sepihak. Menurut Automotive News Europe, ada ketegangan internal dalam dewan direksi antara mereka yang ingin mempertahankan eksklusivitas merek dengan menjaga produksi di Eropa, dan mereka yang melihat perlunya ekspansi global untuk menghadapi dunia yang lebih proteksionis.
Sementara itu, investor mulai merespons secara hati-hati. Saham Porsche mengalami penurunan lebih dari 12 persen sejak awal tahun, dengan banyak analis memperingatkan bahwa model bisnis perusahaan ini rentan dalam iklim perdagangan yang tidak stabil. Dalam catatan analis Morgan Stanley, disebutkan bahwa “Porsche kini terlalu besar untuk menjadi Ferrari, namun terlalu kecil dan terlalu terpusat untuk bersaing sebagai pabrikan volume seperti Mercedes.”
Kisah kesuksesan Porsche selama dua dekade terakhir tidak bisa dipisahkan dari kebangkitannya sebagai merek yang menjual lebih banyak SUV daripada mobil sport. Jika pada tahun 2002 Porsche menjual sekitar 50.000 unit mobil per tahun, kini angkanya telah melampaui 300.000 unit. Lebih dari dua pertiganya adalah SUV Macan dan Cayenne, bukan 911. Strategi ini menciptakan pertumbuhan pendapatan dan ekspansi global yang impresif. Namun dengan mengorbankan eksklusivitas, Porsche mulai kehilangan kekhususannya di mata sebagian penggemarnya.
Dalam ulasan yang diterbitkan oleh The Atlantic, seorang mantan eksekutif otomotif menyebut bahwa Porsche kini berada dalam “krisis identitas.” Ia menjelaskan bahwa merek yang dulu hanya dikenali oleh mobil sport dengan performa tinggi kini mulai terlihat seperti produsen SUV mewah lainnya. Perpaduan antara tekanan tarif, permintaan menurun di China, dan ketergantungan terhadap ekspor dari Eropa menciptakan badai sempurna bagi model bisnis ini.
Sebagai respons, Porsche mencoba melakukan manuver. Salah satu strategi yang tengah diuji adalah diversifikasi pasar. Perusahaan kini lebih agresif memasarkan Taycan dan Macan EV ke Timur Tengah dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Vietnam, yang belum terlalu terpengaruh oleh perang dagang. Namun kontribusi pasar ini masih kecil dan belum mampu mengimbangi tekanan di pasar utama seperti AS dan China.
Dalam wawancara dengan Nikkei Asia, CEO Oliver Blume menyatakan bahwa perusahaan tengah mengkaji ulang strategi manufaktur global. Ia menyebut bahwa dalam kondisi dunia yang makin tidak pasti, “produksi lokal menjadi semakin penting, bukan hanya dari sisi biaya, tapi juga dari sisi politik.” Namun ia juga menambahkan bahwa Porsche tidak akan tergesa-gesa dan akan menjaga agar “setiap keputusan tetap sejalan dengan nilai dan warisan merek.”
Langkah konkret lainnya adalah meningkatkan efisiensi logistik dan mendorong personalisasi yang lebih tinggi. Dalam laporan CNBC, Porsche disebut meningkatkan kapasitas program “Exclusive Manufaktur,” di mana pelanggan bisa memesan mobil dengan kustomisasi ekstrem—sebuah langkah untuk memperkuat eksklusivitas meski skala produksi terus meningkat. Namun pertanyaannya tetap: apakah pelanggan bersedia membayar lebih tinggi di tengah tarif dan harga yang melambung?
Perang dagang bukanlah satu-satunya faktor eksternal yang membebani Porsche. Krisis rantai pasokan global, kenaikan harga logam tanah jarang untuk baterai, dan tekanan regulasi emisi di Uni Eropa turut menambah kompleksitas. Menurut Der Spiegel, Porsche dan perusahaan otomotif Jerman lainnya sedang berada di “titik balik strategis” yang menentukan arah masa depan mereka di pasar global.
Yang menjadi masalah, waktu tidak berpihak pada Porsche. Dalam dunia kendaraan listrik yang berkembang cepat, posisi pemimpin pasar bisa berubah dalam hitungan tahun, bahkan bulan. Ketika Tesla membangun pabrik di Texas dan Shanghai, dan BYD memperluas ekspor ke Eropa dan Timur Tengah, Porsche masih bergulat dengan persoalan manufaktur terpusat dan ketergantungan terhadap dua pasar besar yang tak lagi ramah.
Para pengamat menyebut bahwa masa depan Porsche sangat bergantung pada keputusan dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Jika perusahaan tetap mempertahankan model bisnis lama—berproduksi di Eropa, menjual ke seluruh dunia, mengandalkan volume SUV dan citra sport—maka risiko finansial dan reputasional bisa meningkat tajam. Namun jika perusahaan berani merombak strategi global, membangun pabrik di Amerika atau Asia, serta kembali memfokuskan diri pada kualitas eksklusif dan performa tinggi, mungkin Porsche bisa kembali menemukan identitas sejatinya.
Dalam dunia otomotif yang kini digerakkan oleh geopolitik, strategi perusahaan tak lagi hanya ditentukan oleh teknologi dan desain, melainkan oleh keputusan politik, tarif impor, dan dinamika globalisasi yang retak. Porsche, dengan seluruh warisan dan kebesaran namanya, kini berada di persimpangan. Ia telah mencoba menjadi Ferrari sekaligus Mercedes. Tapi dalam dunia yang makin memecah dan tidak kompromistis, mungkin ia harus memilih menjadi salah satu—dan melakukannya dengan penuh komitmen.